Mbah Kyai Ali Ma’shum
(rahimahullah) terlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja,
beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan
beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di
Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathi rahimahullah, Kyai Ali
diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previleg yang tidak
didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan
karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem).
Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai
Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas.
Previleg itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali.
Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun
diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.
Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy
Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri
Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang
hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi
menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali
Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah
Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi.
Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui
di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum
beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali
akhirnya menyerah.
“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”
Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi
patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan
satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika
gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena
dianggap terlampau berani.
Barangkali orang masih ingat, bagaimana
Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi
menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan
diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith
Muzadi ke Situbondo. “Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith,
“sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”. Kyai Muhith
angkat tangan. “Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang
sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…” “Wah, saya ’dak
biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”
Pada kesempatan lain, Kyai As’ad
mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum
berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal
Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.
“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai
As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan
majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.
Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan
segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk
membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat
hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk
menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang
kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi
pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari
jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.
“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”. Keputusan rapat pun batal.
Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh
masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan
NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan
menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo
(1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau.
Itu memang bukan perjalanan yang mudah.
Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu
kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui
dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani
melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.
“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam
sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu,
“tapi setelah panjenengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan
begini?”.
Mbah Ali tersenyum bijak. “Bagus sekali
kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang
dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.
Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan
orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwa
pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau
(Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affan
radliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa
kekhalifahan Sayyidina ‘Ali. Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali? ;
“Pada masa beliau bertiga itu, yang
dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang
kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”
*** (Penulis : KH Yahya C.
Staquf).