Jumat, 08 Maret 2013

Biografi Syeikh Ibnu 'Atha'illah al-Sakandari





 Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili dilahirkan di kota Alexandria (Iskandariyah), lahir sekitar tahun 658 H. Beliau berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum. lalu beliau pindah ke Kairo Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Ibn ‘Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athai'llah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tariqat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tariqat saja. Kitab-kitab ibn Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tariqat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda saat ini.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama terkenal di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili pendiri Thariqah al-Syadziliyyah sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan“ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :

Pertama, Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Kedua, Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

Ketiga, Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Karomah Ibnu 'Atho'illah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah Ibn Athoillah yang lainnya adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Guru dan Murid
Ajaran tasawuf yang tertanam pada Ibnu Atho'illah banyak diperoleh setelah beliau sering mengamalkan ilmu agama yang dia miliki dan dengan seringnya bergaul dan bertemu dengan para sufi yang pada akhirnya dapat merubah pola hidupnya dan mengikuti kehidupan para sufi, diantara guru-guru beliau adalah Syech al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami, Syekh Abul Abbas Al Mursy, Nadruddin al Munir, Syarafuddin al Dimyati, al Muhyil al Mazani, Syamsuddin al Asfani.

Setelah beliau memiliki dasar ilmu agama yang kuat dan sudah memperoleh ajaran tasawuf dari gurunya, kemudian beliau mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya di Kairo Mesir, dan diantara murid-muridnya ada yang menjadi ulama terkenal seperti Imam Taqiyyuddin al Subki, Abu Abbas Ahmad bin Malik, Daud bin Bahla dan lain-lainnya.

Karya Beliau
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’illah meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Diantaranya :

Kitab Hikam, kitab ini sangat terkenal dan tersebar dan dipelajari banyak orang didunia yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Turki, Spanyol, Inggris, melayu, Urdu dan dalam bahasa Indonesia. Dalam kitab ini memuat 42 buah kalimat yang mengandung hikmah sufi.
Kitab At Tanwir Fi Isqat al Tadbir, kitab ini berisikan petunjuk-petunjuk bagi orang-orang yang selalu ingin bersama Allah dan hal-hal yang mengganggu.
Kitab Lathoif al Minan Fi Manaqibal asy syekh Abi al Abbas al Marsi Wa Syaikhal al Sazali, kitab yang berisikan sejarah dan asal usul para pemimpin tarekat Sazaliyah, yaitu Syeikh Abu Abbas al Marsi dan Abu Hasan as Sazali.
Kitab Tajul Arus al hawi Litahzibin Nufus, kitab ini menguraikan berbagai ajaran dan penjelasan yang berkenaan dengan kehidupan sufi.
Al Qasdul Mujarrad Fi Ma'rifat al Ismal al Mufrad, kitab ini menjelaskan tentang Tuhan, sifat, Asma', Af'alnya dan cara pencapaian ma'rifat kepada Allah.
Miftahul Falah Wa Misbahul Arwah, kitab ini menguraikan pokok-pokok ajaran tentang riyadhah dan mujahadah dalam zikir, uzlah, kholwat dan lain-lain. 


Kitabnya yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam ialah kitabnya yang bernama Al-Hikam, Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba. Kitab Al-Hikam ini juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-atha’iyyah untuk membedakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibn ‘Athai'llah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Wafat
Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Kairo Mesir pada Tahun 709 H atau sekitar tahun 1309 M. dan dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro di kaki bukit Mukattam.

Wallohu A'lam.
Read More..

Kamis, 07 Maret 2013

Ahl Al-suffah, Generasi Sufi Pertama


Sufi Road : Banyak yang menyebut bahwasanya Ahl al-Suffah adalah generasi sufi pertama dalam Islam. Istilah ‘sufi’ sendiri ada yang berpendapat berasal dari kata Ahl al-Suffah. Al-suffah adalah bangku yang dijadikan alas tidur mereka dengan berbantal pelana.

Mereka adalah sekelompok sahabat yang mendiami bilik-bilik yang disediakan Rasulullah SAW di sekitar Masjid Nabawi. Seluruh waktu mereka dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk hal-hal yang bermanfaat dan seluas-luasnya untuk memahami ajaran Islam. Keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari mereka diambil dari dana bantuan kaum Muslimin sesuai kemampuan masing-masing.

Ahl al-Suffah bukanlah sekelompok umat yang istimewa atau diistimewakan, mereka juga bekerja, berperang, bahkan diantara mereka adalah panglima perang dan periwayat hadis. Sikap yang menonjol pada Sahabat dan Ahl al-Suffah adalah zuhud. Zuhud atau al-zuhd secara harfiah bermakna keadaan meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal yang bersifat rohani.

Tapi jangan disalahtafsirkan, perilaku yang meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya tidak peduli terhadap keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, bukan merupakan bagian dari zuhud.

Walaupun menjauhi kesenangan duniawi dan memilih hidup sederhana, mereka berbahagia bersama Rasululah SAW, berjihad mendampingi Rasululah SAW, bersikap zuhud dan qana’ah dalam menghadapi hidup. Mereka merasa lebih bahagia bila berada di sisi Rasululah SAW, menimba ilmu dari setiap wahyu yang diterima Rasululah SAW, dengan ikhlas dan penuh kegembiraan.

Dalam khalwah, mereka pergunakan untuk shalat, membaca Al-Qur’an, mengkaji ayat demi ayat secara bersama dan memusatkan diri untuk berdzikir. Sebagian mereka belajar menulis. ‘Ubadah ibn al-Samit merupakan salah seorang yang sering mengajar mereka menulis dan membaca. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang terkenal karena pengetahuan dan hafalannya tentang hadis-hadis Nabi, seperti Abu Hurayrah yang meriwayatkan banyak hadis Nabi SAW.

Petarung Ulung

Selain menjadi orang-orang yang mengkhususkan diri untuk mempelajari dan mengembangkan ajaran Islam, Ahl as-Suffah juga merupakan pasukan yang mumpuni yang sewaktu-waktu siap dikirim ke medan perang menghadapi orang-orang kafir. Mereka terkenal sebagai pasukan yang sangat berani.

Ketika pertempuran dan perang berkecamuk dengan silih berganti mereka memimpin pasukan menjadi laskar Islam yang tangguh. Di kala damai mereka sering mendapat tugas dari Rasululah SAW sebagai duta umat ke negeri-negeri yang ditaklukkan pasukan Islam dan sekaligus menjadi da’i yang menyampaikan dakwah dan mengajarkan Islam di sana.

Sebagian mereka yang syahid di Badar, antara lain; Safwan ibn Bayda, Zayd ibn Khattab, Kharim ibn Fatik al-Asadi, Khubayh ibn Yasaf, Salim ibn Umair, dan Haritsah ibn Nu’man al-Ansari.

Yang syahid di Uhud; Hanzhalah al-Ghazil. Syahid dalam Perang Hudaibiyah; Jurhad ibn Khuwa’ad dan Abu Suraybah al-Ghifari. Syahid di Khaibar; Tariq ibn Amr. Syahid di Tabuk; Abd Allah Dzu al-Bijadam. Syahid di Yamamah; Salim dan Zayd ibn al-Khattab. Dengan demikian, mereka menghabiskan malam hari untuk ibadah dan siang hari untuk berperang.

Jumlah mereka bervariasi dari waktu ke waktu. Mereka bertambah saat delegasi berdatangan ke Madinah. Penghuni permanen kira-kira 70 orang, tetapi jumlah mereka bertambah setiap saat. Suatu ketika Sa’ad ibn Ubadah menjamu sekitar 80 orang.

Abu Nu’aim adalah ulama pertama yang membuat daftar nama-nama mereka di kalangan Ahl al-Suffah. Ia mengutip dari sumber-sumber terdahulu tanpa menyebut referensinya. Barangkali dari buku Abu Abd al-Rahman al-Sulami (wafat 412 H) yang menulis tentang Ahl as-Suffah. Diantara sahabat yang termasuk ke dalam golongan Ahl as-Suffah yang ditulis Abu Nu’aim, ditambah lagi dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber lain ada 55 orang.

Salah satu Ahl al-Suffah yang tertulis sebagai Mursyid dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiyah adalah Sayyidina Salman al-Farisi RA. Beliau inisiator strategi pertahanan dalam ‘Perang Parit’ yang belum pernah dikenal sebelumnya di Jazirah Arab. Sayyidina Salman al-Farisi RA mendapat ilmu yang menjadi amalan para sufi ini berasal dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, yang mendapat langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan Nabi sendiri:

“Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.

Referensi :
http://baitulamin.org
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Angkasa – Bandung (2008).
Read More..

Syeikh Mahfudz At-Termasi

Seorang ulama besar Al-Jawi (Melayu, Sumatra) yang sebagai muslimin di tanah suci Mekkah hingga akhir hayatnya. Ulama ini memeiliki reputasi internasional didunia Islam. Termashur sebagai Muhaddist (Ahli Hadist), Musaid (Mata rantai sanad hadist), faqih (Ahli Fiqih), Ahli Ushul Fiqih, dan Muqri (Ahli Qira’ati) serta Mursyid Thariqat Syadizliyah, sebagai Imam dan Guru di Masjid haram Mekkah hingga akhir hayatnya, juga ulama mullaif ( pengarang kitab), kitab yang produktif untuk disiplin ilmu keislamaan dan beberapa harganya tergolong monumental dan bermutu tinggi.

Syeikh Mahfudz Al-Tarmasi (Al- Turmusi, Al-Tarmasi) nama aslinya Muhammad Mahfudz. Riwayat hidupnya semasa kecil hingga dewasa ditulisnya sebagai informasi penting tertera pada kitabnya Muhibbah Dzil Fadhal jilid 4, disebutkan Ia dilahirkan di Desa Tremas, kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Kresidenan Madiun (Provinsi Jawa Timur), pada Tanggal 12 Jumadil Awal 1285 H bertepatan 31 Agustus 1868. Syeikh Mahfudz dilahirkan tahun 1285 H/1842 M, namun bila dihitung dengan cermat tahun 1285 H semasa dengan tahun 1868 H. Ayahnya KH. Abdullah adalah pengasuh pondok pesantren Tremas yang didirikan oleh kakeknya, KH. Abdul Manan (nama kecilnya R. Bagus Darto/ R. Bagus Sudarot ) tahun 1830, setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo asuhan KH. Khasan Besari, KH. Abdul Manan putra R. Demang Dipomenggolo yang di ambil menantu pamannya Demang Tremas R. Ngabei Honggowijoyo dan mereka keturunan kethok Jenggot punggawa kesultanan Surakarta yang ditugaskan membuka lahan (babat alas) Pacitan shingga menjadi perkampungan yang semakin ramai.

Muhammad Mahfudz pertama kali mengaji kepada ayahhandanya dipesantren Tremas, sampai khatam beberapa kitab (fathul Muin, fathul Wahab, yarah Syarqowi, Minhajul Qowim, Syarah Ibnu Qosim al Ghazali) dan sebagian tafsir jalalain. Lantas Ia berguru kepada Syeikh Soleh As-Samarami (Kiyai Sholeh darat Semarang) untuk kitab-kitab tafsir Jalalain (2 kali Khatam), Syarah Al-Hikam (2 kali Kahatam), dan kitab-kitab ilmu falaq yakni syrah al al-Mardim dan wasilah ath-Thalab.

Setelah menganjak ramaja Muhammad Mahfudz yang cerdas ini bersama adiknya Dimyathi bin Abdullah dikirmkan oleh ayahandanya ke tanah suci Mekkah. Ia memperdalam ilmu-ilmu keislaman dengan mengaji kepada ulama-ulama disan baik ulama Timut Tengah maupun dari kalangan Al-Jawi (berasal dari dunia Melayu) diantara guru-gurunya adalah :

  1. Syeikh Ahmad al-Munsyawi (ahli Qira’at asal Ikrit), mengaji kitab Al-Qur’an Qiratul ’ashin fi riwayati khalaf bima tayasaraa min at-tajwid dan Syarah Al-Allamah ibnu Al-Qasih ala As-satibiyah.
  2. Syaeikh Amr bin baslat Asy-Syami (ahli Fiqih asal Syiria) mengaji kitab Syarah Syadzuru’.
  3. Syeikh Mushtofa bin Muhammad bin Sulaiman al-Afifi (ahli ilmu alat dan Usul Fiqih) Ia mengaji kitab Mahlli ’ala jam’ul jawami dan Mughni labib.
  4. Imam Al-Hasab Al-Wara’ Al- Nasib Sayid Husain Muhammad Al-Habsyi (ahli Hadist) untuk kitab Shoheh Bukhori dab Shoheh Muslim.
  5. Syeikh As’ad bin Muhammad Babsil Al-Hadrami (ahli Fiqih, Mufti Makkah) untuk Syarah Uqud Al Imam Asy-Syifa’an li al-Qodiyah
  6. Syeikh Muhammad As-Sarbini Ad-Dimyathi (ahli Fiqih dan Qira’at asal Mesir) untuk kitab Syarah Ibnu Al – Qosih’ala As Sahidiyah, Syarah Ad-Durar al – Mudhi’ah Tibyan Al-Nasyri fi Qira’ah al-asyri, Raudhoh Nadhir al-Muthawalli, Ithkaf Al-Basyari fi Qira’ah Al-Qur’an, Al-Iddah li Syatibiyah dan Tafsir Al- Baidhowi
  7. Syeikh Abu bakar bin Muhammad syatho’ Ad-Dimyathi (Syeikh Bakar Syatho’) sebagai guru Utamanya di Masjid Al-Haram. Ia mengaji kitab I’anah at-Thalibin karya gurunya tersebut dan kitab-kitab lain. Lebih dari itu ia mendapatkan Ijazah (legitimasi) dari Syeikh Bakar As-Syatho’ sebagai Musnid atau penyampai mata rantai atau sanad Hadist Bukhori matan ke 23 stelah gurunya sebagai matan ke 22.
Selain belajar kepada ulama tersebut, Syeikh Mahfudz Teremasi juga berguru kepada ulama lain di Makkah diantaranya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Mekkah) dan Sayid Ahmad Az-Zawawi, sedangkan dari kalangan ulama Al- Jawi ia berguru kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Wan Ahmad Al-Fathani, sahabat-sahabatnya di Mekkah yang terkenal antara lain tak terkecuali (Syeikh Muhammad Yusuf Al-kamali), Syeikh wan daud bin Musthofa Al-Fathani (asal fatani) dan Syeikh Abdullah fahim (Mufti pulau pinang, Malaysia).

