santriploso.org : Kronologi singkat lahirnya Golongan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Pada
masa imam empat banyak bermunculan bid’ah dan ideologi yang didasari
hawa nafsu (tidak berdasarkan dalil syar’ie maupun dalil aqli). Hanya
saja belum begitu meluas dan pengaruhnya pun tidak terlalu besar. Baru,
setelah mereka wafat, bid’ah-bid’ah yang disebarkan semakin bertambah
kuat dan tersebar luas. Fenomena ini memotifasi para tokoh agama dari
golongan madzahibul arba’ah untuk mencegah tersebarnya bid’ah dan
berusaha mempertahankan aqidah para Ulama Salaf. Hingga akhirnya pada
abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah
Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu
Abu Hasan aL-Asy’arie (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abu Mansur
aL-Maturidi di Samarkand dalam memperjuangkan dan mempertahankan
keabadian aqidah-aqidah yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan Thoriqoh
para Sahabat aL-Mahdiyyin.
Meskipun pada taraf tertentu pemikiran
kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara
bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham
Mu’tazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya.
Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang
banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini
menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang
pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Dalam kaca mata
sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan
(counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia
Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Abu Hasan aL-Asy’arie adalah
tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’I, Sedangkan Abu Mansur
aL-Maturidi adalah pengikut madzhab Imam Hanafi. Meskipun keduanya
menganut madzhab yang berbeda, namun keduanya sama-sama mempunyai
charisma yang tinggi serta mendapat simpati dari berbagai kalangan
umat, sehingga mereka memposisikan kedua imam ini sebagai tokoh madzhab
pilihan dalam permasalahan ushuluddin, yang kemudian madzhab ini lebih
dikenal dengan Asy’ariyyah (setiap pengikut Abu Hasan aL–Asy’arie) dan
Maturidiyyah (setiap pengikut Abu Mansur aL-Maturidi) dan untuk
membedakan kedua golongan ini dengan golongan Mu’tazilah.
Abu Hasan
aL-Asy’arie dikenal berhasil mengambil jalan tengah (tawasuth, moderat)
dari pertikaian teologis pada zamannya Jalan tengah yang ditawarkan
adalah pengakuan terhadap rasionalis, tapi pada tingkat tertentu harus
tunduk kepada wahyu. Fungsi rasionalitas digunakan untuk
menterjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan wahyu. Bukan mempertanyakan
wahyu itu sendiri. Karena itu bila akal tidak mampu menjelaskan wahyu,
dengan kata lain akal mempunyai keterbatasan, sedangkan wahyu tidak,
karena termasuk bagian dari sifat Allah yang qadim.Asy’ari juga
mengakui “otoritas salaf”. Dalam pandangannya, gagasan-gagasan dan
kesepakatan dalam masyarakat salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in) dapat dijadikan pijakan hukum melalui metode ijma’ dan qiyas.
Suatu metode yang menyerupai gagasan yang pernah ditelorkan Imam
Syafi’I dalam ilmu ushul fiqih. Gagasan Asy’ari itu kemudian diperhalus
oleh Imam Manshur al-Maturidi. Menurut Maturidi, wahyu harus diterima
secara penuh. Akal harus berperan mentakwilkan wahyu. Ayat-ayat tajsim
(Allah bertubuh) atau Tasybih (Allah serupa dengan makhluk) harus di
tafsirkan secara majazi (kiasan) bukan literal.
Konklusi
Asy’ariyah inilah yang kemudian berkembang baik dan mendiaspora menjadi
panutan. Tidak hanya kalangan awam, melainkan pula para ahli hadits,
fiqih dan tauhid. Pengikutnya kemudian diberi label Ahl as-Sunnah wa
al-Jamâ’ah oleh az-Zabidi (w.1205M), seratus tahun kemudian. Suatu
label yang pernah juga digunakan oleh Hasan al-Bashri untuk merujuk
komunitas “ahli ilmu dan ibadah” yang tidak memihak Mu’awiyyah, Syi’ah
dan khawarij. Dan memang gagasan Asa’ari dalam bidang tauhid dapat
ditarik lebih jauh akar pemikiran-pemikirannya pada gagasan yang
dikembangkan Hasan al-Bashri.
Kendati pada awal mulanya hanya
diminati ahli fiqih, hadits dan kalangan awam, namun gagasan Asy’ari
dengan cepat diadopsi oleh para penguasa Muslim. Mereka tertarik dengan
tekanan Asy’ari terhadap tertib sosial untuk mewujudkan dan
melaksanakan syari’at Islam.
Wallahu a'lam bishowab.