Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin.
Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam
kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh dari
kalangan umat Islam dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki
Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah.
Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata:
“Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya,
‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Alloh Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya
Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan
para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata,
Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk
itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan
diri kepadaNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan
orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab
Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq
dan benar adanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya
sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan
mati, dan dibangkitkan lagi InsyaAlloh.
Sesungguhnya Al-Qur’an itu
adalah kalam Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di
hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata
telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka
mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya
takdir, baik buruknya adalah berasal dari Alloh Yang Maha Perkasa dan
Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.
Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullulloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum.
Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi
mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh
maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin
negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka
mendirikan sholat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka
dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang
Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka
sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.
Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullulloh Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib
tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang
dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar,
aku serahkan mereka kepada Alloh Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala
tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau
menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya.
Orang yang baik dari umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam masuk
Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang
jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan
makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu
dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat
dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala
untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari
apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik
besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian
Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan
mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an
apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf
(diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau
mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan
dan amalan yang mengalami pasang surut. (Lihat Al-Amru bil Ittiba’,
As-Suyuthi, hal. 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil
Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165).
Kesimpulan wasiat di atas yaitu:
-
Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
-
Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak
akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabulloh atau
Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab
dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a’lam. ( Manaqibusy Syafi’i, 1/470&475)
- Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
-
Dalam hal sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan
zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang
lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” (Al-Mizanul Kubra,
1/60; Ijtima’ul Juyusy, 95).
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu.
Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88).” (Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A’lam An-Nubala’, 10/79-80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).
-
Dalam hal sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan
zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang
lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” (Al-Mizanul Kubra,
1/60; Ijtima’ul Juyusy, 95).
-
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam
Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang
diajarkan dan diamalkan oleh Rasululloh, berarti lawan dari bid’ah.
Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam
atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula
sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka
seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang
menggunung”. (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, 1/60). Ketiga, As-Sunnah
dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari
Rasululloh selain Al-Qur’an.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60)
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam
Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi’i
sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul
Hadits, imam Ahli Hadits.”
(Sumber Rujukan: Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, 10/5-6;
Tadzkiratul Huffazh, 1/361; dan sebagaimana dilihat pada setiap
penggalan diatas).
http://aqidahislam.wordpress.com