Habib Ali bin Muhammad bin Husein
Al-Habsyi yang kita kenal sebagai penyusun kitab Maulid Simthud Duror,
memiliki kepedulian tinggi dan amat bangga terhadap para penuntut ilmu.
Sehingga semasa hidupnya, tidak jarang beliau menyempatkan diri duduk di
serambi rumahnya untuk menyaksikan para pelajar yang berlalu-lalang di
depan kediamannya, berangkat menuju ke tempat mereka menunut ilmu.
Dalam kumpulan kalam beliau yang
disusun Habib Umar bin Muhammad Maula Khela, berjudul “Jawahirul Anfas
Fii Maa Yurdli Rabban Naas” disebutkan, karena begitu bangganya kepada
para penuntut ilmu Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Ra pernah
berkata, “Aku doakan agar kalian berumur panjang dan memperoleh fath.
Ketahuilah setiap Faedah Ilmu Terletak Pada Pengamalan dan
Pencatatannyaorang yang mengajar sesuai dengan ilmu yang dimiliki, kelak
di hari kiamat akan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW”.
Habib Ali tak dapat
menyembunyikan kegembiraannya bila melihat para pelajar, sampai-sampai
beliau berucap, “Jika aku bertemu pelajar yang membawa bukunya, ingin
aku mencium kedua matanya”.
Suatu ketika, tepatnya pada hari
Ahad, 11 Syawal 1322 Hijriyah, Al- Habib Ali mengundang dan menjamu
para pelajar di suatu tempat yang dikenal dengan nama Anisah, yakni
tempat yang rindang dan sejuk karena banyaknya pepohonan, sekitar 2 Km
dari kota Sewun. Kepada para pelajar itu beliau berkata, “Ketahuilah,
hari ini aku mengundang kalian untuk membangkitkan semangat kalian
menuntut ilmu. Giatlah belajar, semoga Allah memberkahi kalian”.
Tidak itu saja, beliau mengajak
para pelajar itu serius menuntut ilmu, sebagaimana dilakukan para
salafus shaleh. Dikatakannya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut
ilmu. Perhatikan para salaf kalian, mereka menghafal berbagai matan
(naskah). Mereka telah hafal kitab Az-Zubad, Mulkah I’rob dan Al-Fiyah
di masa kecilnya. Setelah dewasa ada yang telah hafal kitab Al Minhaj,
Ihya’ Ulumiddin, dan lainnya”.
Beliau mengingatkan agar ketika
menuntut ilmu, para pelajar tidak melalaikan peralatan tulisnya. Sebab,
itu sudah menjadi kelengkapan bagi seorang penuntut ilmu yang dapat
mendatangkan banyak kemanfaatan. Bahkan, menurutnya, jika tidak
memperhatikan kelengkapan tersebut bisa mendatangkan aib baginya.
“Aku ingin setiap pelajar
membawa alat-alat tulisnya ketika mengikuti pelajaran. Ketahuilah,
keuntungan (faedah) ilmu terletak pada pengamalan dan pencatatannya.
Sebaliknya, menjadi aib bagi seorang pelajar jika saat mengikuti
pelajaran (menuntut ilmu) ia tidak membawa buku dan peralatan tulis
lainnya,” tandasnya.
1. Larang Remehkan Anak-anak
Pada kesempatan tersebut,
Al-Habib Ali benar-benar ingin menuntaskan nasehatnya kepada para
pelajar yang amat dicintainya itu. Termasuk tidak sekali pun meremehkan
nasihat yang diucapkan anak-anak. Beliau menuturkan, “Pelajarilah cara
membunuh atau mengendalikan hawa nafsu, adab dan tata krama. Tuntutlah
ilmu baik dari orang dewasa maupun anak-anak. Jika yang mengajarkan ilmu
jauh lebih muda dari mu janganlah berkata, “Kami tidak mau belajar
kepadanya, aib bagi kami”.
Habib juga mengingatkan pelajar
agar tidak segan-segan mengulang pelajaran yang telah diterima dari
gurunya. Malah, sebaiknya para pelajar dianjurkan untuk membacanya
berkali-kali, sebelum guru pembimbing datang mengajarkan ilmunya.
“Pelajarilah pelajaran yang hendak kalian bacakan di hadapan guru.
Dengan demikian kalian akan memetik manfaatnya. Tauladani apa yang telah
dilakukan oleh kebanyakan salaf kita, saat menuntut ilmu,” ajak beliau.
Beliau juga mencontohkan
beberapa ulama besar dari kalangan aslafunas shaleh ketika mereka
menuntut ilmu, diantaranya Al Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi yang
membaca pelajarannya sebanyak 25 kali sebelum mengikuti pelajaran yang
disampaikan gurunya. Setelah itu mempelajari lagi sebanyak 25 kali
seusai menerima pelajaran dari gurunya. Bahkan, syeikh Fakhrur Razi
mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 1000 kali. “Sementara kalian hanya
(baru) membuka buku ketika berada di depan guru,” tambah beliau
mengingatkan.
Di tengah-tengah para pelajar
yang serius mengikuti nasehat-nasehatnya, beliau mengingatkan mereka
agar menjauhi sifat dengki dan iri hati. Karena kedua sifat ini dapat
mencabut keberkahan ilmu yang telah diperoleh. Beliau juga menceritakan
pengalamannya ketika masih belajar.
“Ketika aku masih menuntut ilmu
di Mekah. Setiap malam aku bersama kakakku Husein dan Alwi Assegaf
mempelajari 12 kitab Syarah dari Al Mihaj, lalu menghafalkan semuanya.
Pernah pada suatu hari saat nisful lail (akhir malam) ayahku Al Habib
Muhammad keluar dari kamarnya dan mendapati kami sedang belajar. Beliau
berkata, Wahai anak-anakku kalian masih belajar? Semoga Allah SWT
memberkati kalian”.
2. Bahaya Makanan Haram.
Pada kesempatan lain Habib Ali
menggambarkan betapa gembira Rasulullah SAW jika melihat umatnya
bersungguh-sungguh thalabul (mencari) ‘ilmu, kemudian mengamalkannya,
dan menyampaikan (menyebarkannya) kepada saudaranya sesama umat Islam.
Beliau berkata, “Tidak ada yang
lebih menggembirakan hati Rasulullah Muhammad SAW dari melihat upaya
umat beliau menuntut ilmu, lalu mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-harinya, dan menyebarkannya kepada saudaranya. Adakah yang lebih
berharga dibandingkan kebahagiaan Habibi Muhammad SAW itu ? Dunia dan
akhirat beserta segenap isinya tak mampu menyamai kebahagiaan beliau
SAW”.
Namun, beliau juga mengakui saat
itu telah melihat gejala menurunnya semangat menuntut ilmu agama dan
mengamalkan serta menyebarluaskannya di kalangan kaum muslimin.
Menurutnya, semangat itu telah tidur terlalu lama, bahkan dikhawatirkan
akan mati dalam tidurnya. Semangat itu telah hilang, cinta kepada ilmu
telah menipis, keinginan berbuat kebajikan semakin melemah. Barangkali
itu merupakan gejala awal rusaknya watak manusia. Putra Habib Muhammad
Al-Habsyi ini menyatakan, penyebab utama semua itu adalah telah
dikonsumsinya makanan haram oleh sebagian, atau bahkan kebanyakan umat
Islam.
Diriwayatkan, bahwa Imam
Haromain setiap kali ditanya seseorang selalu dapat menjawab. Imam
Haromain adalah salah seorang yang menjadi rujukan (tempat bertanya)
masyarakat di zamannya. Beliau menghafal ucapan guru beliau, Abu Bakar
Al Baqillaniy yang tertulis dalam 12000 lembar kertas mengenai ilmu
ushul. Sedangkan, Imam Sufyan bin Uyainah telah menghafal Al Qur’an dan
menerangkan makna-maknanya di depan para ulama ketika ia masih usia 4
tahun. Kapan ia membaca Al Qur’an dan menghafalnya, serta kapan ia
mempelajari makna-maknanya ?.
Namun suatu kali Imam Haromain
ini tidak berkutik dan tidak dapat menjawab ketika menerima pertanyaan.
Orang yang bertanya itu kemudian menanyakan mengapa sampai demikian,
tidak biasanya beliau tak bisa menjawab. Lalu, Imam Haromain itu
kemudian menjawab, “Mungkin ada susu yang masih tersisa di tubuhku”.
Sang
penanya semakin penasaran apa yang dimaksud Imam Haromain. Dia kemudian
bertanya lagi, “Apa maksudmu wahai Imam ?”. Beliau menjawab, “Dahulu
ketika aku masih menyusui, ayahku sangat wara’ (berhati-hati) dalam
menjaga kehalalan dan kebersihan minumanku. Beliau tidak membiarkan
ibuku makan sesuatu kecuali yang benar-benar halal”.
Al Imam melanjutkan, “Suatu hari
seorang budak wanita keluarga Fulan masuk ke rumah kami, tanpa
sepengetahuan ibuku. Budak itu meletakkan aku di pangkuannya kemudian
menyusuiku. Mengetahui hal itu ayahku sangat marah lalu memasukkan jari
tangannya ke dalam mulutku, sehingga aku dapat memuntahkan semua susu
yang baru saja kuminum dari budak itu. Namun, rupanya masih ada susu
yang tersisa”.
Akhirnya Al Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi berwasiat kepada anak cucu dan keturunannya, termasuk
kita semua, agar selalu meniru sikap dan tindakan para salaf ketika
mencari ilmu dan beramal ibadah. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku
sekalian, jika kalian mau berusaha dengan sungguh-sunguh, maka bagimu
kesempatan masih amat terbuka. Tauladani amal para salaf. Janganlah
kalian menganggap mustahil mujahadah yang telah dilakukan orang-orang
terdahulu, sebab mereka diberi kekuatan dhohir-bathin oleh Allah SWT”.
Beliau semakin menekankan
perlunya mencontoh amal para salaf. Dituturkannya, “Mereka juga
mempunyai niat dan tekad yang kuat untuk mencontoh para pendahulunya
dalam berilmu dan beramal. Ketahuilah tidak ada yang menyebabkan manusia
rugi, kecuali keengganan mereka mengkaji buku-buku sejarah kehidupan
kaum sholihin. Jika riwayat hidup mereka dibacakan kepada orang mukmin,
iman mereka akan semakin teguh kepada Allah SWT”.
Muh. Syafi’i