http://netlog.wordpress.com
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa
jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang
berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam
perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh
ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen
sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo
memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur
dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam
pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular (
putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara
tradisi yang dikembangkan,khususnya di Kerajaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada
(lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh
dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu
dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada
berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi
Muhammad adalah utusan-Nya" , isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat
Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman
masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna
parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu
yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan
Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair
menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan
dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari
lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi
,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk
bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan
Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak
mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima
waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama,
yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap
menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut
seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi
penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin
inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para
wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu
dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena
masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk
meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut
sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama
islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para sunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup
(ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori
kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda
atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa,
Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber
kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup
rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam.
Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya
ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat
tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin
hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa
saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai
ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat
rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat
serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya
selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar
dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang
terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan
dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan
kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi
hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati
(melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan
rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang
banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki
sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam
menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap
sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak
menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh
sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang
pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan
emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini
terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan
tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan
atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh
pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan
menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang
memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan.
Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam
bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh
tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan
yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian
pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi)
pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika
kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita,
orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana.
Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya
seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya).
Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai
menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi
dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu
sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat
kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa
yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat
dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi
tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu
persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini,
mengingat ini bukan bidang saya, namun kami hanya ingin memberikan suatu
wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali ilmu yang dapat kita
gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali budaya luar
terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.
_________