Jumat, 11 Januari 2013

Bertasawuf Di Era Globalisasi

http://islamjawa.wordpress.com

Bagaimana bertasawuf di zaman modern di era globalisasi seperti sekarang? Mungkinkah itu? Jika orang ramai-ramai bertasawuf, bukankah dunia bakal menjadi sunyi sepi? Itulah contoh pertanyaan yang banyak dilontarkan, nyaris tidak percaya dewasa ini kita masih bisa bertasawuf.

Banyak orang yang selama ini bependapat bahwa menjalani tasawuf berarti harus uzlah, hidup mengasingkan diri di goa-goa atau tempat sunyi, serta zuhud-wara dengan menolak dan meninggalkan seluruh harta benda dan semua pesona dunia.

Tatkala mengawali jejaring sosial facebook dan blog, sesungguhnya kami sudah menjelaskan pengertian dan pemahaman mengenai hal-hal yang terkait dengan tasawuf, termasuk menampilkan peranan dan perjuangan ulama-ulama tasawuf dunia yang termasyhur.

Memang betul tasawuf itu tidak bisa dipisahkan dari masalah uzlah, zuhud dan wara. Namun bertasawuf tidak berarti harus uzlah, mengasingkan diri ke tempat sunyi di gua-gua atau di hutan, membenamkan diri sepenuhnya dalam ritual-ritual ibadah, salat, puasa, duduk tafakur dan wirid semalam suntuk; memperbanyak amalan sunah sampai melupakan kewajibannya selaku khalifatullah fil ardh. Melupakan tugasnya selaku pengurus keluarga, selaku wakil dan utusan Gusti Allah dalam mengelola dan mewujudkan rahmatan lil alamin bagi alam semesta dan segenap isinya, sampai-sampai tak peduli dengan kezaliman, tak peduli dengan ketidakadilan dan kemungkaran yang merajalela. Sesungguhnyalah, sebaik-baik uzlah adalah menghindarkan atau mengasingkan hati dari keramaian pikiran duniawi.

Sementara itu hakekat zuhud adalah, kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta benda dan pesona dunia dalam mengabdikan diri kepada Gusti Allah, dan bukan berarti tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Demikian pula hakekat wara, adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan serta menahan diri dari hal-hal yang bisa membawa kita ke kemudharatan, termasuk hal-hal yang syubhat dan lebih-lebih yang haram.

Jika tasawuf dimaknai semata-mata sebagai hidup mengasingkan diri di goa-goa atau tempat sunyi sebagaimana di atas, maka tidak akan banyak orang yang mau menjalani tasawuf. Atau bila banyak, maka dunia ini memang betul-betul bisa menjadi sunyi-sepi.

Bertasawuf sebenarnya adalah mengikuti perilaku dan keteladanan Kanjeng Nabi Besar Muhammad Saw, yakni bulat hati kepada Gusti Allah, tekun ibadah dan berpaling dari pesona dunia. Siapakah orang yang lebih zuhud wara dari Rasulullah? Siapakah manusia yang lebih tinggi makrifatnya dibanding Rasulullah? Tidak ada. Dan Rasulullah dalam bermakrifat, tidaklah dengan beruzlah dan berzuhud-wara di tempat-tempat sunyi. Rasulullah mengangkat pedang berperang bersama para sahabatnya. Rasulullah bekerja keras, bahkan kerja kasar bergotongroyong menggali parit pertahanan. Rasulullah berada di keramaian hidup bergaul secara wajar, namun dengan amat amat sangat sederhana. Rumah tinggalnya sederhana, alas tidurnya berupa tikar yang dianyam dari pelepah daun korma, pakaian dan makanannya menyesuaikan diri dengan kemampuan rata-rata terendah rakyatnya.

Namun begitu Rasulullah menganjurkan rakyat untuk rajin berkebun serta berbisnis secara jujur, ulet dan tekun. Beliau senantiasa menyenangkan sahabat-sahabatnya yang mengirim makanan untuknya, dengan spontan mencicipi sesuap – dua suap. Keteladanan Rasulullah tersebut diikuti pula oleh para sahabat khususnya empat khalifah penerusnya.

Memang di zaman sekarang, rasanya mustahil meniru persis apa yang dilakukan Kanjeng Nabi. Oleh karena itu ustadz Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerta, Jawa Timur, mengajarkan, yang terpenting pahami lebih dulu hakekat dari kesederhanaan kehidupan Rasulullah tersebut. Selanjutnya, belajarlah untuk meneladaninya setahap demi setahap. Kurangilah sedikit demi sedikit tapi pasti, kebiasaan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Misalkan kalau biasanya makan nasi tiga kali sehari masing-masing satu piring, kurangi menjadi tiga perempat piring sampai setengah piring. Dari tiga kali nasi menjadi dua kali nasi dan sekali jagung atau singkong, dan seterusnya. Demikian pula pemenuhan kebutuhan yang lain, kurangilah secara bertahap.

Bertasawuf mengikuti keteladanan Baginda Rasul yang seperti itulah, yang oleh orang Jawa disebut “topo ngrame”, bertapa di tengah keramaian. Hidup di tengah keramaian bersama masyarakat luas, tetapi tidak terpesona apalagi larut dalam kenikmatan duniawi. Hatinya, perilakunya senantiasa tertuju kepada Gusti Allah. Tidak pernah berpaling dari-NYA. Senantiasa merasa pikiran dan tingkah lakunya diawasi Allah, dan oleh sebab itu selalu patuh menjalani perintah-perintah-NYA, menjauhi larangan-larangan-NYA. Semua tindak-tanduk, ucapan dan perbuatannya dilandasi dengan budi pekerti dan akhlak mulia. Segala apa yang dipikirkan dan diperbuat diniatkan sebagai ibadah, melaksanakan tugas selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi, mewujudkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap penghuninya. Bukan hanya bagi manusia, juga bukan hanya bagi diri, keluarga dan golongannya saja.

Penganut tasawuf harus dapat mengatur keseimbangan urusan dunia dan akhirat tanpa mengganggu hatinya dengan fantasi-fantasi pesona dunia. Jangan sampai hati kita terbelenggu oleh nafsu dunia. Kepada hamba-hamba-NYA yang seperti itulah sebagaimana dalam firman-firman-NYA antara lain Surat An Nuur ayat 55, dunia ini akan dilimpahkan, akan diwariskan.

Apatah dengan bertasawuf seperti itu maka dunia lantas menjadi sunyi sepi? Insya Allah, dunia justru akan damai sejahtera sesuai makna doa dalam salam kita, selamat sejahtera penuh dengan limpahan rahmat dan berkah-NYA. Amin.

Beji, 18 April 2012.























Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda