Wudhu
sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat
seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa
membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul
wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka
tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh
mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini
disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada
ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits
ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal
wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan
perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan
shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin
yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila
seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan
berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah
bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang
menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah
seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu
Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut)
yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara
perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan
tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari
dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang
paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan
juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang
melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits
ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya
hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa.
(Fathul Bari, 1/269)
Aisyah
radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau
dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku,
wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau
menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak
menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan
ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum
muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’
Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘,
sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya
madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak
mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya
(Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta
Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah
haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah
hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu
karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini
diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan
suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan
bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu
kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang
menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama
dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun
darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila
si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat
hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan
menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang
yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu,
karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/
janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing,
BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil
sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila
seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia
bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah
wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari
hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai
keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara
yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam
masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering
sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan
tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari
Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana
masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada,
sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan
permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka
berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman
setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka
berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu
dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah
perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau
meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati
mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah
yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang
diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan
dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila
didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya
dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di
kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh
waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang
di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu
shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada
waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud
karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan
pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras
melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz
(ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan
pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa
dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau
berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut
tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus
berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama),
seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus,
Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan
Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua:
ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum
daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan,
mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat
seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat.
Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam.
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun
pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau
dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari
dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa
yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’
sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah
membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang
dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah
jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan
selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali
radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat
ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada
dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu
membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan
istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan
kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”
Beliau
juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa
menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok
salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah
wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut
baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana
disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh
wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya
pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa,
21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat
yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara
mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali
bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani
maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib
baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ
أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ
رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku
pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang
shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung
jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku
kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ
فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي
الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Suatu
malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga
kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang
sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan
sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu
dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau
sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang
untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu
Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah,
lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan
Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban
pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi
mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya.
Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang
sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini
mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.”
(Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam
ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
-
Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu
seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat
muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar
sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian
ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu
disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri,
Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang
lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan
mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
-
Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah,
Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu
riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh
selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun
banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi.
(Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang
rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i,
maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya
(menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4.
Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il
(perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu
yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah
batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan
dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan
mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian
pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah,
‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin
Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud.
Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan
tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail
Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana
dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau
menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111,
112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa
yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di
dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits
ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap
periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai
lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij
yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari
Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal–
meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang
meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal
ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat
yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam
kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah
terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits
ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain
beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah
yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah
membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak.
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin
Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan
Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih
menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari
kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan
yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila
keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu
Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits
tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat
walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah
pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul
oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya
darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan
akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau
siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada
saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para
shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran
hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan
dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari
mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262,
Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita
mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh
mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2
Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti
Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau
mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3
Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang
diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam
An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari Judul: Pembatal-Pembatal
http://qurandansunnah.wordpress.com