Syeikh Musthofa juga pernah belajar di madinah yakni kepada Syeikh Sayid Muhammad Amir bin Ahmad Ridwan al- Madani, dan dari ulama ini ia mendapat Ijazah Dalailul khoirot. Al-Burdah, Al Ahzab, Al- Auliyat Al-Aljami, al-Mutawalli dan kitab Al- Muwatho’ karangan Imam Malik binj Anas.

Ketika sedang asyiknya mendalami ilmu-ilmu keislamaan, Ayahandanya yang sudah Uzur, memanggil pulang Syeikh Mahfudz dan Syeikh Dimyathi. Ia menyuruh adiknya pulang kampung untuk meneruskan kepemimpinan di pesantren Tremas dan ia minta izin ayahandanya untuk melanjutkan tugas belajarnya di Mekkah.

Syeikh mahfudz At-termasi tambah dan berkembangnya sebagai ulama besar dan merupakan kebanggan mukmin al-Jawi sebagai Imam dan Guru di Masjidil al-haram mekkah yang muridnya dari beberapa Negara tidak terbatas dari Nusantara. Ulama ini terkenal alim alamah dalam berbagai disiplin ilmu, shingga Syeikh Yasin bin Isa Al Fadani Al-makki (1917-1991) memberinya gelar kehormatan Syeikh Mahfudz sabagai Al-Alamah, Al-Muahdist, Al-Musnid, Al-Faqih, Al-Ushuli, dan Al-Muqri (sangat alim, ahli ilmu hadist, ahli ilmu fiqih, ahli ilmu mata rantai sanad hadist, ahli ushul fiqih, dan ahli qira’ati). Gelar ini pantas di sandang oleh ulama Jawi asal Tremas Pacitan ini, terbukti pada karya-karya tulisannya beberapa jilid, kesemuanya berbahasa arab dan mata bahasanya yang sedemikian tinggi terutama untuk kitabnya Muhibbah Dzil Fadhal makky Dzawin Nadhar.

Syeikh Mahfudz sebagai mursid hadist Bukhori matan ke 23 dan secara berturut-turut mata rantai tersebut mulai Imam Al-Bukhori sampai kepadanya adalah sebagai berikut :

  1. Imam al Bukhori (Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah (194-256 H/810-870 M).
  2. Imam Al-Hafidz Al-Hujja’
  3. Imam Muhammad bin Yusuf bin Matar al-Farbasi.
  4. Imam Abdullah bin Ahmad.
  5. Syeikh Abdul Hasan Abdurahman bin Mudhofar Ad-Daud
  6. Imam Al-Hambali.
  7. Imam Al-Hasan bin Al Mubaraq Az-Zubaidi.
  8. Syeikh Ahmad bin Thalib Al-Hajar.
  9. Syeikh Ibrahim bin Muhammad
  10. Syeikh Ahmad bin Hajar Al-Asqolani
  11. Syeikh Islam Zakaria Al-Ashari Al-Hafidz
  12. Syeikh Muhammad bin Ahmad al Ghaisi
  13. Syeikh Salim bin Muhammad As-Sauhari
  14. Syeikh Muhammad bin Alauddin Al-Babili
  15. Syeikh Abdullah bin Salam Al-Bashri
  16. Syeikh Salim bin Abdullah bin Salim al Bashri
  17. Syeikh Muhammad Ad-Dafri
  18. Syeikh Isa bin Muhammad Al-Barawi
  19. Syeikh Muhammad bin Ali Asy-Sarwani
  20. Syeikh Usman bin Hasan Ad-Dimyathi
  21. Syeikh Ahmad bin Zaini
  22. Syeikh Abu Bakar bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyathi
  23. Syeikh Mahfudz bin Abdullah At-Termasi. Syeikh Mahfudz memberikan ijazahnya kepada Syeikh Hasyim Asy’ari asal Jombang sebagai mata rantai ke 24 yang berhak menyampaikan hadis Bukhori yang memenuhi kelayakan.

Syeikh Mahfudz at-Termasi termasuk ulama penulis yang Produktif dan Kharismatik dan berkulitas tinggi dalam bidang Fiqih, Hadist, Nahwu/alat, dan disiplin ilmu keislamaan lainnya.

Karya-karya ilmiyahnya inilah yang membuat nama Syeikh Mahfudz dikenal dibeberapa belahan dunia Islam, terutama ulama yang pernah belajar di Saudi Arabia maupun Mesir, diantara karya Ilmiyah ulama berasal Tremas ini berjudul :

Muhibbah Dzil fadlah Hasyiah Syarah Mukhtasar Bafadhal terdiri 4 Jilid besar. Yang merupakan syarah (komentar) dari kitab terkenal Tahfah Al-Muhtaj karangan Syeikh ibnu Hajar al-Haitami (908-947 H/1503-1566 M), terkenal dengan kitab Muhibbah (tulis 1315-1319 H). Jilid pertama 556 halaman ( selesai 25 shafar 1315) jilid kedua 504 halaman (diselesaikan hari jumat 27 rabiul akhir 1316 H), jilid ketiga 544 halaman (selesai ahad 7 rajab 1317 H) dan jilid ke empat 733 halaman (selesai rabu 19 Jumadil akhir 1319 H). Berarti kitab stebal 2437 halaman dan terdiri empat jilid tersebut di selesaikan Syeikh Mahfudz dalam waktu empat tahun lebih 4 bulan, kitab ini beridi bahsan mendalam, ilmiah dan terinci tentang masilul fiqihyah madzhab Syafi’i, kitab in di cetak oleh Mathba’ah al-amirah asy-syafiiyah Mesir 1326 H/1904 M. Kitab muhibah dzil fadhal ini merupakan khasanah keilmuan yang sanagat berharga dan tinggi nilainya yang ditulis oleh ulama al-Jawi (dunia Melayu) di tanah suci.

Al-Sigoyah al-Mudhiyyah asani kutub al-ashhab al-syafi’iyah (1313 H) merupakan kitab fiqih dalam lingkup ulama-ulama Syafi’iyah. ( selesai hari Juma’at bulan sya’ban 1313 H), risalah terdiri 3 bagian isinya membicarakan sejumlah kitab dalam Madzhab syafi’in dan pengarangnya diterbitkan oleh Mathoba’ah at tarqqil majidiyah al-utsmaniyah makkah.

Nail al-Ma’mul bi hasyiat ghayat al-wushul fi ilmi al-ushul, merupakan kitab ushul fiqih terdiri 3 jilid .

Hasyiah Tahmilah al-Minhaj al-Qawim ila al-faraidh; merupakan karya penyempurnaan ilmu faraid/hukum waris

Minhaj Dzawi al-Nadhar bi Syarhi maudzamat al-Atsar (1329) setelah 300 halaman lebih berisi syarah terhadap kitab maudzumat al-atsar karyanya syeikh abdurahman as-Suyyuthi.

Al –Mishah al-Khairiyyah fi Arbain Hadisan min Ahadist khair al-Bariyyah kumpulan 40 hadist pilihan seperti arbain Nawawi

Al-Khali’ah al-Fikriyah fi Syarhi al Mukah al-Kahiriyyah, berisi syarah terhadap karya tulisnya sendiri al-mauidah al-kahiriyyah yang berisi syarah hadist arbain berdasarkan syair dari syeikh al-Basthomi dari al-hafidz abu bakar al-Bunyamin.

Tsulatsyiat al-Bukhori tentang hadist Imam Bukhori. 
Unyathu al-Tholabah bi Syarhi Nadhomi at-thoyyibah fi qira’at as-syariyah tentang Qira’at menurut 10 Imam antara lain :
  • Al-fawaidh at-tamsyyiah fi asanid al-qira’at as-syariyyah.
  • Al-Badr al-Munir fi qira’at al-Imam ibnu katsir
  • Tanwir As-Shadr fi Qira’at al-Imam Abi Amir. 
  • Insyirah al-Fuad fi qira’at al-Imam Hamzah. 
  • Ta’mim al-manafi fi qira’at al-Imam Nafi’
  • Is’af al-Mathali bi Syarhi badr al-Lami’ Nadhami. 
  • Jam’u al jawami’. 
  • Inayah al-Muftaqar fima yata’allaq bi Sayyidina al-Khidir
  • Bughah al-adzbiya’ fi al bahtsin Karamat al-‘auliya. 
  • Al-Kahbir bi syarhi Miftah (Abi Dzar). 
  • Tahyiah al-Fikr alfiyyah (al sayir). 
Dari beberapa karya karanya tersebut merupakan bahwa Syeikh mahfudz merupakan ulama besar dan sebagai salah seorang bintang dari ulama-ulama Al-Jawi (Melayu) di tanah suci Makkah. Karya-karyanya masih tetap dibaca kaum muslimin di Nusantara, karna mutunya dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa utama umat islam.

Syeilh Mahfudz bin Abdullah at-Tarmasi wafat pada hari Sabtu menjelang maghrib tanggal 1 Rajab 1338 H/ bertepatan tanggal 20 Maret 1920 M dalam usia 52 tahun menurut tahun masehi, 53 tahun lebih menurut tahun Hijriyah. Jenazah di makamkan dipekuburan ma’la dekat dengan makam Siti Khadijah. Sepeninggalan Syeikh Mahfudz…. putranya yang belum dewasa, Muhammad pulang kembali ke bentangan Demak (Indonesia) dan kelak Muhammad mendirikan pesantren Tahfidz Al-Qur’an di desa asal ibunya tersebut. Peninggalan Syeikh mahfudz untuk kaum muslimin, disamping kitab-kitab yang ditulisnya, juga murid-muridnya yang telah menjadi ulama pelita umat, diantaranya : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul wahab hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Mas Mansyur, KH. Dimyathi dan KH. Ahmad Dahlan, Semarang (keduanya adik sendiri), KH.R. Asnawi, Syeikh Umar Hamdani (Makkah), Syeikh Sa’dullah Al-maimani (Mufti Bombay India), Syeikh Ahmad bin Abdullah (ahli Qira’at syiria), Syeikh Ismail al Kalantami (kalantan Malaysia), dan masih banyak lagi yang lainnya.


Referensi :
Direktori pesantren, P3M Jakarta, 1986.
Direktori pondok pesantren, dirjen bimbingan islam Depag jakarta,2000
Masyhuri, abdul aziz, 99 kiai pondok pesantren nusantara, kutub, yogyakarta, 2006.
Masthuri dan ishom el saha, inteletualisme pesantren II, diva pustaka, Jakarta, 2003.
Zamaksyari dhofir, tradisi pesantren, LP3es, Jakarta 1985.
Syaifuddin Zuhri, sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di Indonesia, al-ma’arif, bandung, 1981.
Abdullah, wan Mohd syaghir, syeikh Ahmad al-fathani pemikir Agung melayu dan Islam, khazanah fathamiah, kuala lumpur, 2005
Abdullah, wan M. Shaghir, Syeikh mahfudz at-Termasi ulama Hadist Dunia melayu, pengkaji, khazanah@yahoo.com
Majalah amanah n0.47/april 1988 tentang PP.Bustanul Qur’an bentengan Demak/KH.Muhammad bin Mahfudz.
Alkisah no.19/th II/13-26 september 2004.
Alkisah no.03/th VII/9-22 Februari 2009.


Read More..

Abdul Shamad Al-Palimbani : Wong Kito Yang Moderat


Beliau termasuk sufi moderat, karena menggabungkan paham wujudiyah dengan tasawuf Al-Ghazali.

Palembang terkenal sebagai pusat maritim dan bandar yang banyak disinggahi para pedagang pada abad ke-17 dan 18. Kejayaan kota ini sebagai jalur lalu lintas internasional saat itu diikuti dengan tingginya mobilitas anak negeri, termasuk dalam menuntut ilmu. Dalam perkembangan tasawuf, salah satu putra Palembang yang namanya sangat harum adalah Abdul Shamad Al-Palimbani.

Abdul Shamad adalah ulama Palembang paling menonjol, terutama karena karya-karyanya yang dikenal luas di Nusantara. Nama lengkapnya adalah Abdul Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Dilahirkan pada 1704 M / 1116 H di Palembang. Ayahnya seorang Sayyid, sedang ibunya seorang wanita Palembang asli. Sang ayah berasal dari Sana’a, Yaman, bernama Syekh Abdul Jalil bin Abdul Wahab, dan sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah, Malaysia.

Selanjutnya ayahandanya ditunjuk menjadi Kadi kesultanan Kedah. Sekitar tahun 1700 dia pergi ke Palembang, menikah dengan wanita setempat dan kembali ke Kedah dengan putranya yang baru lahir, yang Abdul Shamad. Pendidikan awalnya dijalani di Madrasah di Kedah.

Meskipun Abdul Shamad banyak menghabiskan hidupnya di Haramain, dia tetap selalu mempunyai hubungan yang baik dengan Nusantara. Dia meninggal pada tahun 1789 dalam usia 85 tahun setelah menyelesaikan karya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr al-Salikin. Selama di Haramain, ia terlibat dalam komunitas Kawi (komunitas orang Indonesia di Arab), dan menjadi kawan seperguruan Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Keterlibatannya dengan komunitas Jawi membuat tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.

Kelihatannya Abdul Shamad baru menghasilkan karya pada usia 60 tahun. Banyak bukunya yang berbicara tentang iman dan tasawuf. Dalam karya-karyanya ia tidak hanya menyebarkan ajaran neosufi, tapi juga mengimbau kaum muslimin untuk melancarkan jihad melawan penjajahan orang Eropa. Guru Abdul Shamad antara lain Muhammad Murad Al-Muradi, Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari atau Al-Mishri, juga Athaillah. Abdul Shamad mempelajari ilmu-ilmu fiqh, hadits tafsir, syariah, kalam, dan tasawuf. Kecenderungannya sangat kuat terhadap mistisisme. Dia mempelajari tasawuf terutama kepada Syekh Samman dan memperoleh ijazah tarikat Sammaniyah. Ia belajar kepada Syekh Samman selama lima tahun di Madinah. Selama belajar dia juga menjadi asistendan mengajar murid-murid Syekh Samman yang lain, terutama orang asli Arab.

Melalui Abdul Shamad, tarekat Sammaniyah menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah kelahirannya, Palembang. Karya tulis Abdul Shamad berjumlah delapan buah, empat berupa manuskrip, dan dua buah hanya diketahui namanya, dua buah diantaranya berbahasa Melayu, diantaranya Ratib As-Shamad, tentang Ratib dan Dzikir, lalu Hidayat As-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin dan Sair as-Salikin ila ibadat Rabb al-Amin.


Jalan Tengah

Dalam bukunya, Hidayat as-Salikin, disajikan ajaran-ajaran para sufi lain dari bermacam-macam sumber, termasuk ajaran Wahdatul Wujud dari Ibnu Arabi. Dari penyajiannya itu terlihat, ia mempunyai pandangan bahwa tasawuf Al-Ghazali dan tasawuf Ibnu Arabi merupakan dua aliran tasawuf yang saling melengkapi.

Seperti diketahui, bahwa tasawuf Al-Ghazali memusatkan perhatian pada upaya pencapaian ma’rifat, mengenal Allah secara langsung tanpa hijab, melalui penyucian hati dan penghayatan akidah menurut ajaran syariat Islam. Sedangkan tasawuf Ibnu Arabi memusatkan perhatian pada pembahasan metafisika ketuhanan yang bertumpu pada ide dasar bahwa wujud hakiki hanya satu, yaitu Allah, dan alam semesta yang serba ganda bukanlah wujud hakiki, melainkan bayang-bayang-Nya.

Saling melengkapi di atas lebih kurang mengandung arti bahwa, untuk mencapai ma’rifat, orang perlu mengamalkan tasawuf Al-Ghazali, sedang Allah yang dikenal dalam ma’rifat itu tidak lain dari Allah seperti paham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi (Manunggaling Kawula-Gusti), bersatunya Makhluk dan Khalik. Dalam konsep Abdul Shamad yang memadukan kedua konsep tasawuf tersebut, terlihat betapa ia berusaha mengambil jalan tengah untuk dua hal yang oleh para sufi sering dianggap tidak bisa disandingkan. Sikap moderat ini merupakan bukti betapa Abdul Shamad lebih mengedepankan toleransi yang bermula dari ketinggian akhlaknya.

Dalam bukunya, ia juga menyajikan ajaran-ajaran Tarikat Khalwatiyah Sammaniyah, yang menempatkan guru tarekat bukan saja sebagai pembimbing kerohanian, tetapi bahkan sebagai perantara yang harus dilalui muridnya yang ingin mengenal Tuhan secara langsung. Tarikat Sammaniyah merupakan ajaran berbagai tarekat yang diracik oleh Syekh Amman dengan memadukan teknik-teknik zikir, bacaan-bacaan lain dan ajaran mistis.

Ratib Samman

Di kalangan masyarakat Tarikat Sammaniyah sangat dikenal ritus pembacaan Ratib Samman. Ratib tersebut sangat populer di nusantara, termasuk di daerah perkotaan, seperti Bekasi, Jakarta, Depok, dan Bogor. Biasanya mereka melakukan pembacaan Ratib selama enam hingga tujuh jam.

Meski ritus ini harus dipimpin oleh salik, murid tarikat yang telah mendapat Baiat, orang yang ikut dalam pembacaan ini bisa saja berasal dari luar anggota tarikat. Mereka membuat sebuah lingkaran yang mengelilingi pemimpin dan para pengikutnya, menyanyikan zikir serta mempertunjukkan berbagai sikap tubuh dan gerakan dengan cara seperti yang ditunjukkan pemimpinnya.

