“Qadha‘” adalah bentuk masdar dari kata dasar “qadhaa”, yang artinya; memenuhi atau melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Misalnya, qadha puasa Ramadhan yang berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan.
Namun demikian, menurut para ahli bahasa
Arab, penggunaan istilah qadha untuk pengertian seperti tersebut di atas
(istilah dalam ilmu fiqh) sama sekali tidak tepat. Lantaran pada
dasarnya kata qadha, semakna dengan kata “ada’” yang artinya; pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.
Oleh sebab itu, tidaklah tepat kata qadha’ dimaksudkan untuk istilah yang artinya bertolak belakang dengan ada’.
Akan tetapi, nyatanya istilah qadha’ tersebut telah membudaya, menjadi
baku dan berlaku dalam ilmu fiqh, untuk membedakannya dengan kata ada’
yang merupakan pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah
ditentukan.
Wajibkah Qadha’ Puasa Dilaksanakan Secara Berurutan?
Qadha’ puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan
sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam
Al-Baqarah ayat 184. Dan tidak ada ketentuan lain mengenai tata cara
qadha’ selain dalam ayat tersebut.
Adapun mengenai wajib tidaknya atau qadha
‘ puasa dilakukan secara berurutan, ada dua pendapat. Pendapat pertama,
menyatakan bahwa jika hari puasa yang ditinggalkannya berurutan, maka
qadha’ harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha’
merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib
dilakukan secara sepadan.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa
pelaksanaan qadha’ puasa tidak harus dilakukan secara berurutan,
lantaran tidak ada satupun dalil yang menyatakan qadha ‘ puasa harus
berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha’
puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan.
Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits
yang sharih jelas dan tegas).
Sabda Rasulullah SAW :
قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ
“Qadha’ (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. ” (HR. Daruquthni, dari Ibnu ‘Umar).
Dari kedua pendapat tersebut di atas,
kami lebih cendong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh
hadits yang sharih. Sementara pendapat pertama hanya berdasarkan logika
yang bertentangan dengan nash hadits yang shahih, sebagaimana tersebut
di atas. Dengan demikian, qadha’ puasa tidak wajib dilakukan secara
berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki.
Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.
Bagaimana Jika Qadha’ Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?
Waktu dan kesempatan
untuk melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup yakni,
sampai bulan Ramadhan berikutnya. Namun demikian, tidak mustahil jika
ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha’
puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.
Kejadian seperti ini, dapat disebabkan
oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada
halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah,
sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha’
puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan benkutnya.
Penangguhan atau penundaan pelaksanaan
qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan
yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan
tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka
tidaklah berdosa.
Adapun mengenai kewajiban fidyah’ yang
dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha’ puasa Ramadhan tersebut, di
antara para Fuqaha ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa;
penangguhan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya,
tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut
karena ada udzur atau tidak.
Pendapat kedua menyatakan bahwa; penangguhan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian)
hukumnya. Yakni jika penangguhan tersebut karena udzur, maka tidak
menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Sedangkan jika penangguhan tersebut
tanpa udzur, maka menjadi sebab diwajibkannya fidyah.
Sejauh pengamatan kami, kewajiban fidyah
akibat penangguhan qadha ‘puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan
berikutnya, tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah.
Oleh sebab itu, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
keabsahannya. Yang dengan demikian, secara mutlak tidak ada kewajiban
fidyah, walaupun penangguhan tersebut tanpa udzur.
Bagaimana Jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?
Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah
sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi
berhubungan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia
sebelum memenuhi kewajiban qadha’ puasa Ramadhan, sama artinya dengan
mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak
keluarga wajib memenuhinya.
Adapun dalam praktik pelaksanaan qadha’
puasa Ramadhan tersebut, ada dua pendapat yakni; Pendapat pertama,
menyatakan bahwa; pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan orang yang meninggal
dunia tersebut gapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar
0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari
puasa yang telah ditinggalkannya.
Sabda Rasulullah SAW :
مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi, dari Ibnu ‘Umar).
Hadits tersebut di atas, yang mendukung
pendapat pertama ini. Namun oleh perawinya sendiri yakni, Imam Tirmidzi
telah dinyatakan sebagai hadits gharib. Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai. Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Namun demikian, para Fuqaha yang
menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti;
bahwa masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni
memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah
ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa; jika
orang yang memiliki kewajiban qadha’ puasa meninggal dunia, maka pihak
keluarganya wajib melaksanakan qadha’ puasa tersebut, sebagai gantinya.
Dan tidak boleh dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan
qadha’ puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seijin
atau atas perintah keluarganya.
Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).
Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat
lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama
dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu’, gharib atau mauquf
seperti dijelaskan di atas. Sedangkan peristiwa yang menguatkannya
yakni, apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama
sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.
Bagaimana Jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?
Melaksanakan qadha’ puasa sebanyak hari
yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban. Baik qadha’ puasa
untuk dirinya sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah
meninggal dunia. Namun dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa
jumlah hari yang harus qadha’ puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya
lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit diketahui jumlah harinya.
Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja
jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha’ puasa
adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha’
tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai
tersendiri.
KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU
NU Online
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU
NU Online