Minggu, 09 Juni 2013

Rasulullah SAW Masih Hidup sampai Sekarang !!

Penjelasan bahwa Rasulullah Muhammad saw masih hidup setelah kewafatannya saya kutipkan dari kitab Tanwirul Halak karya Imam Suyuti. Berikut kutipan dari Kitab Tanwirul Halak: Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”

Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya.” Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam hadis yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.”
Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra’ di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan kekhususan dengan karamah.

Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Anbiya’ mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi saw bersabda: “Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala.” Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”
Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka. ‘Abdur Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Tidaklah seorang nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.” Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari.”
Imamul Haramairi dalam kitab an-Nihayah, dan ar-Rafi’i dalam kitab as-Syarah diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “Aku dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga hari.” Imam al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan bin ar-Raghwati al-Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya: “Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya lebih dari setengah hari.” Al-Imam Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu bab tentang hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil dalil penjelasan Pemilik syari’at (Allah) dari firmanNya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki,” (QS. Ali ‘Imran: 169).

Keadaan di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian, yang dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia (sn’ada’). Apakah hal-ikhwal mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh kedudukan semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti beliau, serta bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh ganjaran kedudukan ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi Muhammad saw itu merupakan paling sempurnanya syahadah. Nabi Muhammad saw bersabda: “Aku melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra’kan berada di sisi bukit pasir merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya.”

Hal ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam ini tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh, maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang akan mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di dalam kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su’ada’ (orang-orang yang bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.

Di dalam ceritanya, Ibn ‘Abbas menuturkan ra: “Aku merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu terjadi ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam takbiratul ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara Mekkah dan Madinah. Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya, “Lembah apakah ini?”Mereka menjawab, “Lembah Azraq.” Kemudian Ibn ‘Abbas berkata, “Seolah-olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini. Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai kecil di bukit.” Ibn ‘Abbas melanjutkan kisahnya, “Seolah-olah aku melihat Nabi Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati lembah ini sambil membaca talbiyah.”

Dipertanyakan di sini, bagaimana Ibn ‘Abbas bisa menuturkan tentang haji dan talbiyah mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh pula, jika mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka, meskipun mereka berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni kampungnya amal, sampai jika telah habis masanya dan berganti ke kampung akhirat, yakni kampungnya jaza’ (pembalasan), maka habis pula amalnya. Ini pendapat dari al-Qadhi Iyadh.

Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad mereka dan meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari berpisahnya Nabi saw dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra’ dengan jasadnya ke langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.

Kesimpulannya dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, bahwa Nabi saw hidup dengan jasad dan ruhnya. Dan beliau melakukan aktivitas dan berjalan, sekehendak beliau di seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau dalam bentuk/keadaan seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit pun. Beliau tidak tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang wujudnya adalah ada dan hidup dengan jasad mereka. Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan melihat Nabi, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan apa adanya (seperti saat beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat yang semisalnya. 

disadur dari mils Kitab Tanwirul Halak
Read More..

Siapakah AL-KHIDHDIR Alaihissalam ? (2)

Pembicaraan tentang al-Khidhir ’alaihis salam masih menjadi polemik di tengah umat Islam. Banyak cerita dan khurafat yang beredar seputarnya. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini, dipaparkan sejumlah argumentasi dan penjelasan yang mudah-mudahan bermanfa'at bagi kita semua dan kiranya dapat menjernihkan permasalahannya.

Al-Khidhir ’alaihis salam Nabi Atau Wali?

Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai kenabian al-Khidhir dan terbagi kepada dua pendapat:

I. Ia Bukan Nabi Tapi Wali

Pendapat ini mengatakan, ia hanyalah seorang hamba yang shalih, 'alim dan diberi ilham, sebab Allah subhanahu wata’ala menyebutnya sebagai orang yang diberi ilmu, memiliki ibadah khusus, dan sifat-sifat baik lainnya sementara tidak menyebutkan bahwa ia seorang Nabi atau Rasul. Ada pun firman Allah subhanahu wata’ala di akhir kisah melalui ucapan al-Khidhir ’alaihis salam, yang artinya, "Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri." (QS.al-Kahf:82), maka ini tidak menunjukkan bahwa ia seorang nabi, tetapi menunjukkan adanya ilham dan pembicaraan. Hal ini dapat terjadi terhadap selain para nabi. Contohnya, seperti firman-Nya dalam surat an-Nahl, ayat 68, artinya, "Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah" dan firman-Nya dalam surat al-Qashash, ayat 7, artinya, "Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa."

Di antara ulama yang mengatakan pendapat seperti ini adalah al-Qurthubi rahimahullah (al-Qurthubi, XI: 28), Abu al-Qasim al-Qusyairi (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal.161), al-Yafi'i (Nasyr al-Mahasin al-'Aliyah, hal.48-70) dan kebanyakan kaum Sufi!?

II. Ia Seorang Nabi

Ibn Katsir rahimahullah di dalam kitabnya, al-Bidayah Wa an-Nihayah mengatakan, "Alur kisah dalam ayat menunjukkan kenabiannya. Hal ini dapat dilihat dari bebeberapa aspek:

Pertama, Firman-Nya, artinya, "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami." (QS. Al-Kahf: 65)

Ke dua, Ucapan Nabi Musa ’alaihis salam kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” Dia menjawab, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuat, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentang mu dalam sesuatu urusan pun. Dia berkata, 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkan nya kepadamu.” (QS. al-Kahf: 66-70)

Andaikata ia hanya seorang wali dan bukan Nabi, Musa ’alaihis salam tidak akan berbicara kepadanya seperti ini dan tidak akan memberikan jawaban seperti itu kepadanya. Akan tetapi Musa ’alaihis salam menawarkan untuk mendampinginya agar mendapatkan ilmu darinya yang telah dikhususkan Allah subhanahu wata’ala baginya, yang tidak dimiliki orang lain. Andaikata ia bukan seorang Nabi, tentulah ia bukan seorang yang ma'shum dan tentulah Musa ’alaihis salam yang merupakan Nabi agung, Rasul mulia yang wajib ma'shum tidak sedemikian menggebu-gebu untuk menuntut ilmu dari seorang wali yang tidak wajib ma'shum.

Manakala ia memiliki keinginan kuat untuk menemuinya dan mencari informasi tentangnya, sekalipun harus menempuh sekian masa sebelum 80 tahun lalu, kemudian tatkala bertemu dengannya, ia begitu merendahkan diri kepadanya, mengagungkan dan mengikutinya sebagai seorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang bermanfa'at bagi dirinya; maka ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang Nabi yang diberi wahyu sebagaimana ia juga diberi wahyu. Ia telah diberi ilmu-ilmu agama dan rahasia-rahasia kenabian yang spesial, yang tidak ditampakkan Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi Musa ’alaihis salam, padahal ia Kalimullah dan nabi Bani Israil yang mulia."

Ke tiga, al-Khidhir ’alaihis salam telah berani membunuh seorang bocah. Ini jelas karena adanya wahyu dari malaikat. Ini merupakan dalil tersendiri atas kenabiannya dan bukti yang jelas atas ke-ma'shuman-nya sebab seorang wali tidak boleh membunuh jiwa semata-mata hanya karena seruan hatinya sebab hatinya tidak wajib ma'shum. Seorang wali bisa saja memiliki kesalahan menurut kesepakatan para ulama. Manakala al-Khidhir ’alaihis salam berani membunuh bocah yang belum mencapai usia baligh karena ia tahu kelak bila sudah baligh, akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya ke dalam kekufuran, karena cintanya kepada anaknya tersebut lantas mengikuti jalan yang ditempuhnya; Maka terdapat kemashlahatan besar untuk orang sepertinya demi menjaga kedua orangtuanya agar tidak terjerumus ke dalam kekufuran dan segala akibatnya. Ini semua menunjukkan kenabiannya dan bahwa ia telah diangkat oleh Allah subhanahu wata’ala dengan ke-ma'shuman.

Ke empat, tatkala al-Khidhir ’alaihis salam menjelaskan takwil tindakan-tindakan yang dilakukan Musa ’alaihis salam dan mendudukkan permasalahan yang sebenarnya serta mengupas dengan sejelas-jelasnya, ia berkata setelah itu,"Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. "Yakni, tidaklah aku melakukan itu karena kemauan sendiri, tetapi aku diperintahkan dan diberi wahyu." (al-Bidayah, Juz.I, hal.328) Pendapat serupa juga didukung oleh al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah dalam bukunya 'az-Zahr an-Nadhir' dan pengarang buku tafsir 'Ruh al-Ma'ani'. Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat ke dua dan merupakan pendapat Jumhur ulama (Ruh al-Ma'ani, Juz.V, hal. 92-93).

Apakah al-Khidhir ’alaihis salam Masih Hidup Hingga Kini?

Perbedaan pendapat mengenai hal ini masih terjadi, akan tetapi dalil-dalil membuktikan, bahwa ia telah wafat. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits, sebab tidak ada satu pun nash shahih yang dapat diandalkan. Sedangkan terkait dengan mimpi-mimpi, maka dalam masalah ibadah dan penetapan hukum-hukum tidak dapat dijadikan rujukan! Di antara para ulama yang berpendapat bahwa al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat adalah Imam al-Bukhari, Ibrahim al-Harbi, Abu al-Hasan al-Munawi, Ibn al-Jauzi, Ibn Hazm azh-Zhahiri, Muhammad bin Abu al-Fadhl, 'Ali bin Musa ar-Ridha, al-Qadhi Abu Ya'la, Abu Bakar bin al-'Arabi, Abu Ya'la al-Farra', Abu Thahir al-'Ibadi, Abu Hayyan al-Andalusi dan banyak lagi.

Di antara dalil yang menegaskan telah wafatnya al-Khidhir ’alaihis salam adalah:

A). Andaikata al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup, tentu tidak ada jalan baginya untuk menunda-nunda keberimanannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikutinya, bermujahadah di hadapannya dan menyampaikan risalahnya. Ini adalah perjanjian yang diambil Allah subhanahu wata’ala dari seluruh para Nabi dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya, artinya, "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu.” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Ali 'Imran: 81).

B). Jumhur Muhaqqiqin (ulama peneliti) mengatakan bahwa al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat, alasannya karena andaikata masih hidup, tentu ia pasti datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beriman kepadanya, mengikutinya agar menjadi bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada jalan baginya selain itu. Sebab Nabi 'Isa ’alaihis salam kelak bila turun di akhir zaman, akan berhukum dengan syari'at Islam, tidak keluar darinya dan tidak ada pilihan baginya sebab ia merupakan salah satu dari lima para nabi yang dijuluki Ulul 'Azmi dan penutup para Nabi dari kalangan Bani Israil.

C). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya, "Andaikata Nabi Musa masih hidup, tentu tidak ada jalan baginya selain mengikutiku." Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan, "Seperti diketahui, tidak satu pun terdapat sanad Shahih atau pun Hasan yang menenteramkan hati menyebut kan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu hari atau ikut berperang bersama beliau dalam salah satu peperangannya. Indikasinya, pada hari Badar, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermunajat memohon pertolongan Allah subhanahu wata’ala seraya berdoa, "Ya Allah bila golongan ini (kaum muslimin) dihancur kan, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah itu." Dalam golongan itu terdapat para pemuka dan tokoh kaum Muslimin, demikian juga dari kalangan malaikat, termasuk Jibril ’alaihis salam; andaikata al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup, tentulah momentum paling mulia dan peperangan paling agung baginya adalah berada di bawah panji tersebut!

D). al-Hafizh Ibn al-Jauzi rahimahullah menyebut kan banyak dalil yang menyatakan al-Khidhir ’alaihis salam telah wafat dan tidak kekal di dunia ini, di antaranya firman-Nya, "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad)" (QS. al-Anbiya': 34). Dan firman-Nya dalam surat Ali 'Imran, ayat 81. Mengenai ayat ke dua ini, Ibn 'Abbas radhiyallahu ‘anhumengatakan, "Tidaklah Allah subhanahu wata’ala mengutus seorang Nabi melainkan mengambil perjanjian darinya. Jika ada yang diutus kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau masih hidup, pastilah ia akan beriman kepadanya dan membantunya." Dan tentunya, al-Khidhir ’alaihis salam tidak terkecuali dari perjanjian (Mitsaq) ini.! Ibn al-Jauzi dalam bukunya 'Ajalatu al-Muntazhar Fi Syarh Halati al-Khidhir mengetengahkan dalil-dalil akal yang membantah klaim al-Khidhir ’alaihis salam masih hidup di dunia ini dari sepuluh sisi.

SUMBER: al-Khidhir Wa Atsaruhu, Baina al-Haqiqah Wa al-Khurafah karya Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain.
Read More..

Seputar Pengetahuan Mimpi (yang benar)


Kedudukan Mimpi
Sesungguhnya wahyu telah terputus, sejak wafatnya Rasulullah saw,. Tidak mungkin lagi Allah menurunkan wahyuNya kepada seorangpun sebagai Nabi. Siapapun yang mengaku mendapatkan wahyu dari Allah ,dan karenanya ia mengaku sebagai nabi atau membuat syariat baru, maka telah nyata kedustaannya.
Berbeda dengan mimpi, mimpi bukanlah wahyu yang pasti benar dan harus diikuti. Secara umum mimpi adalah bunga bunga tidur manusia.Oleh sebab itu mimpi tidak bisa dijadikan dasar syariat dalam hukum Islam.

Imam Qurtubi rah.a. di dalam tafsir menyatakan bahwa mimpi termasuk salah satu bagian kenabian karena di dalamnya ada hal hal yang melemahkan (lawan) dan tidak bisa terjadi (di alam nyata) seperti terbang, merubah benda-benda, dan mengetahui sesuatu dari ilmu gaib sebagaimana nabi saw., sesungguhnya tidak tersisa dari kabar kabar gembira kenabian kecuali mimpi yang benar dalam tidur—Ringkasannya sesungguhnya mimpi yang benar berasal dari Allah Ta’ala adalah hak. Ia memiliki takwil yang baik . terkadang sebagian m,impitidak membutuhkan takwil. Di dalamnya terdapat keindahan dan kasih sayang Allah Ta’ala yang menambah keimanan seorang mukmin. Dan diantara ahli agama serta ahli ra’yi dan atsar yang hak, tidak ada perbedaan tentang hal ini dan tidak ada yang mengingkari mimpi kecuali orang orang atheis dan segolongan kecil dari kaum Mu’tazilah (tafsir Al-Qurthubi, surat yusuf 5)

Keterangan imam Qurthubi ini tidak perlu lagi dijelaskan . yang tersisa adalah Bagaimanakah jika mimpi itu yang hak, maka bagaimanakah hukum mengamalkannya ?
Imam Az-Zarkasyi dalam Ushul Fiqihnya; Al-Bahrul Muhith menjelaskan masalah ini: dari Taqiyidin Ibnu Daqiqil Ied, “apabila Rasulullah saw., memerintahkan suatu perintah, yang bertentengan dengan perintah Beliau dalam keadaan jaga (di alam nyata) seperti perintah untuk meninggalkan yang wajib atau yang sunnat, maka tidak boleh di amalkan. Dan apabila beliau memerintahkan suatu perintah yang tidak bertentangan dengan perintah beliau di kala jaga maka disunnahkan untuk mengamalkannya.
Syaikh Zakariya dalam Khashail Nabawi Syarah Syamail Tirmizi menyatakan “siapa yang melihat Rasulullah saw. Dalam mimpinya gambaran beliau adalah terpelihara dari gangguan syetan. Beliau sering bersabda, “barang siapa melihatku dalam mimpinya, sebenarnya ia telah melihatku, karena syetan tidak mampu menyerupaiku.” Dan barangsiapa yang bermimpi melihat Rasulullah saw yang bertentangan dengan sifat beliau atau bertentangan dengan pribadi agung beliau atau melihat beliau sakit atau sedih, dan sebagainya, atau beliau menyuruh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat atau tidak layak dengan derajat beliau, ini adalah kesalahan, dan kesilapan orang yang bermimpi itu (bukan karena kekurangan pribadi Rasulullah saw)

Para ulama ahli tafsir mimpi mengumpamakan mimpi dengan cermin, bahwa jika kita melihat sesuatu di alam cermin merah, maka benda yang kita lihat juga berwarna merah.dan jika di dalam cermin hijau, benda yang terlihat juga hijau. Demikian seterusnya. Sesuai dengan cermin yang berbeda, gambarnya juga berbeda. Oleh sebab itu, jika seseorang bermimpi melihat Rasulullah saw, memang sebenarnya ia telah melihat beliau, tetapi sifat dan gambaran yang dilihat tergantung pada pikiran dan pandangan orang itu sendiri. Bagaimana cara seseorang itu melihat suatu masalah, demikianlah ia akan melihat Rasulullah saw dalam mimpinya. Misalnya ahli sufi telah menulis jika seseorang itu melihat Rasulullah saw menyuruh mengejar keuntungan duniawi, maka dalam hal ini keburukan orang tersebut adalah sering lalai dan menurutkan hawa nafsu, hal ini dipaparkan melalui mimpinya dan ia dikehendaki tidak tenggelam dalam urusan duniawi.

Hadits-Hadits Mengenai Mimpi
Berikut ini adalah sebagian dalil yang menunjukkan tentang mimpi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda “Kini Nubuwwah tidak tersisa, kecuali Al-Mubasyiraat” para sahabat bertanya “Apa Al-Mubasyiraat itu?” sabda beliau”Al-Mubasyiraat adalah mimpi yang baik” (bukhari-misykatul mashabih 45,46) Ditambahkan oleh Malik dari riwayat Atha’ bin Yasar, “yaitu mimpi yang dilihat oleh seorang muslim atau yang telah diperlihatkan padanya.”
Dari Anas ra. Rasulullah saw bersabda, “mimpi yang baik adalah 1/46 bagian dari Nubuwwah.”
At-Thibi berkata,”hal ini menunjukkan bahwa mimpi yang saleh adalah bagian dari ilmu kenabian. Sedangkan kenabian sudah tidak tersisa lagi, tetapi ilmunya yang tersisa (berlanjut). Demikian makna hadits Nabi saw,”telah tiada kenabian, yang tersisa hanya Al-Mubasyiraat; mimpi shalehah”
Bagian dari kenabian artinya termasuk akhlak para nabi. Juga dikatakan mimpi itu sesuai dengan kenabian. Bukan karena bagian yang tersisa dari kenabian yang sesungguhnya. Dikatakan 1/46 bagian dari kenabian adalah karena zaman turunnya wahyu secara keseluruhan adalah 23 tahun, dan masa itu dimulai dengan wahyu mimpi shalehah. Hal itu terjadi selama 6 bulan tahun-tahun wahyu. Dihitung dari semua itu maka mimpi terhitung 1/46 bagian.
Alimulama telah menyampaikan berbagai pemahaman dalam hal ini. Ringkasnya, mimpi yang baik itu adalah rahmat dan sebagian dari ciri Nubuwwah . itu suatu kehormatan, kehebatan dan rahmat bagi orang tersebut. Hanya para nabi yang mengetahui serta memahami apakah hakekat yang dimaksud dengan 1/46 Nubuwwah itu.
Dari Abu Qatadah ra., Rasulullah saw bersabda, “mimpi yang baik datang dari Allah sedangkan mimpi yang tidak baik itu datang dari syetan. Jika seseorang darimu melihat sesuatu yang disenanginya maka jangan ia beritahukan mimpinya itu kecuali kepada orang yang dicintainya. Jika seseorang melihat sesuatu yang tidak ia senangi maka berlindunglah kepada Allah dari kejahatan dan jangan bicarakan kepada orang lain. Sedikitpun mimpinya iotu tidak akan merugikannya”
Dari Jabir ra., Rasulullah saw bersabda “jika salah seorang darimu bermimpi yang tidak menyenangkna baginya, maka ludahlah ke kiri sebanyak tiga kali dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari syetan sebanyak tiga kali, kemudian berpalinglah dari arah yang tadi ia bermimpi.”

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda “jika telah mendekat masa tibanya hari kiamat, maka  seorang mukmin hampir tidak ada kebohongannya, mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang mukmin temasuk 1/46 dari Nubuwwah , dan Nubuwwah itu sedikitpun tidak ada kebohongannya.’ Muhammad bin Sirrin berkata “menurutku mimpi ada tiga macam, ada yang berupa ilusi, ada yang dikarenakan ditakuti oleh syetan, ada pula berita gembira dari Allah. Siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak disenanginya, maka jangan ia ceritakan mimpinya itu kepada seorangpun. Hendaknya ia segera bangun dan melakukan shalat.”
Jabir ra berkata, “seseorang datang kepada nabi saw dan berkata “aku bermimpi seolah-olah kepalaku dipenggal” Nabi saw tertawa mendengarnya lalu bersabda “jika syetan mempermainkan salah seorang darimu dalam tidurnya, maka jangnalah ia ceritakan kepada orang lain”
Dari Abu Razin Al-Ukaili ra, Rasulullah saw besabda, “mimpi baik seorang mukmin termasuk 1/46 kenabian. Ia akan berada di atas kaki burung yang terbang selama mimpi baiknya itu belum ia bicarakan dengan orang lain, tetapi jika mimpinya itu telah dibicarakan ke orang lain, maka ia akan terjatuh.” Kata Abu Razin “Atau beliau bersabda “jangan ceritakan mimpi yang baik itu, kecuali kepada orang yang ia cintai atau orang yang mengerti”

Dari Abu Umar ra, Rasulullah bersabda “Termasuk dusta yang terbesar adalah seseorang yang mengaku bermimpi melihat sesuatu, padahal ia tidak bermimpi.”
Dari Abu Sa’id ra, bahwa nabi saw bersabda “mimpi yang paling benar adalah yang terlihat pada waktu sahur”

Mimpi melihat Rasulullah saw
Dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda “siapa yang bermimpi melihat akudi dalam tidurnya, maka benar-benar ia telah melihatku, sesungguhnya syetan tidak dapat menyerupai diriku”
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Abu Malik Al-Asyja’i, Abu Qatadah, dengan riwayat Tirmidzi,. Maksudnya barangsiapa melihat nabi saw dalam mimpinya, maka sesungguhnya ia telah melihat Rasulullah saw yanfg  sesungguhnya secara sempurna. Tidak ada penyerupaan dantidan ada keraguan atas apa yang dilihatnya dalam mmpi itu, dan menunjukkan apa yang diucapkannya itu. Sesungguhnya ia telah melihat yang hak, atau ia telah melihat kebenaran.

Syaikhul Hadits berkata “sebagaimana Allah memelihara Rasulullah saw pada saat beliau hidup, juga memelihara beliau setelah beliau wafat dan syetan tidak dapat menyerupai beliau. Ini adalah ketetapan Allah. Satu permasalahan mungkin mncul, apakah yang dilihat itu benar-benar jasad Rasulullah saw? Yaitu orang yang melihat itu mampukah ia melihat Rasulullah saw dalam bentuk asli atau hanya melihat gambarannya? Misalnya ada orang duduk di sisi cermin dan gambarnya dapat dilihat oleh orang lain yang berada jauh sedikit, tetapi orang yang berada di dalam cermin itu tidak dapat dilihat karena terhalang. Para sufi berpendapat bahwa Rasulullah saw dapat dilihat dalam kedua keadaan tersebut. Ada orang yang melihat Rasulullah saw dalam bentuk asli dan orang yang hanya melihat gambar Rasulullah saw. Oleh sebab itu jika kita melihat Rasulullah dalam bentuk lain (gambaran) kita adalah seperti cermin bagi Rasulullah saw.
Penyusun Khasail Nabawi berkata satu permasalahan  mungkin muncul, yaitu pada saat manusia banyak di berbagai tempat dan diberlainan negara melihat Rasulullah Saw, pada masa yang sama dalam mimpi. Bagaimanakah Rasulullah saw,  dapat berada diberbagai tempat pada waktu yang sama ?.
Itu tidak heran karena Rasulullah saw tidak perlu berada di berbagai tempat itu dalam suatu masa, agar manusia melihatnya, tetapi mungkin manusia diberbagai tempat itudapat melihat beliu di satu tempat dalam waktu yang sama. Seperti matahari berada disuatu tempat dan banyak manusia diberbagai tempatyang berjauhan melihatnya. Dan juga apa jenis kaca mata yang dipakai untuk melihat maatahari; merah, hijau, dan sebagainya, karena matahari itu tetap dengan bentuk dan warna asalnya.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda , “ siapa yang melihatku didalam tidurnya, maka ia telah melihatku ketika ia terjaga dan tidak dapat menyerupauku”.
Qdhi izaz berkata, “artinya seseorang itu melihatnya atas sifat-sifat beliau yang telah diketahui pada masa hidupnya seandainya yang dilihat adlah sesuatu yang bertentangan opleh baliau makamimpinya itu bermakna takwil bukan hakiki. Dan ini akan lemah, akan benar apabila ia melihat sama antara sifat beliau yang telah atau pun yang selain nya. Allah telah mengistimewakan nabi saw., yaitu siapa yang bermimpi melihatnya itu adalah benar.semuanya benar dan syetan tidak dapat menyerupainya, yaitu agar syetan tidak dapat berbohong dengan lisan nya ketika orang tidur. Sebagai mana menjadi kebiasaan Allah yang telah memberikan mukjizat kepada para nabi as., dan sebagaimana syetan tidak dapat menyerupai sosok nabi saw. Ketika jaga seandainya terjadi, maka akan tercampur yang hak dan batil.”

Mimpi para sahabat ra.
Selain rasulullah saw sendiri yang kerap menceritakan mimpi-mimpinya kepada para sahabatnya kadang kala para sahabatnya yang menceritakan mimpinya kepada rasulullah saw.. diantaranya adalah sebagai berikut;
Dari ummu ala al-ansyariah “aku bermimpi ; utsman bin mazh’un diberi sebuah mata air yang terus m,engalir. Kitika ku ceritakan mimpi itu kepada nabi saw beliau bersabda, “itu adalah amaln utsaman bin mazh’un yang terus dialirkannya.
Dari ibnu huzainah bin tsabit, dari pamannya ; abu huzainah ra., bahwa ketika ia bermimpi ia bersujud diatas dahi rasulullahsaw., mimpi itu ddisampaikan kepada beliau, rasulullah saw segera berbaring telentang seraya berkata benarkan mimpimu itu” maka abu huzaimah segera bersujud diatas dahi nabi saw.”
Wallahu a'lam.
(di sadur dari berbagai sumber)

Read More..
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda