Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Niscaya aku akan melihat beberapa kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan kebaikan laksana gunung-gunung Tihamah yang putih, kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikannya debu yang beterbangan”.
Ada yang bertanya: “Wahai
Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka kepada kami, agar kami tidak
menjadi bagian dari mereka sementara kami tidak tahu,” Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Ketahuilah, mereka adalah saudara kalian,
satu bangsa, dan bangun malam sebagaimana kalian. Tapi jika mereka
menyendiri dengan larangan-larangan Allah, mereka melanggarnya”
Seseorang mungkin menjauh dari
dosa dan maksiat saat berada di hadapan dan dilihat orang lain. Tetapi
jika ia menyendiri dan terlepas dari pandangan manusia, ia pun
melepaskan tali kekang nafsunya, merangkul dosa dan memeluk kemungkaran.
“Dan cukuplah Tuhanmu Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya”. [al-Isrâ`/17 : 17].
“Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan”.
[al-Baqarah /2 : 74].
Bahkan jika ingin berbuat dosa
dan ada seorang anak kecil di hadapannya, ia akan meninggalkan dosa itu.
Dengan demikian, rasa malunya kepada anak kecil lebih besar daripada
rasa malunya kepada Allah. Andai saat itu ia mengingat firman Allah:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka
sembunyikan dan segala yang mereka tampakkan?” [al-Baqarah/2 : 77].
“Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan
mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib?”
[at-Taubah/9 : 78].
Sungguh celaka wahai
saudaraku! Jika keberanian anda berbuat maksiat adalah karena anda
meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat, maka alangkah besar
kekufuran anda. Dan jika anda mengetahui bahwa Allah mengetahuinya, maka alangkah parah keburukan anda, dan alangkah sedikit rasa malu anda!
“Mereka bersembunyi dari
manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah
mengetahui mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan
rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi
(ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”. [an-Nisâ`/4 : 108].
Di antara hal yang sangat “ajaib” adalah anda mengenal Allah, tetapi bermaksiat kepada-Nya.
Anda mengetahui kadar kemurkaan-Nya, tetapi justru menjatuhkan diri
kepada kemurkaan itu. Anda mengetahui betapa kejam hukuman-Nya, tetapi
anda tidak berusaha menyelamatkan diri. Anda merasakan sakitnya
keresahan akibat maksiat, tetapi tidak pergi menghindarinya dan mencari
ketenangan dengan mentaati-Nya.
Qatadah berpesan: “Wahai anak
Adam, demi Allah, ada saksi-saksi yang tidak diragukan di tubuhmu, maka
waspadailah mereka. Takutlah kepada Allah dalam keadaan tersembunyi
maupun nampak, karena sesungguhnya tidak ada yang tersembunyi dari-Nya.
Bagi-Nya, kegelapan adalah cahaya, dan yang tersembunyi sama saja dengan
yang nampak. Sehingga, barang siapa yang bisa meninggal dalam keadaan
husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah, hendaklah ia melakukannya, dan
tidak ada kekuatan kecuali dengan izin Allah”
“Kalian sekali-kali tidak dapat
bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian
terhadap kalian, tetapi kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui
kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah
prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian,
prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk
orang-orang yang merugi”. [Fushshilat/41 : 22-23].
Ibnul-A’rabi berkata: “Orang
yang paling merugi, ialah yang menunjukkan amal-amal shalihnya kepada
manusia dan menunjukkan keburukannya kepada Allah yang lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya”.
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. [Qâf /50:16].
إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا، فَلاَ تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الله يَغْفُـلُ سَـاعَـةً وَلاَ أَنَّ ماَ تُخْفِيْهِ عَنْهُ يَغِيْـبُ
Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri,
teapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini.
Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai,
atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.
Sungguh takwa kepada Allah dalam
keadaan tidak nampak (fil-ghaib) dan takut kepada-Nya dalam keadaan
tersembunyi merupakan tanda kesempurnaan iman. Hal ini menjadi sebab
diraihnya ampunan, kunci masuk surga. Dan dengannya, seorang hamba
meraih pahala yang agung nan mulia.
“Sesungguhnya kamu hanya memberi
peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang
takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka
berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia”.
[Yâsîn/36 : 11].
“Sesungguhnya orang-orang yang
takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan tersembunyi akan memperoleh
ampunan dan pahala yang besar”. [al-Mulk/67 : 12].
“Dan didekatkanlah surga itu
kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari
mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba
yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara
(peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang
Maha Pemurah dalam keadaan tersembunyi dan dia datang dengan hati yang
bertobat. Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka
di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan Kami memiliki
tambahannya”.[Qâf/50 : 31-35].
Dan di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
“Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi maupun nampak”.
Maknanya, hendaklah seorang
hamba takut kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, serta
lahir dan batin, karena kebanyakan orang takut kepada Allah dalam
keadaan terlihat saja. Namun yang penting adalah takut kepada Allah saat
tersembunyi dari pandangan manusia, dan Allah telah memuji orang yang
takut kepada-Nya dalam kondisi demikian.
Bakr al-Muzani berdoa untuk
saudara-saudaranya: “Semoga Allah menjadikan kami dan kalian zuhud
terhadap hal yang haram, sebagaiman zuhudnya orang yang bisa melakukan
dosa dalam kesendirian, namun ia mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka
ia tinggalkan dosa itu”
Sebagian lagi mengatakan: “Orang
yang takut bukanlah orang yang menangis dan ‘memeras’ kedua matanya,
tetapi ia adalah orang yang meninggalkan hal haram yang ia sukai saat ia
mampu melakukannya”
إِذَا السِّرُّ وَالإِعْلاَنُ فِي المُؤْمِنِ اسْتَوَى فَقَدْ عَزَّ فِي الدَّارَيْنِ وَاسْتَوْجَبَ الثَّنَا
فَإِنْ خَالَـفَ الإِعْـلاَنُ سِرًّا فَمَا لَهُ عَلَى سَعْيِهِ فَضْلٌ سِوَى الْكَدِّ وَالْعَنَا
Jika tersembunyi dan tampak bagi seorang mukmin tiada beda, maka ia telah berhasil di dua dunia dan kita pantas memujinya.
Namun jika yang tampak menyelisihi yang rahasia, tiada kelebihan pada amalnya, selain penat dan lelah saja.
Hal-hal yang menjadikan takut (khasy-yah) kepada Allah Azza wa Jalla :
1. Iman yang kuat terhadap janji Allah l dan ancaman-Nya atas dosa dan maksiat.
2. Merenungkan kejamnya balasan Allah Subhanahu wa Taala dan hukuman-Nya.
Hal ini menjadikan seorang hamba tidak melanggar aturan-Nya,
sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri: “Wahai anak Adam, kuatkah
engkau memerangi Allah? Orang yang bermaksiat berarti telah
memerangi-Nya”. Sebagian lagi mengatakan: “Saya heran dengan si lemah
yang menentang Sang Kuat”.
3. Kewaspadaan yang kuat
terhadap pengawasan Allah dan mengetahui bahwa Allah mengawasi hati dan
amalan para hamba, serta mengetahui mereka di manapun berada. Orang
yang sadar bahwa Allah melihat-Nya di manapun berada, mengetahui dirinya
secara lahir dan batin, mengetahui yang tersembunyi maupun yang nampak,
dan ia mengingat hal itu saat menyendiri, maka ia akan meninggalkan
maksiat dalam ketersembunyiannya. Wahb bin al-Ward berkata: “Takutlah
kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya atas dirimu! Malulah kepada-Nya
seukuran kedekatan-Nya kepadamu, dan takutlah kepada-Nya karena Dialah
yang paling mudah bisa melihatmu”.
4. Mengingat makna sifat-sifat Allah, antara lain: mendengar, melihat dan mengetahui. Bagaimana
anda bermaksiat kepada yang mendengar, melihat dan mengetahui keadaan
anda? Jika seorang hamba mengingat hal ini, rasa malunya akan menguat.
Ia akan malu jika Allah mendengar atau melihat pada dirinya sesuatu yang
Dia benci, atau mendapati sesuatu yang Dia murkai tersembunyi pada
hatinya. Dengan demikian, perkataan, gerakan, dan pikirannya akan selalu
ditimbang dengan timbangan syariat, dan tidak dibiarkan dikuasai hawa
nafsu dan naluri biologis.
Ibnu Rajab berkata: “Takwa
kepada Allah dalam ketersembunyaian adalah tanda kesempurnaan iman. Hal
ini berpengaruh besar pada pujian untuk pelakunya yang Allah ‘sematkan’
pada hati kaum mukminin”.
Sedang Abu ad-Darda’ menasihati:
“Hendaklah setiap orang takut dilaknat oleh hati kaum mukminin,
sementara dia tidak merasa. Ia menyendiri dengan maksiat, maka Allah
menimpakan kebencian kepadanya di hati orang-orang yang beriman”
Sulaiman at-Taimi berkata:
“Sungguh seseorang melakukan dosa dalam ketersembunyiannya, maka iapun
terjatuh ke dalam lubang kehinaan”
Ada juga yang mengatakan: “Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yang hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu
ia mendatangi saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu
pada dirinya. Ini termasuk tanda yang paling jelas akan keberadaan Rabb
yang haq, yang membalas amalan –yang kecil sekalipun- di dunia sebelum
akhirat. Tidak ada amalan yang hilang di sisi-Nya, dan tiada berguna
tirai dan penutup dari kuasa-Nya. Orang berbahagia adalah orang yang
memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena jika demikian, Allah akan
memperbaiki hubungannya dengan orang lain. Dan barang siapa yang
mengejar pujian manusia dengan mengorbankan murka Allah, maka orang yang
awalnya memuji akan berbalik mencelanya”
Di antara hal paling ajaib
mengenai hal ini adalah kisah yang diriwayatkan dari Abu Ja’far as-Saih:
“Habib Abu Muhammad adalah seorang saudagar yang meminjamkan uang
dengan bunga. Suatu hari, ia melewati sekumpulan anak kecil yang sedang
bermain. Merekapun berbisik di antara mereka: ‘Pemakan riba datang,’
Habibpun menundukkan kepalanya dan berkata: ‘Ya Rabb, Engkau telah
sebarkan rahasiaku pada anak-anak kecil,’ lalu ia pulang dan
mengumpulkan seluruh hartanya. Ia berkata: ‘Ya Rabb, aku laksana
tawanan. Sungguh aku telah membeli diriku dari-Mu dengan harta ini, maka
bebaskanlah aku’. Esok paginya, ia sedekahkan seluruh harta itu dan
mulai menyibukkan diri dengan ibadah. Suatu hari ia melewati kumpulan
anak kecil. Ketika melihatnya, mereka berseru di antara mereka:
‘Diamlah! Habib si ahli ibadah datang,’ Habibpun menangis dan berkata:
“Ya Rabb, Engkau sekali mencela, sekali memuji, dan semua itu dari-Mu’.”
Sufyan
ats-Tsauri berpesan: “Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan menjaga
dirimu dari manusia. Tetapi jika engkau takut kepada manusia, mereka
tidak akan bisa melindungimu dari Allah”
Ibnu ‘Aun berpisah dengan
seseorang, maka ia berwasiat: “Takutlah kepada Allah, karena orang yang
takut kepada-Nya tidak akan merasa sendiri”
Sedangkan Zaid bin Aslam berkata: “Dulu dikatakan: Barang siapa takut kepada Allah, orang akan mencintainya, meskipun mereka (pernah) membencinya”.
KH. Abu Bakar QS