Praktik zikir dalam Tarikat Sammaniyah terdiri dari Dzikir Nafi Itsbat, Dzikir Ismal Jalalah, Dzikir Ism al Isyarah, dan dzikir khusus. Zikir Nafi Itsbat dilakukan dengan membaca La ilah Illa Allah. Kata La ilaha bermakna nafi atau meniadakan. Sementara kata Illa Allah bermakna itsbat atau penegasan, yang merupakan satu-satunya yang abadi. Dzikir Nafi Itsbat biasanya diberikan kepada murid yang berada pada tingkat permulaan. Biasanya mereka latihan berzikir nafi Itsbat sebanyak 100 kali setiap hari. Namun bisa ditambah 300 kali setiap hari apabila tingkat atau maqamnya sudah lebih tinggi.

Zikir Ism al Jalalah, dengan membaca Allah, Allah. Zikir ini biasanya diajarkan kepada murid yang telah mencapai tingkat khusus, dan dibaca 40, 100, atau 300 kali sehari.

Zikir Ism al Isyarah diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkat tinggi atau yang sudah menjadi menjadi mursyid. Jumlah zikirnya antara 100 hingga 700 kali setiap hari.

Zikir khusus hanya diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi karena ma’rifatullah. Tarikat Sammaniyah mempunyai aturan atau tata cara berzikir dan lafadz yang khas. Sebelum berzikir, ada lima adab yang harus dilakukan, yaitu bertobat dari segala dosa, berwudu atau mandi jika junub, diam, tidak berbicara, kecuali berzikir, berdoa kepada Allah SWT, dan ketika masuk ke dalam zikir dibimbing oleh mursyidnya.

Sumber Kisah: Alkisah No. 02 / 16-29 Jan 2006 
_________



Read More..

Abu Bakar Asy-Syibli, Sufi yang Hendak “Membakar” Neraka


Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis :

“Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”
Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata :

“Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”
Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab :

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid :

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga
Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

***

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli :

“Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.


Sumber Kisah Alkisah Nomor 09 / 25 April – 8 Mei 2005
Read More..

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi




Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka tersebut adalah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.

Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.

Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.

Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i.

Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, "Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :

1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.

Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya.

__________
Read More..

Pemikiran Tasawuf Falsafi Abu Yazid Al-Bustami : ITTIHAD

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. nama kecilnya adalah Thaifur (atau secara singkat dipanggil dengan sebutan Bayazid). Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster (Majusi), kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.

Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari al-Qur’an Surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku.

Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.

Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.

Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.

Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”

Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.

Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]

Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.

Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.

Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.[2]

Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran tasawufnya.[3]

Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]

Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.[5]

Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.

Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[6]

Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[7]

Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[8]

Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”

“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[9]

Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.

Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’ menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[10]

Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.

Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.

Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[11] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[12]

Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.

Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.

Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[13]


DAFTAR PUSTAKA
[1]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ..., hlm. 340.
[2]. http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html
[3]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), hlm. 101.
[4]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf ..., hlm. 97.
[5]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf..., hlm. 98.
[6]. Ibid., hlm 99.
[7]. Ibid., hlm 99.
[8]. Ibid., hlm. 100.
[9]. Ibid., hlm. 103.
[10]. Ibid., 104.
[11]. Ibid., hlm 105 – 106.
[12]. Ibid., hlm 106.
[13]. Ibid., hlm. 110.


____________
Read More..

Rabu, 06 Maret 2013

Sejarah Sufi al-Hallaj


Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M.[1] dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz.[2] Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.[3]

Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.

Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.[4]

Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).[5]

Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.[6]

Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".[7]

Karya-karya al-Hallaj

Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :

1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.[8]

Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.

Ajaran Tasawuf Al-Hallaj

1. Hulul

Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh.[9]

Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan.[10] Ia menakwilkan ayat :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : 34}

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).

Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.

Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.

2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah

Yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan. Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[11]

Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.

3. Kesatuan Segala Agama

Nama Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja.

Nama berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.[12]

Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj

Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum.

Kebanyakan kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya, mengatakan bahwa dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah, seorang ulama yang sangat terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: “Ilmuku tidak mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa.[13]

Imam Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj “Ana’l Haaq” itu, telah menjawab:”Perkataan yang demikian keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan yang dicintai.

Sedangkan Ad-Damiri pengarang “Hayatul Hayawan” berkata: “bukanlah perkara mudah mudah menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih dapat dita’wilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain. Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan orang jahil.[14]


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

[1] Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 135
[2] Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994, hlm. 108
[3] Ibid.,
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 292
[5] Anwar, Rosihon, op.cit., hlm. 136
[6] Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 312
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 293
[8] Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 111
[9] Ibid., hlm. 112
[10]
[11] Ibid., hlm. 113
[12] Hamka, op.cit., hlm. 112
[13] Ibid., hlm. 116
[14] Ibid.,

_____________
Read More..
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda