Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. nama kecilnya adalah Thaifur (atau secara singkat dipanggil dengan sebutan Bayazid). Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster (Majusi), kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari al-Qur’an Surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.[2]
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.[5]
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[6]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[7]
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[8]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[9]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’ menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[10]
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[11] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[12]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[13]
DAFTAR PUSTAKA
[1]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ..., hlm. 340.
[2]. http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html
[3]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), hlm. 101.
[4]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf ..., hlm. 97.
[5]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf..., hlm. 98.
[6]. Ibid., hlm 99.
[7]. Ibid., hlm 99.
[8]. Ibid., hlm. 100.
[9]. Ibid., hlm. 103.
[10]. Ibid., 104.
[11]. Ibid., hlm 105 – 106.
[12]. Ibid., hlm 106.
[13]. Ibid., hlm. 110.
____________
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari al-Qur’an Surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.[2]
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.[5]
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[6]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[7]
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[8]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[9]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’ menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[10]
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[11] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[12]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[13]
DAFTAR PUSTAKA
[1]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ..., hlm. 340.
[2]. http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html
[3]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), hlm. 101.
[4]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf ..., hlm. 97.
[5]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf..., hlm. 98.
[6]. Ibid., hlm 99.
[7]. Ibid., hlm 99.
[8]. Ibid., hlm. 100.
[9]. Ibid., hlm. 103.
[10]. Ibid., 104.
[11]. Ibid., hlm 105 – 106.
[12]. Ibid., hlm 106.
[13]. Ibid., hlm. 110.
____________