Kamis, 24 Mei 2012

Iman Islam dan Ihsan

Suatu ketika malaikat Jibril dalam rupa seorang manusia datang kpd Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam & para shahabat utk mengajarkan tentang pokok-pokok ajaran agama, yaitu Islam, Iman & Ihsan. (Hadis Riwayat: Muslim).

Hadits tersebut kemudian dikenal dgn Hadits Jibril, sebuah hadits yg dipandang oleh para ulama mempunyai posisi yg sangat penting, karena mencakup semua amal baik lahir maupun batin serta menjadi referensi ajaran Islam.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ (أخرجه البخارى فى : كتاب الإيمان : 37 . باب سؤال جبريل النبي ص.م. عن الإيمان والإسلام). مسلم: عن الإيمان: 57. ابو داوود: سنة, 16. ترميذى: الإيمان, 4. ابن ماجه: مقدمة. 9 . احمد بن حنبل: 1,27,51, 19,29.

Musaddad telah menceritakan kpd kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah menceritakan kpd kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kpd kami dari Abu Hurairah r.a berkata: Pada sesuatu hari ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki & bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “iman adl percaya Allah Subhanahu wa ta’ala, para malaikat-Nya, & pertemuannya dgn Allah, para Rasul-Nya & percaya pd hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam ialah menyembah kpd Allah & tdk menyekutukan-Nya dgn sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yg difardhukan & berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kpd Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tdk mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. “Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “orang yg ditanya tdk lbh mengetahui daripada yg bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, & jika penggembala onta & ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk 5 perkara yg tdk dpt diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pd sisi-Nya sajalah yg mengetahui hari kiamat… (ayat).[1] Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kpd para sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tdk melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Itu adl Malaikat Jibril a.s. yg datang utk mengajarkan agama kpd manusia.” (Hadis Riwayat: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah & Ahmad bin Hambal).

Islam

Dalam hadits tersebut, Islam dijelaskan dgn penjabaran 5 rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa & haji.

Syahadat merupakan kesaksian bahwa tiada tuhan yg berhak disembah selain Allah & Nabi Muhammad adl utusan Allah. Shalat merupakan bentuk hubungan vertikal secara langsung antara hamba dgn Sang Khalik. Zakat adl wujud kepedulian sosial terhaadap sesama manusia. Puasa merupakan ujian melawan hawa nafsu. Dan haji adl ajang mempererat ukhuwah islamiyah dgn sesama saudara muslim dari seluruh dunia.

Kelima rukun tersebut merupakan amal lahiriah sbg perwujudan dari makna Islam itu sendiri, yaitu kepasrahan diri secara total kpd Allah. Artinya, kepasrahan sbg makna Islam tdk hanya disimpan dalam hati, melainkan diwujudkan lewat perbuatan nyata yaitu kelima rukun Islam tersebut.

Iman

Iman adl keyakinan dalam hati yg diucapkan oleh lisan & diwujudkan dalam amal perbuatan.
Keyakinan tersebut meliputi enam rukun iman, yaitu iman kpd Allah, malaikat, kitab, nabi & rasul, hari akhir, qadla & qadar.

Keenam rukun iman tersebut adl bentuk amal batiniah sbg wujud pengakuan hati manusia terhadap kebesaran Allah, yg nantinya akan mempengaruhi segala aktifitas yg dilakukan. Manusia adl makhluk dgn segala kelebihan & kekurangan yg ada. Keimanan akan membawa manusia ke titik penyadaran diri sbg hamba Allah yg tunduk di bawah kekuasaan Allah.

Ketika keyakinan terhadap keenam rukun tersebut sudah tertanam dalam hati, maka tentu kita akan berusaha utk menjalani kehidupan sesuai dgn koridor hukum Allah yg pd akhirnya akan membawa ke arah kehidupan yg berkualitas.

Ihsan

Ihsan adl cara bagaimana seharusnya kita beribadah kpd Allah. Rasulullah mengajarkan agar ibadah kita dilakukan dgn cara seolah kita berhadapan secara langsung dgn Allah. Cara ini akan membawa ibadah kita ke maqam (tingkat) yg lbh dekat kpd Allah dgn perasaan penuh harap, takut, khusyu’, ridlo & ikhlas kpd Allah. Perasaan tersebut menjadikan ibadah yg kita lakukan tdk hanya sekadar menjadi kewajiban, tetapi merupakan kebutuhan jiwa dalam penghambaan diri kpd Allah.

Jika cara tersebut belum bisa kita lakukan, maka ibadah kita lakukan dgn keyakinkan bahwa Allah pasti melihat & mengetahui semua yg kita lakukan. Dengan demikian, tentu kita akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan perintah & meninggalkan larangan Allah.

Hubungan antara iman islam & ihsan

Islam, Iman & Ihsan adl satu kesatuan yg tdk bisa dipisahkan satu dgn lainnya. Iman adl keyakinan yg menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dgn cara ihsan, sbg upaya pendekatan diri kpd Allah.

Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat 3 cabang ilmu pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sbg hamba Allah. Iman dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yg menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan. Sedangkan utk mempelajari ihsan sbg tata cara beribadah adl bagian dari ilmu Tasawuf.

*****
Read More..

Rabu, 23 Mei 2012

Takut Kepada Allah


pustaka.abatasa : Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".

Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".

Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun. 

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur." 

Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu. Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." 

Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut." 

Dikisahkan bahwa di tengah Bani Israil ada seorang ahli ibadah yang memiliki keluarga. Lalu, dia tertimpa kelaparan sehingga badannya menggigil. Istrinya pergi untuk mencari makanan bagi keluarganya. Kemudian, dia sampai di rumah seorang saudagar itu makanan untuk keluarganya. Saudagar itu berkata, "Ya, tapi serahkanlah dirimu kepadaku." 

Perempuan itu terdiam dan kembali ke rumahnya. Dia perhatikan keluarganya yang sedang menjerit kelaparan dan berkata, "Ibu, kami akan mati karena kelaparan. Berikanlah sesuatu yang dapat kami makan."
Perempuan itu pergi lagi ke rumah saudagar tadi dan mengabarkan keadaan keluarganya. Saudagar itu bertanya, "Maukah engkau memenuhi keperluanku?" Perempuan ltu menjawab, "Ya". 

Ketika mereka sedang berduaan, persendian si perempuan itu mengigil sehingga anggota-anggota tubuhnya hampir terlepas dari badannya. Melihat keadaan itu, sang saudagar bertanya, "Ada apa denganmu?" Perempuan itu menjawab, "Aku takut kepada Allah." Saudagar itu berkata, "Engkau saja takut kepada Allah SWT dengan kemiskinanmu. Aku lebih pantas untuk takut kepada-Nya daripada dirimu." 

Karena itu, dia menjauhi perempuan itu dan memenuhi kebutuhanya. Lalu, perempuan itu pulang menemui anak-anaknya dengan membawa kenikmatan yang banyak. Anak-anaknya pun sangat bergembira. Allah mewahyukan kepada Musa a.s., "Sampaikan kepada fulan bin fulan bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya." 

Lalu, Musa a.s. menemui saudagar itu dan berkata, "Tampaknya engkau telah mengerjakan kebajikan diantara dirimu dan Allah." Kemudian, saudagar itu menceritakan kisahnya. Musa a.s. berkata, "Allah SWT Telah mengampuni dosa-dosamu." Demikianlah disebutkan di dalam Majma' al-Lathâif

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Allah SWT, berfirman, Pada hamba-Ku tidak berkumpul dua ketakutan dan dua rasa aman. Barangsiapa yang takut kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan keamanan kepadanya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang merasa aman kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan rasa takut kepadanya pada hari kiamat."

Tentang hal itu, Allah SWT Berfirman; "Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku". (QS al-Mâ'idah [5]: 44).

"Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, melainkan takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS. Ali 'Imrân [3]: 175). 

'Umar r.a. pernah jatuh pingsan karena takut ketika mendengar bacaan suatu ayat al-Qur'an. Pada suatu hari, dia mengambil sebatang jerami, lalu berkata, "Aduhai, alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut. Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku." Dia menangis terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Oleh karena itu, pada wajahnya ada garis bekas tetesan air mata. 

Nabi SAW bersabda, "Tidak masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali pada tetek." 

Dalam Raqâ'id al-Akhbâr disebutkan: Hari kiamat didatangkan kepada hamba maka kejelekan-kejelekannya lebih banyak daripada kebaikan-kebaikannya. Lalu, dia diperintahkan ke neraka. Bulu matanya berkata, "Wahai Tuhanku, Rasul-Mu Muhammad SAW telah bersabda, Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah, Dia mengharamkannya pada api neraka. Lalu, aku menangis karena takut kepada-Mu." Karena itu, Allah mengampuni dan mengeluarkannya dari neraka dengan berkah sehelai bulu matanya yang ketika di dunia pernah menangis karena takut kepada Allah SWT. Jibril a.s. berseru, "Fulan bin fulan selamat karena sehelai bulu mata". 

Dalam Bidâyah al-Hidâyah disebutkan: Pada hari kiamat, didatangkan Neraka Jahanam yang nyalanya bergemuruh, dan setiap umat berlutut karena takut kepadanya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah SWT. Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya (QS. al-Jatsiyah [45]: 28). 

Ketika mendatangi neraka, mereka mendengar suara didih dan nyalanya. Gemuruh nyalanya terdengar hingga jarak perjalanan lima ratus tahun. Setiap para nabi berkata, "Diriku, diriku," kecuali Rasullullah SAW. Beliau berkata, "Umatku, umatku." Dari Neraka Jahim itu keluar api sebesar gunung. Umat Muhammad SAW berusaha mendorongnya. Mereka berkata, "Wahai api, demi hak orang-orang yang menegakkan shalat, yang bersedekah, yang khusyu' dan yang puasa, kembalilah." Namun, api itu tidak mati kembali maka dipanggillah Jibril a.s. Kemudian Jibril datang dengan membawa segelas air, lalu diberikan kepada Rasulullah SAW. Jibril berkata, "Wahai Rasulullah, ambillah ini, lalu siramkan pada api itu." Kemudian, beliau menyiramkannya pada api sehingga ketika itu pula api itu padam. 

Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Ini air apa?" Jibril a.s. menjawab, "Ini adalah air mata orang-orang yang durhaka diantara umatmu. Mereka menangis karena takut kepada Allah SWT. Lalu, aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar disiramkan pada api itu, sehingga api itu menjadi padam dengan izin Allah SWT" Rasulullah SAW Berdoa, "Ya Allah, anugerahilah aku dengan dua mata itu tidak menjadi seperti yang digambarkan penyair :

Mengapa mataku tak menangis
karena dosa-dosaku,
Umurku lepas dan tanganku
tetapi aku tak tahu." 

Dikisahkan dari Muhammad bin al-Mundzir r.a. bahwa ketika dia menangis, wajah dan janggutnya dibasahi air mata. Dia berkata, "Telah sampai kabar kepadaku bahwa api neraka tidak akan membakar tempat-tempat yang pernah dibasahi air mata." 

Karena itu, hendaklah orang Mukmin takut akan azab Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsu. Allah SWT berfirman: "Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya". (QS an-Nazi'at [79]: 37 dan 41). 

Barangsiapa yang ingin selamat dari azab Allah dan memperoleh pahala dan rahmat-Nya, hendaklah dia bersabar atas kesengsaraan dunia dan ketaatan kepada Allah, serta menjauhi kemaksiatan. 

Dalam Zahr al-Riyâdh terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Beliau bersabda, "Apabila para penghuni surga masuk ke dalam surga, para malaikat menemui mereka dengan segala kebaikan dan kenikmatan. Para malaikat itu menempatkan mimbar-mimbar untuk mereka. Diberikan kepada mereka berbagai macam makanan dan buah-buahan. Terhadap kenikmatan ini, mereka keheranan; Allah bertanya, "Wahai hamba-hamba-Ku, mengapa kalian tampak keheranan? Ini bukan tempat untuk merasa heran." 

Mereka menjawab, "Sesuatu yang dijanjikan kepada kami telah tiba waktunya." Allah SWT berfirman kepada para malaikat, "Angkatlah hijab dari wajah mereka." Namun, para malaikat bertanya, "Wahai Tuhan kami, bagaimana mereka akan melihat-Mu, bukankah dulu mereka adalah orang-orang yang durhaka?". Allah SWT menjawab, "Angkatlah hijab, karena mereka adalah orang-orang yang selalu berzikir, bersujud, dan menangis di dunia karena ingin sekali-bertemu dengan-Ku." 

Lalu, hijab itu diangkat. Mereka memandang Allah, lalu menjatuhkan diri untuk bersujud kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah berfirman kepada mereka, "Angkatlah kepala kalian. Ini bukan tempat untuk beramal, melainkan tempat kemuliaan." 

Allah menampakkan diri kepada mereka tanpa diketahui bagaimana penampakan diri-Nya, dan dengan rasa bahagia berkata kepada mereka, "Salam sejahtera bagi kamu sekalian, wahai hamba-hamba-Ku. Aku telah ridla kepada kalian. Apakah kalian ridla kepada-Ku?" Mereka serentak menjawab, "Wahai Tuhan kami, bagaimana kami tidak ridla, padahal Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terpikirkan kalbu manusia." 

Inilah makna firman Allah SWT: "Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla terhadap-Nya". (QS Ali 'Imrân [3]: 119). (Kepada mereka dikatakan), "Salam," sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS Yâsîn [36]: 58).

*****


Read More..

Senin, 21 Mei 2012

Sa’d bin Muadz RA Mulia Sebelum dan Setelah Masuk Islam

Namanya adalah Sa`d bin Muadz bin an-Nu`man bin Imri` al-Qais al-Asyhali al-Anshâri radhiyallâhu'anhu, seorang Sahabat memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui Ibnu Umair radhiyallâhu'anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, "Ucapan laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam. Masuk Islamlah kalian!" Sa`d bin Muadz radhiyallâhu'anhu adalah orang yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.

Sa‘d bin Muadz radhiyallâhu'anhu ikut andil dalam perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan ia hidup sebulan kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani Quraidzah. Lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima Hijrah. Keberadaannya di sisi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ikut memberikan kekuatan bagi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah syair disebutkan :

فَإِنْ يَسْلَمِ السَّعْدَانِ يُصْبِحْ مُـحَمَّدٌ
بِـمَكَّةَ لاَ يَـخْشَى خِلاَفَ الْـمُخَالِفِ

Jika dua Sa‘d masuk Islam, maka Muhammad di Mekah
tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.
(maksudnya adalah Sa‘d bin Ubâdah, pembesar suku Khazraj
dan Sa‘d bin Muadz pembesar suku Aus).

PERAN SA‘D DALAM MEMBERIKAN KEPUTUSAN TERHADAP BANI QURAIDZAH

Dalam kitab Fathul Bâri, 'Aisyah radhiyallâhu'anha menceritakan: “Sa`d bin Muâdz radhiyallâhu'anhu terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang Quraisy yang bernama Hibbân bin al-Ariqah/Hibbân bin Qais dari bani Maîsh bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pun membangun tenda untuk Sa`d radhiyallâhu'anhu di masjid, agar beliau bisa menjenguknya dari dekat.”

Selanjutnya 'Aisyah radhiyallâhu'anha mengatakan: “Tatkala Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pulang dari Khandaq, Beliau meletakkan senjatanya lalu mandi. Kemudian datanglah seseorang (Jibril).”

Dalam riwayat lain: "Seseorang memberikan salam kepada kami. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyah al Kalbi radhiyallâhu'anhu. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah Jibril.”" (Malaikat Jibril 'alaihissalam kadang-kadang menemui Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam bentuk sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang bernama Dihyah al Kalbi, pada waktu itu 'Aisyah radhiyallâhu'anha menyangka yang datang adalah Dihyah al Kalbi radhiyallâhu'anhu).

Dalam riwayat lain Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ia datang kepadaku untuk menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”

Kemudian Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril 'alaihissalam. Jibril 'alaihissalam berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allâh Ta'âla, aku belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bertanya, “Kemana?”

Kemudian Jibril mengisyaratkan kepada bani Quraizhah. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pun keluar dan mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al-Fath, 9/212 -216). Pengepungan tersebut membuat mereka (bani Quraizhah) merasa berat dan Allâh Ta'âla juga menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Dalam kondisi demikian, yaitu mereka merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka‘b bin Asad berkata kepada mereka. “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!”

Mereka bertanya: “Apa saja itu”?

Ka‘b menjawab: “Pertama: kita mengikuti lelaki ini (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam), dan beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah seorang nabi yang diutus bagi kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda, anak-anak dan istri-isri kalian akan aman.”

Mereka menjawab: “Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.”

Lalu Ka‘b berkata: “Jika kalian tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan kedua: mari kita bunuh anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang kita, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya ! Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan anak-anak lagi.”

Mereka bertanya: “Kita akan bunuh orang-orang lemah ini ?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?”

Ka‘b menjawab: “Jika kalian enggan dengan ini, maka usulan ketiga: pada Sabtu malam, mungkin Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya akan memberi keamanan kepada kita. Maka, menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai Muhammad dan pasukannya.

Mereka mengatakan: “(jika demikian), berarti kita mengotori hari Sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami kita bersama.”

Kemudian Ka‘b berkata dengan nada tinggi karena marah: “Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”

Akhirnya, kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan pesan: “Utuslah Abu Lubâbah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka (bani Quraizhah) adalah sekutu suku Aus.

Kemudian Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubâbah, semua orang yahudi yang laki-laki bangkit dan mengerumuninya sedangkan para wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu lubâbah sangat iba melihat keadaan mereka. Mereka berkata: “Wahai Abu Lubâbah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam?”

Dia menjawab: “Begitulah” sambil memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya : jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah, kalian akan dihukum mati.

Setelah itu Abu Lubâbah sadar bahwa dia telah mengkhianati Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Seketika itu dia berbalik dan tidak menemui Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tapi langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allâh Ta'âla memberi taubat kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (lihat as-Siratun Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal. 793- 794).

Ibnu Ishâk rahimahullâh menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun terpaksa tunduk kepada hukum Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.” Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasûlullâh engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani Quraizhah -Red).”

Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraizhah?”

Mereka menjawab: “Ya”.

Maka beliau berkata : “Serahkanlah kepada Sa`d.”

Dalam banyak kitab sirah disebutkan bahwa mereka tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu'anhu; dan telah disepakati bahwa mereka telah tunduk kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebelum tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu'anhu.

Alqamah bin Waqash radhiyallâhu'anhu meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi terasa berat bagi mereka, seseorang memerintahkan: “Tunduklah kalian kepada keputusan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam!”

Tatkala mereka meminta petunjuk kepada Abu Lubâbah, ia menjawab: “Kita tunduk kepada hukum Sa‘d bin Muâdz radhiyallâhu'anhu.“ Setelah itu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengembalikan hukum kepada Sa‘d bin Muâdz radhiyallâhu'anhu.

Kemudian Sa‘d radhiyallâhu'anhu berkata, “Dalam hal ini aku memutuskan agar para prajurit bani Quraizhah dibunuh; para wanita dan anak-anak ditawan dan harta bendanya dibagi-bagikan.”

Hisyam (seorang perawi) mengatakan: “Ayahku menceritakan kepadaku dari 'Aisyah radhiyallâhu'anha bahwa Sa`d radhiyallâhu'anhu pernah berdoa kepada Allâh Ta'âla, “Ya Allâh Ta'âla, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang lebih suka aku perangi dari pada mereka yang telah mendustakan dan mengusir Rasul-Mu. Ya Allâh Ta'âla, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi peperangan dengan mereka, maka panjangkanlah usiaku hingga aku bisa berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”

Kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya: “Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat dan Sa`d radhiyallâhu'anhu pun meninggal dunia. (lihat al-Fath 9/213).

Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin mengatakan: “Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allâh Ta'âla bergoncang karenanya.”

Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِـمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ

Singgasana Allâh Ta'âla bergoncang karena kematian Sa‘d bin Muâdz
(HR al-Bukhâri)

Marâji‘:
1. Kitab Fadhâilul Sahâbah Lil Imâm Ahmad halaman 1029
2. Kitab Shahîhul Musnad min Fadhâilil Sahâbah halaman 267
3. Kitab Sirah Nabawiyah Libni Hisyam halaman 793-794
Read More..

