Senin, 24 September 2012

Al Hikam : Hati Sumber Cahaya

Sufi Road : Dalam tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya".

Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang.

Rasulullah saw. telah bersabda di dalam menceritakan firman Allah :

"Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman".

Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka".

Asy Syadzili berkata : "Seandainya disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah selanjutnya berkata :


"Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating langsung dari berbagai gudang kegaiban".

Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib. Yaitu berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata:

"Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali".

Cahaya itu ada dua macam, yaitu :

1. Cahaya yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.

2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya hati ini
benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata : 


"Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)".
Penghalang hati untuk menuju kepada Allah itu ada dua macam, yaitu :

1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah.

2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk
menuju kepada Allah.

Maka hati bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan. Sedang Allah berda di belakang itu semua.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :

"Allah menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk (tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".

Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan orang yang sudah terlahir kewaliannya.

---------------------------------------------------------------------
Syaikh Ahmad Ibn' Atahaillah dalam "Al-Hikam" Al -Ustadz Mahfudli Shaly
Read More..

Al Hikam : Sembahyang yang mensucikan Hati

Sufi Road : Sembahyang apabila betul-betul kita mendirikannya, maka hakikat
sembahyang itu akan timbul nyata bagi yang mengerjakannya. Bagaimana hakikat-hakikat sembahyang yang betul-betul dikerjakan itu? Maka yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary berkata dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut:

"Sembahyang mensucikan buat semua hati manusia dari segala kotoran-kotoran dosa, dan membukakan baginya segala pintu yang ghaib (tersembunyi)."
Kejelasan dari Kalam Hikmah di atas adalah sebagai berikut :
 
Bahwa hakikat sembahyang itu apabila dikerjakan dengan betul, baik dan sempurna, maka sembahyang itu akan mensucikan hati kita dari segala macam kotoran, dan akan mensucikan pula dari segala sifat yang menjauhkan hati dari melihat Allah s.w.t. dengan segala kebesaranNya.Betapa tidak, sebab Rasulullah S.A.W. telah bersabda dalam Hadis riwayat Muslim sebagai berikut :

"Perumpamaan shalat yang lima itu laksana sebuah sungai yang tawar airnya, di mana sungai itu meluap-meluap di pintu salah seorang yang mandi didalammnya tiap-tiap hari sebanyak lima kali. Apakah pendapatmu tentang orang tersebut? Apakah masih ada daki-daki di badannya? Mereka menjawab :
Tidak ada sesuatupun (ya Rasulullah). Sabda Rasulullah S.A.W. : Sesungguhnya shalat yang lima itu dapat menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air yang dapat menghilangkan segala kotoran."

Hadis ini menggambarkan dengan sembahyang yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka pastilah hati kita suci pula dari segala kotoran-kotorannya. Sebab segala ucapan dan bacaan-bacaan yang kita baca dalam sembahyang tentu sekali mendekatkan hati dan perasaan kita kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah S.W.T. Karena itu pelajarilah dan dalamilah bacaan-bacaan yang kita baca dalam sembahyang terdapat pada setiap gerak perbuatan kita itu. I. Sembahyang juga merupakan kunci pembuka pintu-pintu segala yang ghaib berupa ilmu-ilmu ladunni, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari keimanan dan keyakinan. Ilmu-ilmu itu merupakan rahasia yang datang dari Allah S.W.T.


Jadi apabila segala dosa sudah dapat dibersihkan dengan shalat, maka ia akan menimbulkan hati yang suci bersih, dan akan terbukalah pintu hati untuk menerima rahasia-rahasia ketuhanan. Sebab hakikat shalat berarti sebagai jalan untuk mendapatkan atau untuk memperoleh ilmu-ilmu makrifat yang terkandung dalam hakikat Tauhid yang laksana laut yang sangat dalam yang tak ada pantainya. Oleh sebab itulah dalam satu Hadis dimana Imam Ghazali telah menuliskan dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, sabda Rasulullah s.a.w. sebagi berikut :

"Tiada sesuatu yang diwajibkan Allah kepada makhlukNya sesudah Tauhid yang lebih menyukakan kepadaNya selain daripada shalat. Andainya jikalau ada sesuatu yang lain (selain shalat), yang lebih menyukakan kepadaNya niscaya para Malaikat telah terlebih dahulu beribadat dengan sesuatu itu. Kepada para Malaikat itu sebagian dari mereka ada yang rukuk saja, sebagian yang lain ada yang sujud saja, dan sebagian yang lain lagi ada yang berdiri saja dan ada yang duduk saja."

Hadis ini terang dan jelas menunjukkan bagaimana mulianya shalat setelah Tauhid di sisi Allah S.W.T. Sebab dalam Hadis ini Rasulullah telah menjelaskan ibadat-ibadat para Malaikat pada umumnya disibukkan dengan sembahyang. Sama ada mereka itu sebagiannya yang pada rupanya rukuk saja, atau sujud saja, atau berdiri saja, atau duduk saja. Tetapi semua perbuatan mereka ini adalah merupakan cara khas dari sembahyangnya para Malaikat Allah S.W.T.

Jadi apabila kita rajin sembahyang, rajin serta tekun dan mengerjakannya dengan sesungguh hati, baik, serius dan sempurna, maka sembahyang adalah jalan untuk menerangkan hati kita dalam menerima ilmu-ilmu pengetahuan. Sebab apabila sembahyang yang demikian yang mana kita tidak pernah lupa mengerjakannya sebagai perintah Allah S.W.T., di samping itu kitapun selalu pula mengerjakan sembahyang-sembahyang sunnat, maka bertambah dekatlah hubungan kita dengan Allah. Dengan bertambah dekatnya hubungan kita kepada Allah, berarti tercapailah maksud dan cita-cita kita dengan kehendak-Nya, dan dengan kasih sayangNya. Karena itu yakinlah dan jangan ragu-ragu lagi, bahwa di samping sembahyang itu mempunyai banyak faedahnya sebagai tersebut di atas, juga ada hikmatnya untuk memudahkan mencapai rezeki-rezeki yang halal dari Allah S.W.T. Artinya usaha kita dalam mencapai rezeki-rezeki itu akan dimudahkan Allah dan diberkati oleh-Nya apabila kita rajin bersembahyang. Yakni biarlah sembahyang yang kita kerjakan itu baik lagi sempurna, pula dengan terarahnya hati kita kepada Allah S.W.T. Itulah sebabnya maka Al-Ghazali menukikkan sabda Nabi Muhammad s.a.w. di mana Nabi telah bersabda sebagai berikut :

"Wahai Abu Hurairah! Perintahkanlah keluarga anda dengan mengerjakan sembahyang, karena bahwasanya Allah akan mendatangkan kepada anda rezekiNya dari (sumber-sumber dan jalan-jalan) di luar dugaan anda."

Hadis ini dan Hadis-Hadis sebelumnya adalah menggambarkan kelebihan sembahyang. Itulah sebabnya maka sebagian Ulama menyamakan antara orang yang sembahyang dengan pedagang. Mereka berkata: "Orang yang mengerjakan shalat adalah umpama saudagar yang tidak memperoleh keuntungan sebelum pokoknya betul-betul bersih dan kembali."

Jadi apabila pokok perdagangan tidak rugi sepeserpun berarti perdagangan itu telah beruntung, apalagi jika memang untung dan labanya terlihat pula dengan nyata. Alangkah bahagianya orang yang sembahyang di mana lahir dan batinnya turut bersembahyang sama menghadap Allah S.W.T. Insya Allah segala faedah dan nikmat di atas akan diperolehnya dengan izin Allah. Itulah kesimpulan yang jelas dan terang dari Kalam Hikmah ini.


_____
Read More..

Al Hikam : Orang Ma'rifat Lebih Mengkhawatirkan Keadaan Lapang

Sufi Road :
"Orang-orang ma'rifat jika merasa lapang lebih banyak khwatirnya
daripada jika mereka dalam keadaan kesempitan. Dan tidak dapat tetap
berdiri di atas batas-batas adab di dalam keadaan lapang kecuali
sedikit".

Orang-orang ma'rifat lebih khawatir dalam keadaan lapang daripada dalam keadaan kesempitan. Sebab keadaan lapang itu sesuai dengan hawa nafsunya. Sehingga mereka khawatir kalau sampai tertarik ke dalam
ajakan hawa nafsu. Misalnya selalu memperbincangkan berbagai keadaan yang wujud ini, dan berbagai kekeramatan. Kadang-kadang bahkan keluar dari padanya ucapan yang tidak patut diucapkan di hadapan Allah. Padahal bagi orang ma'rifat dia harus selalu menjaga kesopanan di hadapan-Nya.

Lagi pula keadaan lapang itu bisa menggelincirkan orang. Sehingga menyebabkan orang harus tambah berhati-hati. Sebaliknya kesempitan lebih mendekatkan orang menuju keselamatan.

Sehubungan dengan keadaan lapang dan kesempitan itu, Syaikh Ahmad bin "Athaillah berkata :

"Dalam keadaan lapang nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira, sedang dalam keadaan kesempitan tidak ada bagian sama sekali bagi nafsu itu."

Menjaga kesopanan kepada Allah di dalam masa lapang merupakan perkara yang sukar. Karena itu di dalam masa lapang itu hawa nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira ria. Tetapi kalau dalam kesempitan hawa nafsu tidak dapat mengambil bagiannya. Dengan demikian orang lebih aman dalam keadaan kesempitan daripada dalam keadaan lapang. Dalam keadaan lapang hawa nafsu mudah memperdaya. Sedangkan dalam kesempitan nafsu tak dapat memperdaya. Karena demikian itulah orang-orang ma'rifat lebih senang dalam kesempitan.

Jarang sekali orang yang kesempitan dari keadaan lapang atau kesempitan. Antara lapang dan kesempitan itu silih berganti bagaikan pergantian siang dan malam. Namun Allah tetap menerima penghambaan seseorang dalam dua keadaan itu. Barang siapa waktunya dalam kesempitan, maka dia tidak lepas dari dua keadaan, yaitu mengetahui sebab-sebabnya dan tidak mengetahui sama sekali. Adapun sebab-sebab kesempitan (kerisauan hati) itu ada tiga, yaitu :

1.Dosa yang dilakukan, maka dia harus bertaubat.
2.Kehilangan sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniaan, maka orang harus menyerah dan rela.
3. Hinaan atau disakiti orang dzalim, maka dia harus sabar dan betah menanggung.

"Kadang-kadang Allah memberi kepadamu sesuatu dari masalah keduniaan, maka Dia menolak memberikan pertolongan kepadamu. Dan kadang-kadang Dia menolak memberikan sesuatu kepadamu, maka Dia kemudian memberi pertolongan kepadamu".

Bila Allah memberi atau mencegah sesuatu dari masalah keduniaan, maka janganlah dilihat hanya lahirnya saja dari pemberian atau pencegah itu. Tetapi yang harus diperhatikan adalah hakekat perkaranya. Sebab kadang-kadang Allah memberikan masalah keduniaan kepada seseorang, akan tetapi dibalik itu dia memberikan pertolongan untuk ta'at kepada- Nya. Begitu pula kadang-kadang Allah menolak memberikan sesuatu dari masalah keduniaan kepada seseorang, namun dibalik itu pula Dia memberi pertolongan kepadanya untuk ta'at kepada-Nya. Dengan demikian sebaiknya orang itu tidak mengatur dan memilih sendiri, melainkan hanya menyerahkan segala perkaranya kepada Allah.

Kemudian Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :

"Apabila Allah telah membukakan kepadamu pintu kepahaman didalam penolakan (Nya), maka kembalilah penolakan itu sebagai kenyataan pemberian(Nya)".

Bilamana Allah menolak sesuatu kepada seseorang, kemudian orang itu memahami bahwa penolakan Allah kepadanya merupakan suatu rahmat dari pada-Nya, maka penolakan itu pada hakekatnya adalah pemberian juga 


-----
Read More..

Minggu, 23 September 2012

Guru Sekumpul dan Wacana Lokalitas tentang ‘Nur Muhammad’

Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura. Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H ─ 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?

Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.

Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.

Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini.

Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya.
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:

Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.

Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30). Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.

Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah). Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.

Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.

Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.


Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.

Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.

Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.

Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.

Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.


Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.

Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.

Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.

www.himpunanbanialarsyadiyin.co.cc
Read More..

Rabu, 19 September 2012

Lambang Nahdlatul Ulama (NU) dan Maknanya

n-u-lambangNahdlatul Ulama adalah merupakan jam’iyah yang didirikan di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Pertemuan itu, dihadiri oleh ulama se Jawa dan Madura dan diprakarsai oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus sebagai tuan rumah.


LAMBANG
Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan “Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.”

ARTI LAMBANG

a. Gambar bola dunia
melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.

b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia
melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia.

c. Tali yang tersimpul
melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;
Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan;
Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna. 

d. Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas,
melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah;
Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa.

e. Tulisan Arab “Nahdlatul Ulama”
menunjukkan nama dari organisasi yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.

f. Warna hijau dan putih
warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian. 


Sumber :
1) Anggaran Dasar NU
2) Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Jilid I, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jatim.
 
*****
Read More..

Ilmu dan Belajar

Sufi Road : Banyak sekali dalil atas ilmu yang terdapat di dalam Al Qur'an, diantaranya Allah telah berfirman, "niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (QS. AI Mujadilah : 11). Sebagaimana Ibnu Abbas pemah mengatakan bahwa sesungguhnya para ulama' mempunyai derajat-derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak 700 derajat yang jarak antara dua derajatnya adalah perjalanan 500 tahun.

Allah S WT berfirman: "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?". (QS. Az Zumar; 9).

Allah SWT juga berfirman : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". (QS. Fathir: 28) Allah SWT juga berfirman : "Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untukmanusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu ". (QS. AI Ankabut: 43)

Bersabda RasuluIIah Saw, "Para ulama adalah pewarispara Nabi". Rasulullah Saw, juga pernah bersabda, "Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim serta bermanfaat jika dibutuhkan. Jika ia tidak dibutuhkan, maka ia pun mencukupi dirinya,\ Rasulullah bersabda pala, "Imam itu telanjang, serta pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya ialah rasa malu, serta buahnya adalah ilmu ". Rasulullah Saw telah bersabda, "Manusia yang terdekat dari derajat kenabian adalah ahlii ilmu serta ahli jihad. Adapun ahli ilmu maka disebakan ia telah menmjukkan kepada orang-orang tentang agama yang dibawa oleh para Rasui Adapun ahli jihad, maka mereka berjlhad dengan pedang-pedang mereka untuk membela agama-agama yang dibawa oleh para Rasul".


Rasulullah telah bersabda, "Orang alim itu ialah orang kepercayaan Allah dibumi-Nya"
Bersabda Rasulullah Saw, "Pada hari kiamat nanti yang akan memberi syafa 'at adalah Nabi-nabi, kemudian para ulama, lalu para syuhada ".

Berkata Fath Mushili, "Bukankah orang sakit itu bila dilarang makan dan minum serta berobat akan mati?". Orang-orang berkata "Ya”, Kemudian Fath Mushili berkata, "Begitu pula hati. Apabila ia tidak dibe hikmah serta ilmu selama tiga hari, maka ia pun ia telah berkata benar sebab hidangan hati ialah serta hikmah, serta dengan demikian ia hidup sebagaimana hidangan tubuh ialah makanan serta minuman".
Barang siapa yang hatinya sakit serta mati, sesungguhnya ia telah kehilangan ilmu, ia tidak menyadarinya, sebab kesibukan dunia telah melumpuhkan perasaannya. Jika mengungkapkan kesibukan-kesibukan itu darinya, maka ia pun telah merasakan kepedihan yang sangat serta mengalami penyesalan yang tiada akhir. Itulah makna diantara sabda Rasulullah Saw., "Manusia itu tidur (laiai), maka kalau ia mati barulah mereka bangun (sadar) ".


Adapun yang dimaksud dengan keutamaan ilmu seperti yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Saw., "Sesungguhnya para malaikat telah merendahkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, sebab ridla dengan apa yang dilakukannya". Rasulullah juga bersabda, "Kepergianmu untuk belajar satu bab ilmu lebih baik daripada shaiatmu sebanyak 100 rakaat".

Berkata Abu Darda Barangsiapa berpendapat bahwa bepergjan untuk belajar ilmu bukan merupakan jihad, maka iapun telah mengalami kekurangan dalam pendapat serta akalnya". Adapun keutamaan pengajaran, maka hal tersebut ditunjukkan oleh finnan SWT., yang artinya : uDan (ingatlah) ketika Allah mengambil dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), hendaklah kamu menerangkan tentang isi kitab kepada manusia, serta jangan kamu menyembunyikannya". (QS. Ali Imron ay at 187). Rasulullah ketika membaca ayat ini juga bersabda, "Tidaklah Allah membenci ilmu kepada orang alim, melainkan Dia mengambil janji darinya sebagaimana Dia mengambil janji dari Nabi-Nabi supaya kamu menerangkannya serta tidaklah menyembunyikannya". 


Rasulullah Saw. ketika mengutus Mu’az juga bersabda, "Petunjuk yang diberikan Allah kepada seseorang dengan perantaraanmu lebih baik bagimu daripada dunia dan serta segala isinya ". Umar ra. berkata, "Barang siapa yang menceritakan sebuah hadits, kemudian diamalkannya, sesungguhnya ia telah mendapat pahala seperti pahala amal tersebut".


Mengenai pengajaran serta belajar ilmu dan meriwayatkannya secara marfuk Mu'adz bin Jabal berkata, "Belajarlah ilmu, sebab mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan serta menuntut ilmu adalah ibadah, pengkajrannya ialah seperti tasbih, penyelidikannya seperti jihad, pengajarannya adalah sedekah disertai pemberiannya kepada ahlinya ialah pendekatan diri kepada Allah. Ilmu adalah penghibur di kala kesepian, menjadi kawan dikala menyendiri serta menjadi petunjuk di kala senang dan susah, ia adalah pembantu serta teman yang baik danpenerang jalan ke surga".


Allah akan mengangkat derajat orang-orang dengan ilmu, kemudian menjadikan mereka dalam kebaikan seperti pimpinan dan pemberi petunjuk yang diikuti, petunjuk di dalam kebaikan, jejak mereka diikuti serta perbuatan-perbuatan mereka diamalkan.


Para malaikat ingin menghiasi mereka serta mengusap mereka dengan sayap-sayapnya. Setiap benda yang basah dan yang kering bertasbih bagi mereka serta memohon ampun bagi mereka, bahkan ikan-ikan di lautan serta binatang-binatangnya, hewan-hewan buas serta temak di darat dan dan bintang di langit. Karena ilmu menghidupkan hati serta menerangi pandangan yang gelap dan menguatkan badan yang lemah. Dengan ilmu hamba mencapai kedudukan orang-orang yang shaleh serta derajat yang tinggi. Memikirkan ilmu sama halnya puasa serta mengkaji ilmu sama dengan shalat malam. Dengan ilmu Allah ditaati serta disembah dan diEsakan. Dengan ilmu.manusia berhati-hati dalam mengamalkan agama serta memelihara hubungan. kekeluargaan. Ilmu ialah pemimpin serta amal adalat pengikutnya. Orang yang mendaapt ilmu adalah orang yang bahagia, sedangkan orang yang tidak mendapatkannya adalahorang yang sengsara.

Dari segi rasio, sudah jelas bahwa ilmu tersebut sesuatu yang utama sebab dengan ilmu manusia sampai kepada Allah SWT. serta menjadikan, dekat denganNya. ia pun mendapatkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Ilmu menyebabkan kemuliaan di duni dan akhirat,dunia adalah tanaman akhirat,maka orang alim dengan ilmunya menanam bagi dirinya kebahagiaan abadi dengan mendidik akhlaknya sesuai dengan tuntutan ilmu. Barangkali pula dengan pengajaran ia telah menanamkan kebahagiaan yang abadi sebab ia telah menjadi akhlaq orang-orang lain serta menyuruh kepada mereka perbuatan yang mendekatkan mereka kepada Allah SWT. "Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah serta dengan pelajaran yang baik , serta bantahlah mereka dengan jalan yang baik". (QS. An Nahl: 125)
Ia menyeru orang-orang Khawas dengarf hikmat serta menyeru orang-orang awam dengan nasehat-nasehat dan para pembangkang dengan bantahan. Maka menyelamatkan dirinya dan orang lain serta inilah kesempurnaan manusia.

*disarikan dari kitab Ikhya Ulumuddin
Read More..

Minggu, 16 September 2012

Makna Suluk dan Tasawwuf : Imam Al Gazali


Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb, bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).

Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk), yaitu pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-siakan waktunya,maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara, sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya dihadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berzikir.

Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara' meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah Swt., bukan sekadar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang Asyiq dengan amaliahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.

Dalam sebuah syair dinyatakan;
Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kaukehendaki

Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah Swt. dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah Swt.

Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang beriebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan. Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun, pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.

Sementara, tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu. lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad), bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya. Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, mententramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).

source : Mi'raj as-Salikin, Imam Al Gazali
Alfalah.or.id
Read More..

Taubat Menurut Imam Ghazali

Sufi Road : Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur : ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.

Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.

Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.

Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.

Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya." (Ihya Ulumuddin (4: 3,4), cetakan: Darul Ma'rifah, Beirut).
Read More..

Jumat, 14 September 2012

Al Hikam : Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah

من عرف الحق شهده في كل شيئ, و من فني به غاب عن كل شيئ, ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا


Artinya : " Barang siapa yang ma'rifat kepada Al Haq (Allah), maka ia akan menyaksikanNya disetiap sesuatu, barang siapa yang fana' denganNya maka ia akan merasa hilang dari setiap sesuatu dan barang siapa yang mahabbah (cinta) kepadaNya maka tidak akan mendahulukan sesuatu dariNya (Allah) ".

Setiap hamba yang beriman kepada Allah wajib baginya mempunyai tiga unsur sifat yang meliputi, ma'rifat, fana' dan mahabbah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karena, bagaimana mungkin seorang hamba dikatakan beriman kalau ia tidak tahu akan Allah? bagaimana bisa dikatakan beriman kalau ia masih bersama selain Allah (belum bisa fana' denganNya) dan bagaimana mungkin dikatakan beriman kalau semua cintanya hanya kepada selain Allah ? jika ketiga sifat tadi bisa dipraktekkan maka seorang mukmin akan naik kederajat muqorobah sesuai dengan kwalitas ketiga sifat tadi.

Kalau hikmah diatas kita tela'ah, dari dlohirnya memberikan pemahaman bahwa ketiga sifat tadi terkadang satu dengan yang lainnya bisa terpisah, dengan arti kadang seorang mukmin bisa menerapkan sifat ma'rifat yang sempurna tanpa disertai fana', terkadang bisa fana denganNya tanpa dengan ma'rifat yang sempurna dan juga terkadang timbul mahabbah yang tanpa ma'rifat dan fana.

Namun pemahaman ini bukanlah maksud yang termaktub dalam hikmah diatas karena diantara ketiga sifat tersebut mempunyai ketalazuman (saling berkaitan) yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya

Dari ketiga sifat tersebut yang menjadi pokok dan yang paling penting adalah ma'rifat. Ma'rifatullah tidaklah seperti halnya manusia tahu makhluq lainnya secara kasat mata dan ini sangatlah mustahil karena bagaimana bisa akal makhluq bisa menemukan Dzat al kholiq, oleh karena itu dikatakan :

كل ما خطر ببالك فالله بخلاق ذلك

Artinya : " Apapun yang terlintas dihatimu, maka Allah adalah selainnya "

Ma'rifat kepada Allah bisa diaplikasikan dengan mengetahui sifat-sifatNya, sifat Wujud, Esa, Qudroh, 'Ilmu, Hikmah, Rohmah, Lembut, Keagungan, memaksa, menciptakan menghidupkan, mematikan dan sifat-sifat lainnya.

Kemudian seorang hamba didalam ma'rifatnya kepada Allah dengan tahu akan sifat-sifatNya berbeda-beda kwalitasnya, ada yang sebatas tahu sifat-sifatNya dengan akalnya dan hafal nama-namaNya. Ada yang bisa ma'rifat sampai meresap pada perasaannya. Dan ada juga yang tahu atau ma'rifat akan sifat-sifatNya, sedang ia dalam keadaan disibukkan/mu'amalah dengan dunia namun hatinya masih teguh memegang prinsip dan menggantungkan semua urusan atas fadlol, sifat murah, dan qhodo qhodarnya Allah. Ia tetap memandang kehendak dan pengaturanNya serta hanya mengharapkan rahmat dan takut akan siksaanNya.

Dan sebagian yang lain ada yang lebih dari itu, ia makrifat/tahu akan sifat-sifatNya dan merasakannya sehingga tidak bisa melihat alam ini di setiap tingkahnya kecuali ia melihat jelasnya sifat-sifat Allah, ketika ia melihat sesuatu yang indah ia tidak melihat kecuali melihat sifat jamalnya Allah, ketika melihat ajaibnya pengaturan Allah pada alam ini ia tidak melihat kecuali hikmah dan pengaturanNya, jika ia dikagetkan dengan musibah dan marabahaya yang menimpanya ia tidak melihat kecuali sifat tajalli dan sifat memaksaNya serta menganggap ujian itu adalah tarbiyah dari Allah kepada hambaNya.

Ia tidak menoleh, memandang dan tidak menemukan sesuatu didepannya kecuali jelasnya sifat ketuhanan Allah dalam ajaibnya makhluqNya, sekiranya dalil (sesuatu yang menunjukan) menjadi hancur dan hilang karena jelasnya madlulnya (yang ditunjukan), perasaan hadir dan ma'rifatnya sang arif kepada madlulnya dalil lebih dominan, bukan kepada dalil yang tugasnya sudah selesai didalam menunjukkan madlulnya.

قال سيدي الشيخ احمد زروق : والمعرفة تحقق العارف بما يقتضيه جلال معروفه حتى يصير ذلك التحقق كأنه صفة له لا يتحول ولا يتزحزح ولا تجري أحواله الا على مقتضاها

Derajat/maqom makrifat inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Attho Illah :

من عرف الحق شهده في كل شيئ

Kemudian, termasuk suatu keharusan/kelaziman dari makrifat ini adalah tingkah/haliyah yang disebut Fana' Juz'i, karena tidak mungkin seorang ‘arif yang menyaksikan Allah didalam setiap sesuatu kecuali ketika wujudnya mahluk di depannya hancur atau rusak (menurut pandangan mata batin / basirohnya) serta ia masih yakin akan wujudnya makhluk dan masih muamalah/bisa berhubungan dengannya. Inilah yang disebut الفناء الجزئيّ

الفناء الجزئيّ هو أن ترى من المكونات أشباحها أن تغيب عنك ما قد يتوهم من فاعليتها

Akan tetapi ada sebagian orang yang ‘arif billah, yang bisa atau mampu pindah dari haliyah fana' juz'i ke fana' kulli, maka ia merasa hilang dari makhluk atau alam ini secara keseluruhan, dan tidak bisa lagi mu'amalah dengannya. Barang kali Ibnu 'Attoillah menghendaki makna fana' dengan fana' kulli ini, yang mana beliau memberikan devinisi orang yang fana' dengan ‘ibarat :

و من فني به غاب عن كل شيئ

Hanya saja haliyah fana' kulli ini sangatlah langka, karena orang yang sudah merasa hilang dengan ma'rifat billah dari setiap sesuatu, tidak bisa mu'amalah dengan manusia, ia tidak bisa bangkit untuk menuntun/membimbing manusia dan tidak bisa melakukan dakwah, tapi ia tetap dalam keadaan menyaksikan Allah dengan hatinya.

Akan tetapi, haliyah fana' kulli ini, kebanyakan hanyalah dirasakan oleh orang yang ‘arif disebagian haliyahnya saja. Kemudian ia akan kembali pada haliyah baqo' namun masih ma'rifat billah, sebagaimana ta'bir:

من عرف الحق شهده في كل شيئ

Dan inilah yang dimaksud dengan fana' juz'i, haliyah yang sering dijalani oleh sahabat - sahabat Nabi dan orang-orang shiddiqiin atau robbaniyyiin setelah mereka.

Seorang hamba yang sudah masuk pada fana' kulli ia dikatakan seorang yang majdzub (مجذوب) yang tidak bisa lagi mu'amalah dengan makhluk lainnya karena ia sedang terpana musyahadah kepada Allah, bahkan haliyahnya kadang berlawanan arus dengan syari'at, namun pada haliyah ini ia termasuk dalam keadaan 'udzur.

Bagi orang lain yang sedang menyaksikan/melihatnya diharapkan tidak langsung berprasangka buruk (سوء الظن) dan berbuat tidak sopan (سوء الأدب) kepadanya serta tidak segera menghinanya karena ia dalam keadaan udzur.

Beliau Ibnu 'Athoillah rahimahullah dalam hikmah diatas tidaklah membicarakan tentang fana' kulli yang pada sampai tingkah majdzub, namun beliau sedang membahas tentang fana juz'i yang mana hamba yang sudah sampai haliyah ini masih bisa menjalankan syari'at dan mu'amalah dengan lainnya, inilah makna yang tersirat dalam qoulnya : و من فني به غاب عن كل شيئ

Kemudian termasuk kelaziman dari ma'rifat adalah mahabbahnya sang 'arif kepada Allah ta'ala. Karena pokoknya iman tidak bisa istiqomah dan terwujud kecuali dengan mahabbah ini, cinta yang ditimbulkan dari ma'rifat tersebut.

Karena hamba yang 'arif tidak melihat alam ini kecuali ia hanya memandang sifat-sifatNya yang Maha Indah, agung dan ia mampu melihat sifat Ihsannya Allah.

Jika mahabbah ini terwujud dan bisa dilaksanakan, maka sang muhib tidak akan mendahulukan / mementingkan sesuatu kecuali hanya ridhonya orang yang dicintainya yang tidak lain hanyalah ridhonya Allah subhanahu wa ta'ala. Beliau rahimahullah berkata :

ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا Kesenangan-kesenangan nafsu dan tabi'at kemanusiaan menjadi lenyap dan hancur karena wujudnya Mahabbatullah ini.

Akan tetapi adanya tabi'at kemanusiaan, kekuatan hamba yang maha lemah dan terbatas, yang mana Allah menggambarkan dalam firmanNya :

وخلق االإنسان ضعيفا (النساء : ٢٨)

Artinya : "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (al nisa' : 28), dan juga firmanNya yang berbunyi :

لقد خلقنا الإنسان فى كبد ( البلد : ٤)

Artinya : "Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah" (al balad : 4).

apakah dengan keadaaan seorang hamba yang lemah tersebut mampu mewujudkan mahabbah ini ?

Oleh karena itu, seorang yang muhib lillah harus mampu berusaha keras melawan hawa nafsunya walaupun memang diciptakan dalam keadaan yang dhoif. Atas dasar mahabbah seharusnya terus memperlihatkan hina dan lemahnya dirinya dihadapan Allah, dan ketidak mampuannya dalam merealisasikan cintanya serta ia harus selalu bersabar dalam merealisasikan istiqomah dalam jalan 'ubudiyyah.

Jadi, seorang yang 'arif dan muhib lillah, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu 'Athoillah, tidak akan mendahulukan dan mementingkan sesuatu urusan kecuali hanya urusan Mahbubnya (Allah Subhanahu wa ta'ala). Wallahu a'lam.

Sumber: Muhammad Wafi
Read More..

Sungguh Agama Islam Itu Mudah

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
( صحيح البخاري )
” Sungguh agama islam ini mudah, dan tiadalah yg memaksakan dirinya kecuali akan kesulitan sendiri, maka merapatlah untuk terus membenahi, mendekatlah, dan saling memberi ketenangan kabar gembiralah, dan selalulah mohon perlindungan pd Allah pagi dan sore dan sedikit waktu dilarut malam”. ( Shahih Al Bukhari ).


Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ( العصر: 1-3 )
” Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. ( Qs. Al Ashr: 1-3 ).

Demi masa demi zaman, Allah bersumpah demi masa dan zaman, semua yang terjadi sepanjang masa waktu dan zaman musibah dan kenikmatan, kegembiraan dan kesedihan, perpisahan dan pertemuan, yang kesemua itu adalah gelombang kehidupan yang selalu ada sepanjang zaman, Demi seluruh kejadian itu yaitu masa, sesungguhnya seluruh manusia didalam kerugian, kecuali mereka-mereka yang beriman kepada Allah yang beramal shaleh dan mereka yang saling menasehati di dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Demi masa seluruh gelombang kejadian, kesedihan dan kegembiraan kekayaan dan kemiskinan, keberhasilan dan kegagalan, kehidupan dan kematian, semua di dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah, tidak akan pernah rugi, yang beramal shaleh tidak akan rugi orang-orang yang saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk tabah dan sabar, tidak akan merugi, semoga Allah subhanahu wata’ala mengumpulkan kita kedalam kelompok yang tidak akan rugi, ini sumpahnya Allah, dari masa generasi ke generasi melewati permukaan bumi dalam kehidupan dan di antara mereka yang merugi dan di antara mereka yang beruntung pastikan wahai Allah nama kami di dalam kelompok orang-orang yang beruntung dan bukan orang yang merugi di dunia dan akhirah.

Allah, seraya berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ ( الزمر : 30 )
“Sungguh Engkau wahai Muhammad akan wafat dan semua merekapun( manusia ) akan wafat”. ( QS . Az Zumar: 30 ).

Wahai Muhammad engkau pasti akan menemui kewafatan dan semua orang pun akan menjumpai kewafatan. Beruntung mereka yang wafat di dalam Khusnul khatimah, merugi mereka yang wafat di dalam Su’ul khatimah, kehadiranku dan kalian di malam ini menuntun kita kepada Khusnul khatimah, menjauhkan kita dari Su’ul khatimah, Khusnul Khatimah adalah wafat dalam keluhuran, su’ul khatimah adalah wafat dalam kehinaan dan kegelapan, pastikan seluruh nama kami semua yang hadir akan wafat dalam khusnul khatimah, ya Allah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ، يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ، وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ، ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ، وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ، تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ، أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ( عبس : 33-42 )
” Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya, setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa gembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan, mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka” ( Qs. ‘Abasa: 33-42).

Ketika telah datang waktunya sangkakala terakhir, hancur leburlah seluruh alam semesta, hari di mana manusia melarikan diri dari saudara dan temannya, suami berpisah dengan istrinya, istri berpisah dari suaminya, semua tidak ingin saling dekat karena tidak ingin di tuntut satu sama lain. Seseorang lari dari ayah dan ibunya, takut di tuntut karena pernah tidak berbakti kepada ayah dan bunda, ayah dan bundapun lari dari anaknya takut di tuntut kurang memberi bimbingan yang luhur di dunia, suami melarikan diri dari istrinya takut dituntut oleh istrinya dari hak-hak atas belum ditunaikan, istri melarikan diri dari suaminya takut di tuntut atas hak-hak suami yang belum ditunaikan. Pada saat itu masing-masing orang berada di dalam kesibukan dirinya.
di saat itu ada wajah-wajah mulia, di saat itu ada wajah-wajah yang senang dan gembira, dan ada wajah-wajah yang cemberut dan kusam dan gelap, dan di saat itu ada wajah-wajah masing-masing sibuk dengan permasalahannya, ada wajah-wajah yang gembira karna dia telah mendapat khusnul khatimah dan mendapat perjumpaan dengan para kekasihnya para shalihin dan para pemimpin shalihin sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan di saat itu juga ada wajah-wajah yang terlihat kusam dan gelap mereka dalam penyesalan yang abadi mereka adalah orang-orang yang menolak tutunan Ilahi dan tuntunan Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tuntunan Sang Nabi yang di sampaikan kepada para Sahabah, kalimat-kalimat mutiara-mutiara yang menuntun kepada keluhuran dunia dan akhirah, di saat para Sahabah mendengarnya dan menyampaikannya pada tabi’in, demikian kepada sanubari ke lisannya, dari lisan kepada telinga murid-muridnya dan demikian dari zaman kezaman sampailah kepada kita kalimat-kaliamat yang keluar dari lisan Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seraya berkata di riwayatkan di dalam Sahih Al Bukhari:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ ( صحيح البخاري )
Sungguh agama ini adalah kemudahan, kemudahan yang membawa kemudahan pula, dan tiada orang yang memaksakan dirinya kecuali dia akan hancur sendiri dan akan kalah sendiri oleh keinginannya yang berlebihan.

Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy didalam kitabnya Fathul Baari bisharah Shahih Bukhari mensharahkan makna kalimat ini:

وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَه

Bahwa jangan sampai manusia itu memaksakan diri lebih dari kemampuannya tetapi benahilah diri kita dari segala hal-hal yang kurang sempurnakan semampunya, dan jangan paksakan diri lebih dari kemampuannya.

Berkata Hujjatul Islam wabarakatul ‘anam Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy didalam fathul Baari bisharah Shahih Al Bukhari makna kalimat فَسَدِّدُوا ini adalah jangan sampai kita mengutamakan hal-hal yang sunah hingga membuat hal yang fardhu tertinggalkan.

Misalnya, seorang yang semangat besar untuk melakukan shalat tahajjud, ia lakukan mulai tengah malam sampai dekat subuh sudah kelelahan karna berjam-jam melakukan shalat tahajjud ingin mengikuti sunah, akhirnya sebelum adzan subuh dia tergeletak tidur dan dia lewatkan shalat subuhnya yang fardhu sampai terbitnya matahari, demikian yang dikatakan oleh Al Imam ibn Hajar didalam fathul Baari yaitu jangan berlebih-lebihan jangan pula kekurangan, sudah kita jangan banyak beribadah yang sunah dengar hadits ini sudah jangan paksakan diri, kita memaksakan diri kita terus berbuat dosa, kapan kita berusaha membenahi diri kita untuk mendapatkan pahala dan ibadah, kadang-kadang kita tidak ingin berbuat dosa tapi terus diri kita memaksakan lebih dari kemampuan untuk berbuat dosa bagaimana dengan mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam meneruskan sabdanya وَقَارِبُوا yaitu berkata Al Imam ibn Hajar Asqalaniy didalam fathul Baari makna kalimat ini adalah: kalau kau tidak mampu beramal yang tidak mampu kau lakukan sebagaimana orang-orang mulia yang kau jadikan panutan maka dekatkan kepada amal itu walaupun tidak sepertinya.

Kita dengar Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, Shalat malam sampai bengkak kakinya, kita tidak mampu itu paling tidak mengikuti beliau shalat malam walaupun beberapa menit semampu kita, demikian pula amal shaleh lainya, kalau tidak mampu yang sempurna yang baik maka dekatkan semampu kita kepada yang paling baik menurut kemampuan kita, maka dengan perjuangan itu kabar gembira bagi kalian kata Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
Dan perbanyaklah do’a untuk memohon pertolongan di pagi hari, di sore hari maksudnya pagi hari itu saat waktu kita beraktifitas, banyak-banyak bedo’a kepada Allah supaya aktifitas kita di limpahi keberkahan, kesuksesan, keberhasilan dunia dan akhirah dan juga di sore hari selesai aktifitas kita kerdo’a kepada Allah barangkali tadi banyak dosa yang kita kerjakan supaya di ampuni Allah barangkali dari tadi banyak perbuatan-perbuatan yang buruk yang bisa membawa musibah di masa mendatang agar di ampuni Allah.

وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
Dan di sedikit waktu diwaktu malam yang gelap, malam yang gelap adalah malam yang gelap yaitu di tengah malam atau di akhir malam demikian di jelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy didalam kitabnya Fathul Baari bisharah Shahih Bukhari.

Dan beliau menjelaskan bahwa hadits ini juga memberikan gambaran kepada kita, bahwa Allah subhanahu wata’ala, tidak memaksakan lebih dari kemampuan kita dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kemuliaan tuntunan kemuliaan dan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kelak akan memberikan syafa’ah bagi ummatnya di hari kiamat. Sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ( الأنعام : 82 )
” Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk “. ( QS. Al An’am : 82 ).

Maka di riwayatkan di dalam Shahih Al bukhari ketika ayat ini turun orang-orang yang beriman yang tidak menyatukan iman mereka dengan perbuatan dholim, maka berkata para sahabat “siapa diantara kita yang tidak pernah berbuat dosa, bagaimana ini bisa kita lakukan ayat ini, betapa beratnya, maka turun firman Allah subhanahu wata’ala, yang selanjutnya menjawab kerisauan para sahabat itu dengan firman-Nya:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم ( لقمان : 13 )
” Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” ( QS. Luqman: 13 ).

Al Imam bin Hajjar mensyarahkan makna ayat ini adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala menjawab kerisauan para sahabat, mereka risau dengan turunnya ayat ini siapa diantara kita yang tidak berbuat dosa, lalu bagaimana dengan ayat orang-orang yang beriman yang tidak tercampur iman mereka dengan dosa, yaitu suci dari dosa, siapa yang diantara kita suci dari dosa, maka Allah beri ketenangan mereka dengan ayat ini, yang dimaksud adalah orang yang menyekutukan Allah subhanahu wata’ala tapi mengaku beriman, yaitu para munafikin lisannya muslim tetapi hati sanubarinya memusuhi dan menghancurkan islam, ini ada di masa sang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hingga saat inipun ada.

Berkata Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy didalam kitabnya Fathul Baari bisharah Shahih Bukhari mensyarahkan hadits ini bahwa tiadalah seseorang yang beriman kecuali pasti sampai kepada surganya Allah subhanahu wata’ala, walaupun mereka pendosa dan melewati siksa mungkin di dunia mungkin di barzakh, mungkin di neraka, namun ayat ini merupakan jaminan juga bahwa tidak ada satu orangpun yang beriman kekal di dalam neraka tentunya dengan syafa’at Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jadi kita ini sudah tidak menyekutukan Allah, sudah mengakui Nabi Muhammad utusan Allah, sudah cukup tidak perlu beramal karna sudah pasti masuk surga, hati-hati dengan perbuatan dosa yang meninggalkan perintah Allah dan melakukan larangannya karna perbuatan dosa seperti itu hanyalah menambah musibah kita di dalam kehidupan dunia, di alam barzakh dan di hari kiamat, makin banyak dosa kita, makin banyak kesalahan kita makin banyak musibah yang kita datangkan sendiri dengan perbuatan kita sendiri di dunia dan di akhirat, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita.

Habib Munzir Almusawa
Read More..
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda