Sufi Road :
"Orang-orang ma'rifat jika merasa lapang lebih banyak khwatirnya
daripada jika mereka dalam keadaan kesempitan. Dan tidak dapat tetap
berdiri di atas batas-batas adab di dalam keadaan lapang kecuali
sedikit".
Orang-orang ma'rifat lebih khawatir dalam keadaan lapang daripada dalam keadaan kesempitan. Sebab keadaan lapang itu sesuai dengan hawa nafsunya. Sehingga mereka khawatir kalau sampai tertarik ke dalam
ajakan hawa nafsu. Misalnya selalu memperbincangkan berbagai keadaan yang wujud ini, dan berbagai kekeramatan. Kadang-kadang bahkan keluar dari padanya ucapan yang tidak patut diucapkan di hadapan Allah. Padahal bagi orang ma'rifat dia harus selalu menjaga kesopanan di hadapan-Nya.
Lagi pula keadaan lapang itu bisa menggelincirkan orang. Sehingga menyebabkan orang harus tambah berhati-hati. Sebaliknya kesempitan lebih mendekatkan orang menuju keselamatan.
Sehubungan dengan keadaan lapang dan kesempitan itu, Syaikh Ahmad bin "Athaillah berkata :
"Dalam keadaan lapang nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira, sedang dalam keadaan kesempitan tidak ada bagian sama sekali bagi nafsu itu."
Menjaga kesopanan kepada Allah di dalam masa lapang merupakan perkara yang sukar. Karena itu di dalam masa lapang itu hawa nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira ria. Tetapi kalau dalam kesempitan hawa nafsu tidak dapat mengambil bagiannya. Dengan demikian orang lebih aman dalam keadaan kesempitan daripada dalam keadaan lapang. Dalam keadaan lapang hawa nafsu mudah memperdaya. Sedangkan dalam kesempitan nafsu tak dapat memperdaya. Karena demikian itulah orang-orang ma'rifat lebih senang dalam kesempitan.
Jarang sekali orang yang kesempitan dari keadaan lapang atau kesempitan. Antara lapang dan kesempitan itu silih berganti bagaikan pergantian siang dan malam. Namun Allah tetap menerima penghambaan seseorang dalam dua keadaan itu. Barang siapa waktunya dalam kesempitan, maka dia tidak lepas dari dua keadaan, yaitu mengetahui sebab-sebabnya dan tidak mengetahui sama sekali. Adapun sebab-sebab kesempitan (kerisauan hati) itu ada tiga, yaitu :
1.Dosa yang dilakukan, maka dia harus bertaubat.
2.Kehilangan sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniaan, maka orang harus menyerah dan rela.
3. Hinaan atau disakiti orang dzalim, maka dia harus sabar dan betah menanggung.
"Kadang-kadang Allah memberi kepadamu sesuatu dari masalah keduniaan, maka Dia menolak memberikan pertolongan kepadamu. Dan kadang-kadang Dia menolak memberikan sesuatu kepadamu, maka Dia kemudian memberi pertolongan kepadamu".
Bila Allah memberi atau mencegah sesuatu dari masalah keduniaan, maka janganlah dilihat hanya lahirnya saja dari pemberian atau pencegah itu. Tetapi yang harus diperhatikan adalah hakekat perkaranya. Sebab kadang-kadang Allah memberikan masalah keduniaan kepada seseorang, akan tetapi dibalik itu dia memberikan pertolongan untuk ta'at kepada- Nya. Begitu pula kadang-kadang Allah menolak memberikan sesuatu dari masalah keduniaan kepada seseorang, namun dibalik itu pula Dia memberi pertolongan kepadanya untuk ta'at kepada-Nya. Dengan demikian sebaiknya orang itu tidak mengatur dan memilih sendiri, melainkan hanya menyerahkan segala perkaranya kepada Allah.
Kemudian Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Apabila Allah telah membukakan kepadamu pintu kepahaman didalam penolakan (Nya), maka kembalilah penolakan itu sebagai kenyataan pemberian(Nya)".
Bilamana Allah menolak sesuatu kepada seseorang, kemudian orang itu memahami bahwa penolakan Allah kepadanya merupakan suatu rahmat dari pada-Nya, maka penolakan itu pada hakekatnya adalah pemberian juga
daripada jika mereka dalam keadaan kesempitan. Dan tidak dapat tetap
berdiri di atas batas-batas adab di dalam keadaan lapang kecuali
sedikit".
Orang-orang ma'rifat lebih khawatir dalam keadaan lapang daripada dalam keadaan kesempitan. Sebab keadaan lapang itu sesuai dengan hawa nafsunya. Sehingga mereka khawatir kalau sampai tertarik ke dalam
ajakan hawa nafsu. Misalnya selalu memperbincangkan berbagai keadaan yang wujud ini, dan berbagai kekeramatan. Kadang-kadang bahkan keluar dari padanya ucapan yang tidak patut diucapkan di hadapan Allah. Padahal bagi orang ma'rifat dia harus selalu menjaga kesopanan di hadapan-Nya.
Lagi pula keadaan lapang itu bisa menggelincirkan orang. Sehingga menyebabkan orang harus tambah berhati-hati. Sebaliknya kesempitan lebih mendekatkan orang menuju keselamatan.
Sehubungan dengan keadaan lapang dan kesempitan itu, Syaikh Ahmad bin "Athaillah berkata :
"Dalam keadaan lapang nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira, sedang dalam keadaan kesempitan tidak ada bagian sama sekali bagi nafsu itu."
Menjaga kesopanan kepada Allah di dalam masa lapang merupakan perkara yang sukar. Karena itu di dalam masa lapang itu hawa nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira ria. Tetapi kalau dalam kesempitan hawa nafsu tidak dapat mengambil bagiannya. Dengan demikian orang lebih aman dalam keadaan kesempitan daripada dalam keadaan lapang. Dalam keadaan lapang hawa nafsu mudah memperdaya. Sedangkan dalam kesempitan nafsu tak dapat memperdaya. Karena demikian itulah orang-orang ma'rifat lebih senang dalam kesempitan.
Jarang sekali orang yang kesempitan dari keadaan lapang atau kesempitan. Antara lapang dan kesempitan itu silih berganti bagaikan pergantian siang dan malam. Namun Allah tetap menerima penghambaan seseorang dalam dua keadaan itu. Barang siapa waktunya dalam kesempitan, maka dia tidak lepas dari dua keadaan, yaitu mengetahui sebab-sebabnya dan tidak mengetahui sama sekali. Adapun sebab-sebab kesempitan (kerisauan hati) itu ada tiga, yaitu :
1.Dosa yang dilakukan, maka dia harus bertaubat.
2.Kehilangan sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniaan, maka orang harus menyerah dan rela.
3. Hinaan atau disakiti orang dzalim, maka dia harus sabar dan betah menanggung.
"Kadang-kadang Allah memberi kepadamu sesuatu dari masalah keduniaan, maka Dia menolak memberikan pertolongan kepadamu. Dan kadang-kadang Dia menolak memberikan sesuatu kepadamu, maka Dia kemudian memberi pertolongan kepadamu".
Bila Allah memberi atau mencegah sesuatu dari masalah keduniaan, maka janganlah dilihat hanya lahirnya saja dari pemberian atau pencegah itu. Tetapi yang harus diperhatikan adalah hakekat perkaranya. Sebab kadang-kadang Allah memberikan masalah keduniaan kepada seseorang, akan tetapi dibalik itu dia memberikan pertolongan untuk ta'at kepada- Nya. Begitu pula kadang-kadang Allah menolak memberikan sesuatu dari masalah keduniaan kepada seseorang, namun dibalik itu pula Dia memberi pertolongan kepadanya untuk ta'at kepada-Nya. Dengan demikian sebaiknya orang itu tidak mengatur dan memilih sendiri, melainkan hanya menyerahkan segala perkaranya kepada Allah.
Kemudian Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Apabila Allah telah membukakan kepadamu pintu kepahaman didalam penolakan (Nya), maka kembalilah penolakan itu sebagai kenyataan pemberian(Nya)".
Bilamana Allah menolak sesuatu kepada seseorang, kemudian orang itu memahami bahwa penolakan Allah kepadanya merupakan suatu rahmat dari pada-Nya, maka penolakan itu pada hakekatnya adalah pemberian juga
-----