Salman Al Farisi

Shahih TarikhAth-Thabari  : Salman Al Farisi
Al Hafizh Abu Al Qasim, Ibnu A’sakir berkata, “Dia adalah Salman bin Al Islam, Abu Abdullah Al Farisi, ksatria berkuda yang pertama kali masuk Islam, sahabat Nabi SAW. Ia mengabdi kepada beliau dan meriwayatkan hadits darinya.”
Diriwayatkan dari Utsman bin Ruwain, dari Al Qasim Abu Abdurrahman, dia berkata: Salman Al Farisi datang kepada kami dan menjadi imam shalat Zhuhur, kemudian manusia berbondong-bondong menemuinya seperti halnya menemui seorang khalifah. Kami juga menemuinya dan beliau mengerjakan shalat Ashar bersama sahabat-sahabatnya. Dia berjalan, kemudian kami berhenti untuk mengucapkan salam kepadanya. Tidak ada seorang pembesar pun di antara kami kecuali menawarkan agar dia sudi singgah di rumahnya. Namun Salman menolak dengan berkata, “Aku sudah berjanji kepada diriku untuk singgah di rumah Basyir bin Sa’ad.” 
Ketika sampai, dia bertanya tentang Abu Ad-Darda`. Mereka berkata, “Dia sedang berdzikir.” Dia berkata, “Di mana tempat dzikir kalian?” Mereka menjawab, “Beirut.” Dia lalu pergi ke tempat tersebut.
Urwah berkata: Setelah itu Salman berkata, “Wahai penduduk Beirut, maukah kalian aku riwayatkan sebuah hadits kepada kalian, yang dengannya Allah menghilangkan dari kalian sifat kependetaan? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 
‘(Pahala) menjaga perbatasan sehari semalam seperti (pahala) puasa dan bangun malam sebulan. Barangsiapa mati dalam keadaan sedang menjaga perbatasan maka dia akan diselamatkan dari fitnah kubur, dan pahala amalannya akan tetap mengalir kepadanya hingga Hari Kiamat’.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Salman Al Farisi menceritakan kepadaku, “Aku adalah seorang pria Persia dari Ishfahan. Aku tinggal di desa yang bernama Jiyyun. Ayahku seorang kepala daerah dan aku orang yang paling dicintainya. Rasa cintanya yang terlalu kepadaku pernah membuatku ditahan di rumah layaknya seorang gadis perawan. Pada waktu itu aku rajin melaksanakan ajaran agama Majusi, menyembah api, yang tak pernah dibiarkan padam sedetik pun. Ayahku mempunyai sebuah tempat yang sangat besar dan dia dibuat sibuk membangunnya. Suatu ketika dia berkata kepadaku, ‘Wahai Anakku, aku sibuk membangun tempat peristirahatan hari ini, maka pergi dan awasilah!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa hal.  Aku pun keluar. Ia kemudian berkata, ‘Kamu jangan menghilang dariku, karena jika kamu hilang maka itu akan membuatku lebih susah daripada mengerjakan tempat peristirahatan tersebut dan kamu akan membuatku gelisah setiap saat’.
Setelah itu aku keluar menuju tempat peristirahatannya. Ketika itu aku melewati sebuah gereja, lalu aku mendengar suara mereka sedang beribadah. Aku tidak tahu alasan ayah menahanku di rumah. Ketika aku melewati mereka, aku mendengar suara mereka. Aku lantas masuk bersama mereka untuk melihatnya. Ketika aku melihat mereka, aku takjub melihat tata cara ibadah mereka hingga aku menyukainya. Aku kemudian berkata, ‘Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan mereka hingga aku meninggalkan tempat peristirahatan ayah’. Selanjutnya aku bertanya kepada orang-orang Nasrani, ‘Dari mana datangnya agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam’.
Aku kemudian pulang untuk menemui Ayah saat dia telah mengutus seseorang untuk mencariku, hingga menyebabkannya menghentikan seluruh pekerjaannya. Ketika aku datang, dia berkata, ‘Ke mana saja kamu? Bukankah sudah kukatakan agar tidak menghilang dariku?’ Aku menjawab, ‘Wahai Ayah, aku tadi melewati kelompok manusia yang sedang beribadah di gereja, lalu aku takjub melihat tata cara agama mereka. Demi Allah, aku duduk bersama mereka hingga matahari tenggelam’. Mendengar itu dia berkata, ‘Wahai Anakku, agama itu tidak baik. Agamamu adalah agama nenek moyangmu, yang lebih baik darinya’. Aku lalu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, agama itu lebih baik daripada agama kita’.
Setelah itu dia mengikat kedua kakiku dan menahanku di rumah lantaran mengkhawatirkan diriku. Aku kemudian mengirim seseorang untuk  menemui orang-orang Nasrani tersebut. Kepada mereka kukatakan, ‘Jika ada seorang penunggang kuda datang kepada kalian dari Syam, maka beritahu aku tentang mereka’. Tak lama kemudian rombongan dari Syam tiba. Aku lalu berkata, ‘Jika mereka menginginkan sesuatu dan ingin pulang maka bertahukan kepadaku!’ Mereka pun melaksanakannya. Aku kemudian berusaha melepaskan besi yang mengikat kaki, lalu keluar bersama mereka hingga tiba di Syam. Ketika aku sampai di sana, aku bertanya, ‘Siapa penganut agama Nasrani yang paling baik?’ Mereka menjawab, ‘Uskup di gereja’. Aku lantas mendatanginya dan berkata, ‘Aku sebenarnya tertarik dengan agama ini dan aku senang tinggal bersamamu, memberikan pelayanan bagi gerejamu ini agar dapat belajar dan beribadah bersamamu’. Mendengar itu, sang Uskup berkata, ‘Masuklah!’ Aku pun masuk bersamanya.
Namun ternyata di seorang pria jahat yang memerintahkan penganut agamanya untuk bersedekah dan membuat mereka terdorong untuk melakukannya. Setelah berhasil mengumpulkan uang sedekah, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak diberikan kepada orang-orang miskin, hingga terkumpul sekitar tujuh peti emas dan perak. Melihat itu, aku marah besar. Tak lama kemudian dia meninggal, sedangkan orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Aku lalu berkata kepada mereka, ‘Dia orang jahat, dia menyuruh kalian bersedekah hingga kalian terdorong untuk melakukannya, namun ketika kalian sudah memberikan sedekah, dia hanya menyimpannya untuk diri sendiri dan tidak membagikannya kepada fakir miskin’. Aku lantas memperlihatkan kepada mereka tempat penyimpanan harta yang jumlahnya mencapai tujuh peti. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, ‘Demi Allah, kita tidak akan menguburkannya selama-lamanya’.
Mereka kemudian menyalibnya dan melemparnya di atas bebatuan.  Selanjutnya mereka mengangkat seseorang untuk menggantikan posisinya. Aku tidak pernah melihat orang —selain orang Islam— yang lebih baik darinya, lebih zuhud di dunia, lebih cinta akhirat, serta lebih beradab pada malam dan siang hari. Aku tidak pernah mencintai seorang pun sebelumnya melebihi cintaku kepadanya. Aku terus bersamanya hingga dia meninggal. Aku berkata, ‘Wahai fulan, ketetapan Allah telah datang kepadamu. Demi Allah, aku tidak pernah mencintai sesuatu seperti halnya aku mencintai dirimu, maka apa yang engkau perintahkan kepadaku dan siapa yang engkau sarankan untuk aku kunjungi?’ Dia berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengenal seseorang selain seorang pria yang berada di Mosul. Datangilah dia, kamu pasti akan menemukan orang sepertiku!’
Setelah dia meninggal dan jasadnya dikubur, aku pergi ke Mosul dan menemui pemimpinnya. Ternyata aku menemukan orang yang persis seperti keadaannya, baik dalam kesungguhan maupun kezuhudan. Aku lalu berkata kepadanya, ‘Seseorang telah menyarankan kepadaku agar menemuimu dan tinggal bersamamu’. Dia menjawab, ‘Tinggallah di sini wahai anakku!’ 
Aku pun tinggal bersamanya seperti yang diperintahkan oleh pemimpinnya, hingga dia meninggal dunia. Setelah itu aku berkata kepadanya, ‘Sebelumnya seseorang telah menyaranku agar menemui dirimu dan sekarang engkau akan meninggal, maka siapa orang yang sarankan untuk aku datangi? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu. Wahai anakku, aku tidak tahu kecuali seorang pria di Nashibain’.
Setelah kami menguburnya, aku mendatangi pria terakhir tersebut. Aku tinggal bersamanya seperti halnya yang lain, hingga akhirnya dia meninggal. Dia kemudian menyarankanku agar mendatangi seorang penduduk Amuriyah di Romawi. Aku pun menemuinya dan mendapatinya seperti keadaan mereka. Selanjutnya aku bekerja hingga berhasil memiliki kekayaan yang melimpah. Tak lama kemudian ada tanda-tanda dia akan meninggal, maka aku berkata kepadanya, ‘Kepada siapa aku harus berguru?’ Dia menjawab, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui lagi siapa orang yang seperti kita yang bisa kamu datangi. Tetapi sebentar lagi akan datang seorang nabi yang diutus dari tanah haram. Dia berhijrah dari daerah panas menuju wilayah yang subur (berair) yang ditanami pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang dapat diketahui, di antara kedua pundaknya ada cap sebagai penutup para nabi. Dia memakan hadiah dan tidak makan sedekah. Jika kamu bisa pergi ke negeri itu maka lakukanlah, karena waktunya sudah dekat’.
Setelah dia telah meninggal dunia, aku masih tetap tinggal di sana hingga beberapa pedagang Arab dari suku Kalb lewat. Aku lalu bertanya kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri Arab? Aku akan memberikan ghanimah serta kekayaanku ini kepada kalian’. Mereka menjawab, ‘Ya’. Aku kemudian memberikan semua hartaku kepada mereka, dan mereka pun membawaku. Tatkala mereka dan aku sampai di Wadil Qura, mereka berbuat zhalim kepadaku dengan menjualku sebagai budak seorang Yahudi di Wadil Qura. Demi Allah, ketika itu aku telah melihat pohon kurma, maka aku berharap itu adalah negeri yang pernah diceritakan oleh sahabatku itu.
Lalu datang seorang pria dari bani Quraidzah ke Wadil Qura. Dia kemudian membeliku dari majikanku, lalu keluar bersamaku hingga kami sampai di Madinah. Demi Allah, negeri itu nampak seakan-akan aku pernah melihatnya lantaran aku telah mengetahui sifat-sifatnya.
Setelah itu aku bermukim di Ruqa, lalu Allah mengutus Nabi SAW di Makkah, dan selama menjadi budak pria tersebut aku tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang beliau. Hingga ketika Rasulullah SAW tiba di Quba‘, Madinah, aku masih bekerja sebagai budak, mengurus kurma-kurma majikanku. Demi Allah, ketika aku berada di kebun itu, tiba-tiba keponakan majikan tersebut datang dan berkata, ‘Wahai fulan, Allah telah membinasakan bani Qailah. Demi Allah, sekarang mereka berada di Quba‘ mengerumuni seorang pria yang datang dari Makkah dan mereka menganggapnya sebagai nabi’.
Demi Allah, mendengar berita yang sudah pernah aku dengar, tiba-tiba badanku gemetar, sampai-sampai seperti akan pingsan. Aku pun bergegas turun dan berkata, ‘Berita apa ini?’
Ditanya seperti itu, majikanku mengangkat tangannya dan memarahiku dengan keras, ‘Apa urusanmu, teruskan saja pekerjaanmu!’ Aku berkata, ‘Bukan apa-apa, tetapi aku hanya ingin mengetahui tentang berita tersebut’.
Sore harinya saat aku telah memiliki persediaan makanan, aku langsung berangkat untuk menemui Rasulullah SAW di Quba‘. Setelah bertemu dengan beliau, aku berkata, ‘Aku mendengar bahwa engkau adalah orang shalih dan ditemani sahabat-sahabatmu yang asing. Aku mempunyai sedekah dan aku melihat engkau sebagai orang yang paling berhak menerimanya di negeri ini. Ini untukmu dan makanlah!’
Beliau kemudian menerimanya, lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, ‘Makanlah!’ melihat hal itu, aku langsung berkata kepada diri sendiri, ‘Ini adalah salah satu sifat yang diceritakan oleh sahabatku’.
Setelah itu aku kembali, sedangkan Rasulullah SAW pindah ke Madinah. Aku kemudian mengumpulkan segala yang aku miliki, lalu mendatangi beliau dan berkata, ‘Aku melihat engkau tidak makan dari hasil sedekah, maka terimalah hadiah ini!’ Rasulullah SAW kemudian memakannya bersama para sahabat. Melihat itu, aku berkata dalam hati, ‘Inilah sifat keduanya’.
Aku lalu menemui Rasulullah SAW lagi pada saat beliau mengiringi jenazah. Ketika itu aku mengenakan dua jubah, sementara beliau berjalan bersama sahabat-sahabatnya. Aku kemudian berputar sambil berusaha melihat bagian pundak beliau, apakah ada cap kenabian seperti yang diceritakan. Tatkala beliau melihatku, nampaknya beliau tahu bahwa aku sedang mencari sesuatu, maka beliau melepaskan serban dari punggungnya hingga aku bisa melihat cap itu. Aku pun langsung memeluknya sambil menangis. 
Setelah itu aku menceritakan kepada beliau kisah yang aku alami seperti yang aku kisahkan kepadamu wahai Ibnu Abbas. Selanjutnya Rasulullah SAW menyarankan agar para sahabat yang lain mendengarkan cerita tersebut.”
Salman masih menjadi budak dan sibuk dengannya hingga dia tidak bisa ikut Rasulullah SAW dalam perang Badar dan Uhud. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Merdekakan dirimu secara mukatab106 wahai Salman!”  Aku pun membuat perjanjian kemerdekaan dengan sang majikan. Aku harus membayar tiga ratus pohon kurma yang telah ditanami, ditambah harta sejumlah empat puluh uqiyah.107 Mendapat informasi seperti itu, Rasulullah SAW lantas bersabda kepada para sahabat, “Tolonglah saudara kalian!” Di antara mereka ada yang memberikan 30 tunas pohon kurma, ada yang memberikan 20, dan ada yang memberikan 15 tunas pohon kurma. Selanjutnya beliau berkata, “Pergilah wahai Salman dan galilah lubangnya. Jika selesai maka datanglah kepadaku, biar aku sendiri yang meletakkan tunas-tunas pohon kurma itu!” 
Aku kemudian menggali lubang-lubang itu dengan dibantu oleh sahabat-sahabatku. Setelah selesai menggali, aku langsung mendatangi beliau untuk melaporkannya. Beliau lalu keluar bersamaku. Kami memberikan tunas pohon kurma itu kepada beliau, lalu beliau meletakkannya dengan tangannya ke dalam lubang. Demi jiwa Salman yang berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun tunas kurma yang mati. Selanjutnya aku menyerahkan pohon-pohon kurma itu kepada majikanku dan tinggal tanggungan membayar uang sejumlah empat puluh uqiyah. 
Tak lama kemudian Rasulullah SAW datang dengan membawa sebuah benda seperti telur ayam yang terbuat dari perak, yang diperoleh dari medan perang. Beliau lantas bertanya, “Apa yang dilakukan Salman Al Farisi yang baru dibebaskan itu?” Aku pun dipanggil. Beliau lantas bersabda, “Ambillah ini dan penuhilah kebutuhanmu dengan ini!” Aku lalu menjawab, “Apa yang bisa aku perbuat dengan ini wahai Rasulullah untuk memenuhi kebutuhanku?” Beliau bersabda, “Ambillah! Allah pasti akan memenuhi kebutuhanmu dengannya’. 
Aku pun mengambilnya lalu menukar sebagiannya dengan empat puluh uqiyah, yang aku gunakan untuk membayar tanggungan kepada majikanku. Sejak saat itu aku bebas. Selanjutnya aku ikut bersama Rasulullah SAW dalam perang Khandaq, dan tidak ada satu peperangan pun yang aku tinggalkan.
Diriwayatkan dari A‘idz bin Amr, bahwa suatu ketika Abu Sufyan berjalan melewati Salman, Bilal, dan Shuhaib dalam sebuah rombongan. Mereka lalu berkata, “Pedang-pedang Allah tidak bisa menyentuh leher musuh-musuh Allah.” Mendengar ucapan itu, Abu Bakar berkata, “Apakah kalian mengatakan itu kepada syaikh dan pemimpin Quraisy?” Tak lama kemudian Nabi SAW datang lalu mengabarkan kepadanya, “Wahai Abu Bakar, mungkin kamu membuat mereka marah. Jika kamu membuat mereka marah, berarti kamu telah membuat Tuhanmu marah.” Abu Bakar pun mendatangi mereka lantas berkata, “Wahai saudaraku, apakah aku telah membuat kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampunimu.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, bahwa Ali pernah ditanya oleh beberapa orang, “Ceritakan kepada kami tentang sahabat-sahabat Muhammad SAW!” Ali berkata, “Siapa yang ingin kalian ketahui?” Ada yang menjawab, “Abdullah.” Dia kemudian berkata, “Dia sahabat yang mengetahui Al Qur`an dan Sunnah dengan baik. Kemudian ilmu berakhir pada dirinya.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan Ammar?” Dia menjawab, “Dia seorang mukmin yang sering lupa. Tetapi jika kamu mengingatkannya, dia akan ingat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Abu Dzarr?” Dia berkata, “Dia menyadari ilmu yang tidak mampu dilakukannya.” Mereka lanjut bertanya, “Bagaimana dengan Abu Musa?” Dia menjawab, “Dia termasuk cendekiawan sahabat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Hudzaifah?” Dia berkata, “Dia sahabat Muhammad yang paling tahu tentang orang-orang munafik.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Salman?” Dia menjawab, “Dia mendapatkan ilmu yang pertama dan yang terakhir, lautan yang dasarnya tidak diketahui, dan dia seorang Ahlul Bait.” Mereka bertanya, “Bagaimana dengan dirimu sendiri wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Jika aku meminta diberi dan jika aku mencari akan menemukan.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Nabi SAW membaca firman Allah,  “Jika mereka berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, kemudian mereka tidak akan seperti kamu ini” (Qs. Muhammad [47]: 38) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau kemudian memukul paha Salman Al Farisi dan berkata, “Pria ini dan kaumnya. Seandainya agama ini dipeluk oleh orang-orang kaya, tentu orang-orang Persi akan segera memeluknya.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata: Al Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah datang untuk menghadap Salman di sebuah rumah gubuk. Keduanya lalu memberi salam dan menghormatinya, lantas berkata, “Apakah engkau sahabat Rasulullah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Keduanya lantas bimbang. Tak lama kemudian Salman berkata, “Sahabat Rasulullah adalah yang menemaninya masuk surga.” Keduanya lalu berkata, “Aku datang dari Abu Ad-Darda`.” Salman berkata, “Lalu mana hadiahnya?” Keduanya menjawab, “Kami tidak membawa hadiah.” Salman berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan tunaikan amanah!
Setiap orang yang datang darinya untuk menemui diriku pasti membawa hadiah.” Keduanya berkata, “Jangan membebani kami dengan itu, karena kami memiliki harta, biar aku yang berikan kepadamu.” Salman berkata, “Yang aku inginkan hanya hadiah.” Keduanya lantas berkata, “Demi Allah, Abu Ad-Darda` tidak menitipkan apa-apa kepada kami untukmu kecuali perkataannya, ‘Sesungguhnya di antara kalian ada seorang pria yang jika bersama Rasulullah, dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Jika kalian berdua mendatanginya, sampaikan salamku kepadanya’. Salman berkata, ‘Hanya hadiah tersebut yang aku inginkan dari kalian, karena tidak ada lagi hadiah yang lebih mulia darinya selain itu?’.”
Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab, dari Salman, dia berkata, “Jika waktu malam telah tiba, orang-orang terbagi menjadi tiga tingkatan: pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapat dosa. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Salman menjawab, “Pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa adalah orang yang menghindari orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berwudhu dan shalat. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang bergaul dengan orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berbuat maksiat. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang tidur hingga pagi.”
Thariq  kemudian berkata, “Aku akan menemani pria itu (maksudnya Salman).” Tatkala beberapa orang dikirim ke suatu tempat, Salman ikut bersama mereka. Aku menemaninya. Jika dia membuat adonan, aku yang membuat roti, dan jika dia yang membuat roti, aku yang memasak. Tak lama kemudian kami singgah di sebuah rumah dan bermalam di tempat tersebut. 
Biasanya, Thariq mempunyai waktu tertentu yang digunakan untuk beribadah pada malam hari. Manakala aku terjaga pada malam hari, aku melihat Salman masih tertidur pulas, maka aku pun tidur kembali. Aku lantas berkata, “Sahabat Rasulullah, orang yang lebih baik dariku saja masih tidur, maka sebaiknya aku tidur kembali.” Ketika aku terjaga untuk kedua kalinya aku melihatnya masih tidur, hingga akhirnya aku tidur lagi. Hanya saja jika dia terjaga pada tengah malam, dalam keadaan tidur, dia membaca, “Subhaanallah, walhamdu lillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar, laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ala kulli syai`in qadir.”
 
Menjelang Subuh, dia bangun, lalu berwudhu, kemudian shalat empat rakaat. Ketika kami mengerjakan shalat Subuh, aku bertanya, “Wahai Abdullah, aku mempunyai jam untuk membangunkanku pada waktu malam dan aku bangun, tetapi aku melihatmu masih tidur.” Salman berkata, “Wahai keponakanku, apakah kamu tidak mendengar apa yang aku baca pada malam itu?” Aku lalu memberitahukannya bahwa aku mendengarnya. Dia lantas berkata, “Wahai keponakanku, itu adalah shalat, karena shalat lima waktu merupakan kafarat di antara keduanya dari dosa-dosa kecil. Wahai keponakanku, kamu hendaknya menetapkan niat, karena itu lebih sampai kepada tujuan.” 
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, dia berkata: Suatu ketika aku dan seorang teman pergi menemui Salman, lalu dia berkata, “Seandainya Rasulullah SAW tidak melarang kami untuk membebani diri, tentu kami akan mengabdi kepada kalian.” Tak lama kemudian dia membawakan roti dan garam kepada kami. Teman itu berkata, “Alangkah baiknya jika ada sha’tar (semacam daun untuk lalap) pada garam kita ini.” Salman pun membawa wadah cuciannya lalu menggadaikannya. Kemudian muncul dengan membawa daun sha’tar. Selesai makan, temanku berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan kami puas dengan apa yang diberikan kepada kami.” Mendengar itu, Salman berkata, “Seandainya kamu puas, tentu wadah cucianku tidak akan digadaikan.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Sa’ad dan Ibnu Mas’ud pernah menghadap Salman menjelang kematiannya. Salman lalu menangis. Ketika dia ditanya, “Mengapa kamu menangis?” Salman menjawab, “Karena janji yang pernah dijanjikan Rasulullah SAW kepada kami, namun kami bisa menepatinya.”  Dia lanjut berkata, “Kalian sebaiknya mengumpulkan bekal di dunia untuk akhirat, layaknya orang yang membawa bekal ketika hendak bepergian. Sedangkan kamu wahai Sa’ad, hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menetapkan hukum ketika membuat suatu keputusan, melakukan pembagian, dan menginginkan sesuatu.”
Tsabit berkata, “Aku mendapat berita bahwa Salman tidak meninggalkan apa-apa kecuali uang dua puluh dirham lebih sedikit.”
Diriwayatkan dari Salman, dia berkata, “Masa yang terpaut antara Isa dengan Muhammad adalah enam ratus tahun.”
Salman meninggal dunia di Mada‘in, pada masa Khalifah Utsman.
Abbas bin Yazid Al Jurjani berkata: Para ulama berkata, “Salman berusia 350 tahun, sedangkan yang 250 tahun tidak diragukan tentangnya.”
Semua masalah, keadaan, peperangan, semangat, dan tingkah lakunya, menunjukkan bahwa dia tidak berumur panjang dan tidak sampai berusia lanjut. Dia meninggalkan negerinya sejak kecil. Mungkin dia pergi ke Hijaz saat berusia 40 tahun atau kurang, tetapi pada saat itu dia belum mendengar perihal diutusnya Nabi. Kemudian dia hijrah. Mungkin dia hidup selama 70-an tahun. Tetapi menurutku, usianya tidak mencapai seratus tahun. Oleh karena itu, siapa pun yang mengetahui secara jelas tentang masalah ini, sebaiknya membertahukannya kepada kami.
Yang menukil bahwa beliau berusia panjang adalah Abu Al Faraj bin Al Jauzi dan lain-lain, sementara aku tidak mengetahui apa-apa tentangnya.
Diriwayatkan dari Tsabit Al Bunnani, dia berkata: Ketika Salman sakit, Sa’ad keluar dari Kufah untuk menjenguknya. Lalu dia datang bertepatan dengan saat-saat Salman menutup usianya. Dia kemudian menangis, lalu mengucapkan salam lantas duduk. Sa’ad berkata, “Apa yang membuatmu menanggis wahai saudaraku? Tidakkah kamu ingat persahabatan dengan Rasulullah? Tidakkah kamu ingat dengan pemandangan yang indah-indah?”
Salman berkata, “Demi Allah, yang membuat aku menangis bukan karena seseorang atau dua orang, bukan karena aku cinta dunia dan tidak senang bertemu dengan Allah.” Sa’ad berkata, “Lalu apa yang membuatmu menangis setelah kamu berusia delapan puluh tahun?” Salman menjawab, “Aku menangis karena kekasihku telah menetapkan janji kepadaku seraya bersabda, ‘Setiap orang di antara kalian hendaknya selalu bersiap-siap di dunia ini, seperti halnya persiapan yang dilakukan oleh orang yang hendak bepergian’. Oleh karena itu, kami takut telah melanggar janji itu.”
Diriwayatkan dari sebagian sahabat, dari Tsabit, dia berkata, “Diriwayatkan dari Abu Utsman, bahwa hadits tersebut berstatus mursal, seperti yang dikatakan oleh Abu Hatim.” Hadits ini menjelaskan bahwa Salman hanya berusia 80 tahun.
Mengenai hal ini, aku telah menjelaskannya dalam kitab Tarikh Al Kabir, bahwa dia berusia 250 tahun, dan pada saat itu aku tidak menerima dan tidak membenarkan pendapat tersebut.
*****

Read More..

Minggu, 20 Mei 2012

Seputar Hadits

Pengertian dan Struktur Hadits

PengertianHadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.


Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.

Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah :

Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
  1. Keutuhan sanadnya
  2. Jumlahnya
  3. Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah: Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi Hadits

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

BERDASARKAN UJUNG SANAD
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)

Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.

Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

BERDASARKAN KEUTUHAN RANTAI/LAPISAN SANAD
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.

Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.

Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).

Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3

Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.

Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

BERDASARKAN JUMLAH PENUTUR
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)

Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
  1. Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
  2. Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
  3. Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
BERDASARKAN TINGKAT KEASLIAN HADITS
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  • Sanadnya bersambung
  • Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
  • Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.

Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.

Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

JENIS HADITS LAINNYA
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
  1. Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
  2. Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
  3. Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut
  4. Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
  5. Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  6. Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
  7. Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  8. Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
  9. Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
  10. Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu
  11. Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya

Kitab-kitab Hadits 

Abad ke 2 H

  1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
  2. Al Musnad oleh [Ahmad bin Hambal]] (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
  3. Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi'i
  4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
  5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
  6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814M)
  7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
  8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
  9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.


Abad ke 3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
  1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
  3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
  4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
  5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
  6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
  7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Abad ke 4 H
  1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
  8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
  9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan
  1. Bersumber dari kutubus sittah saja: Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M), Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (1084 M)
  2. Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
  3. Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
  1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
  3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
  4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (1254 M)
  5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  6. Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
  7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
Kitab Al Hadits Akhlaq
  1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadits)
  1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
  4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
  5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Mukhtashar (ringkasan)
  1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
  2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Lain-lain
  1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
  2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
  1. Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
  2. As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  3. As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal(Imam Ibnu Majah)
  4. Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  5. Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  6. Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
    *****
    Sumber  : http://www.aliyahromu.com/
Read More..

Seputar Fiqih

A. PENGERTIAN
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).

Macam-macam dalil : Dalil naqli (teks) (Al-Qur’an, Hadits), Ijma’ (konsensus), Dalil aqli/akal (Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah)

Firman Allah dalam QS An Nisa’:59 : “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”

Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44 : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”

Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).

Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur ra’yi  Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu Dawud).

Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.

B. SUMBER HUKUM PRIMER
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih,  mantuq-mafhum, ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).

Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
  • Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
  • Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
  • Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
  • Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
  • Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
  • Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.

Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).

Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.


C. ISTINBATH HUKUM DARI DALIL AL-QURAN DAN HADITS

Kejelasan makna lafazh
Tingkat  kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
  • Zhahir, paling rendah  tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal). Contoh zhahir seperti pada ayat: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3). Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
  • Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal). Contoh nash seperti pada ayat : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2). Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
  • Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global). Perhatikan firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38). Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah : “tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.” “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.” Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan. Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
  • muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah : “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4). Demikian juga hadits nabi : “Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas : Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul). Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja.  Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab. Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak. Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak. Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
  • Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai  dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
  • Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan). Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
  • Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah : Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat). Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).

Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.


Petunjuk Lafazh (dhalalah)

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
  1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,i tulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
  2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 : “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
  3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
  4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 : “Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 : “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”. Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
  5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “ Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
  1. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari : Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .” Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
  2. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari: Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “ Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.” Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 : “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “ Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 : “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “ Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.

CAKUPAN LAFAZH
A. 'Am (umum) – Khas (khusus)


Lafazh ‘Am (umum) Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
  • Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham):
  • Lafazh ma (apa saja)  dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
  • Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
  • Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
  • Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi).
  • Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
  • Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
  • Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
  • Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
  • ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)

Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :
  • ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 : “Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
  • ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus) Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 : “Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
  • ‘Am yang mendapat peng-khususan Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”

Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.

Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
  • Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
  • Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
  • Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 : “(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
  • Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
  • Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
  • Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 : “Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”

Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
  • Ayat Al-Qur’an yang lain. QS Al-Baqarah [2] : 228 : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.” QS Ath-Thalaq [65] : 4 : “Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 : “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
  • Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 : “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
  • Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’). Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 : “Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.” Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.
  • Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas) Contohnya QS An-nur [24] : 2 : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 : “Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
  • Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal) Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 : “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
  • Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera) Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 : “Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.” Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
  • Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq) Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 : “Dan  tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?” Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
  1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
  2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
  3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
  4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
  5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) – Mubayyan (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.

Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).

Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.

Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.

Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
  • Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan : “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”
  • Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
  • Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
  • Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li) Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
  • Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 : “…dan dirikanlah shalat…” Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
  • Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
  • Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
  • Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
  • Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan,  itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
  • Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).

Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya. Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.

Macam-macam mufassar :
  • Mufassar oleh zatnya sendiri Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 : “Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang. Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 : “Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.” Kata “semuanya” itu adalah mufassar.
  • Mufassar oleh lafazh lainnya Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

C. MUTLAQ (TANPA BATASAN) - MUAYYAD (DEANGAN BATASAN)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 : “Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….” Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman” Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”

Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
  • Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 : “(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
  • Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad. Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan. Pada QS Al-An’am [6] : 145 : “Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”  Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
  • Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
  • Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernyta” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat  “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
  • Amr (perintah) dan Nahi (larangan). Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum : Menunjukkan wajib, Menunjukkan sunah, Menunjukkan suruhan saja, Menunjukkan kebolehan. Sedangkan Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul : Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat, Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya, Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan, Larangan karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jum’at dikumandangkan.
  • Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil: Ta’arudl Yaitu pertentangan antar dalil, Kompromi, Tarjih Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh), Nasakh Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.

D. QOWAID FIQIYAH (KAIDAH FIQIH)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang). Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata : “Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”

Kaidah Fikih Global : “Mengambil maslahat dan menolak masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang banyak.
  1. Kaidah Pokok ke-1 : “segala sesuatu bergantung kepada niat”
  2. Kaidah Pokok ke-2 : “yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
  3. Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam kesempitan ada kelapangan”
  4. Kaidah Pokok ke-4 : “Kemudhorotan harus dihilangkan”
  5. Kaidah Pokok ke-5 : “Adat dapat dijadikan hukum”

Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
  • Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
  • Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
  • Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
  • Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
  • Jalan yang menuju haram juga haram.
  • Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
  • Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
  • Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
  • Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
  • Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
  • Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu’ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul  dan atau yang qoth’i)
  • Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
  • Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
  • Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. SUMBER HUKUM SEKUNDER
  1. ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.
  2. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
  3. Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits.  Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).

F. SUMBER HUKUM TERSIER (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
  1. Istihsan  yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
  2. Mashlahah mursalah Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara’ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
  3. Istihshab Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
  4. Istidlal Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
  5. Sadudz Dzariah Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju zina
  6. Urf yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara’, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
  7. Adah yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
  8. Ta’amul yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
  9. Bara’ah Ashliyah yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
  10. Istiqra’ yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
  11. At-Taharri yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
  12. Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
  13. Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril     mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
  14. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman Yaitu berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
  15. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
  16. Al Ishmah yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
  17. Syar’u man qablana yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
  18. Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
  19. Al akhdzu bil ihtiyath yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
  20. Al Qur’ah yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
  21. Al ‘amalu bil ashli yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
  22. Ma’qulun nash yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
  23. Syahadatul qalbi yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
  24. Tahkimul hal yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
  25. ‘Umumul balwa yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
  26. Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
  27. Dalalatul iqtiran yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”
  28. Dalalatul ilhami yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
  29. Ru’yan nabi yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi :  “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”
  30. Al akhdzu bi aisari maa qilaa yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
  31. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
  32. Faqdud dalil ba’dal fihshi yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.

Perkembangan Ilmu Fiqih

Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.

Dalam masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.

Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.

Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.

Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.

Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.

Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.

Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :

Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.”  (QS An-Nisa : 29)

Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.

Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.

Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.

Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.

Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.

Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.

Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.

Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :

“Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)

“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).


Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.

Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.

Firman Allah dalam QS At-Taubah:100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”

Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”

Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.

Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
  1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
  2. Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
  3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  4. Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
  5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
  6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  7. Aisyah, Ummul Mukminin
  8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
  9. Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
  10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
  11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.

Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari  Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.

4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.
5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.

Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
  1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
  2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.

Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.

Mufti dan Fuqaha di Madinah
1. Said bin Al Musayyab
2. Urwah bin Zubair
3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
5. Abu Bakar bin Abdurrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Ubaidillah bin Abdullah

Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
1. Atha’ bin Abi Rabah
2. Thawus bin Kisan
3. Mujahid bin Jabar
4. Ubaid bin Umar
5. Amru bin Dinar
6. Ikrimah maula Ibnu Abbas

Mufti dan Fuqaha di Basrah :
1. Amru bin Salamah
2. Abu Maryam al-Hanafy
3. Ka’ab bin Sud
4. Hasan Al Basri
5. Muhammad bin Sirin
6. Muslim bin Yasar

Mufti dan Fuqaha di Kufah :
1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
3. Syuraih al Qadhy
4. Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
5. Rabi’ bin Khutsam.

Mufti dan Fuqaha di Mesir :
1. Yazid bin Abi Habib
2. Bakir bin Abdillah
3. Amru bin Al-Harits

Mufti dan Fuqaha di Yaman :
1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
2. Abdul Raziq bin Hamman
3. Hisyam bin Yusuf
4. Muhammad bin Tsur
5. Samak bin Al-Fadhl

Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
1. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby

Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
1. Yahya bin Yahya
2. Abdul Malik bin Habib
3. Baqi bin Makhlad
4. Qasim bin Muhammad
5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly

Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
  1. Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
  2. ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
  3. Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
  4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
  5. ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
  6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
  7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).

Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
  1. Mufti dan Fuqaha di Mekkah : Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy,  Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
  2. Mufti dan Fuqaha di Madinah : Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
  3. Mufti dan Fuqaha di Basrah : Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
  4. Mufti dan Fuqaha di Kufah : Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
  5. Mufti dan Fuqaha di Baghdad : Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
  6. Mufti dan Fuqaha di Syam : Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
  7. Mufti dan Fuqaha di Mesir : Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
 
*****

Sumber : http://ahmadfaruq.blogdetik.com
Read More..
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda