Jumat, 11 Januari 2013

Kritik dan Relevansi Uzlah Di Zaman Modern

Oleh : DR.H.Harapandi Dahri, M.Ag
Tasawwuf adalah salah satu khazanah keilmuan umat Islam yang akarnya dapat ditarik hingga masa Rasulullah SAW. Sayangnya nasib disiplin ilmu ini tidak seberuntung disiplin ilmu lainnya. Dalam perjalanan sejarah sering disaksikan pro dan kontra tentang keabsahannya, ada yang menganggapnya inheren dari Islam namun ada juga yang menganggapnya sebagai import dari luar Islam. Akibatnya tidak sedikit tokoh sufi yang menjadi martir dari kesimpangsiuran ini. Abu Mansur al-Halladj, Suhrawardi al-Maqtul, Syekh Siti Jenar, dll, adalah sebagian sufi yang masuk dalam kategori ini.

Pukulan terhadap tasawwuf tidak berhenti sampai disini. Tasawuf didakwa sebagai yang paling bertanggung jawab atas kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang disebabkan ajaran-ajarannya yang dianggap bertentangan dengan Agama, mematikan kreatifitas, meminimalisir peran akal, dll. Berikut ini akan dibahas salah satu ajaran dari tasawwuf yaitu uzlah dalam rangka verifikasi ataupun falsifikasi benar tidaknya ia bertanggung jawab pada kondisi umat Islam seperti yang dituduhkan dewasa ini.

Kata Kunci : Uzlah, al-Ta’rifat, Tafakur, Mukhalatah, ‘Ashabiyah, Salaf al-Saleh, Ittihad, Esoteris,

A. Pengertian Uzlah

Secara etimologi uzlah berarti ta’azzala ‘an al-syai’ atau menghindar dari sesuatu.[1] Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab memperjelas pengertian uzlah dengan mengutip ayat al-Quran fain lam tu’minu fa i’taziluni dan inlam tu’minu fala takunu ‘alayya wala ma’i.[2] Secara terminologi menurut al-Jurjani uzlah adalah membebaskan diri dari masyarakat dengan cara menghindarkan diri atau memutuskan hubungan dengan mereka seperti yang dikatakan dalam al-Ta’rifat.[3]

Muhammad Abdullah Darraz dalam Dustur al-Akhlaq fi al-Quran berpendapat bahwa uzlah merupakan pengasingan diri yang dilakukan oleh seseorang ke tempat sunyi, bisa di dalam kota ataupun di luar. Hal ini dilakukan karena menurutnya penduduk kota tempat ia menetap tidak berprilaku baik, sehingga apabila ia tidak menghindar boleh jadi ia akan terpengaruh. Uzlah yang dilakukan tidaklah berlaku selamanya, yaitu apabila sudah merasa siap untuk kembali pada masyarakat, maka ia harus kembali.[4]

B. Urgensi Uzlah dalam Tasawwuf

Urgensi uzlah dalam tasawwuf dapat dilihat dari manfaat yang diberikannya pada setiap pribadi yang menjalankannya. Muhyiddin ibn ‘Arabi mengatakan bahwa selama beruzlahlah ia mendapatkan banyak ilmu seperti yang dimilikinya.[5] Terbebasnya seseorang dalam beberapa waktu dari berbagai kegiatan duniawi secara tidak langsung memberikan more chances baginya untuk mendedikasikan diri secara all out pada Allah demi tujuan-tujuan ukhrawi. Ibn Athaillah al-Sakandari mengatakan bagaimana mungkin hati seseorang dapat terang dan bersih dari noda bila bayangan dunia masih memantul dari lensa hatinya? Atau bagaimanakah seseorang akan sampai ke hadirat Ilahi, bila ia masih pasrah terikat oleh pengaruh hawa nafsu yang membelenggunya?[6] Berikut ini akan dipaparkan manfaat ataupun faedah yang akan diperoleh seseorang dalam uzlah.

1. Tersedianya waktu untuk beribadah, bertafakkur, dan merasakan keintiman dalam bermunajat pada Allah. (al-tafarrug li al-ibadat wa al-fikr wa al-isti’nas bi munajat Allah).[7]

Menurut al-Zabidi dalam Ithaf al-Sadat al-Muttaqin seorang yang mengamalkan uzlah, secara otomatis mempunyai banyak waktu berhubungan dengan Allah dengan menjalankan berbagai macam ibadah, merenungkan ayat Allah, dll. Karena itulah orang yang berkeinginan merealisasikannya dengan sempurna mesti memiliki waktu-waktu kosong untuk beribadah pada Allah.[8]

Telah membudaya bagi orang-orang ta’at di kalangan bangsa Arab dulu untuk beberapa waktu pada tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan berdoa dan bertapa mengharapkan rezeki dan pengetahuan. Rasulullah SAW sebelum pengangkatannya menjadi Rasul juga termasuk orang yang suka mengerjakan hal ini. Beliau sering pergi menyendiri dengan pergi ke sebuah gua di gunung Hira’. Disinilah Rasulullah memperoleh ketenangan diri serta obat penawar dari kegelisahan yang selama ini menyelimutinya.

Para sufi berusaha keras all out untuk menjaga kestabilan hati agar tidak terpengaruh dorongan hawa nafsu yang setiap saat berpotensi untuk menjerumuskannya. Sakitnya hati karena terlalu memperturutkan tabiat kemanusiaan hanya dapat diobati dengan usaha keras untuk meredam dan mengendalikannya. Jalan yang paling efektif dalam hal ini adalah uzlah, karena dengannya terbuka kesempatan yang luas untuk beribadah, yang tidak akan didapatkannya ketika bermukhalatah dengan masyarakat.[9] Menurut Muhibuddin Wali orang yang senantiasa beruzlah akan terhindari dari pergaulan orang-orang yang melalaikan shalat, mengerjakan yang haram, dan mengingkari perintah Allah. Ia akan terhindar dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, dan dengan segala kelapangan waktu dapat berkonsentrasi, khusyu’, dan tenang beribadah pada Tuhannya.[10]

2. Terbebasnya diri dari ghibah, riya’, al-sukut min al-amri bi al-ma’ruf dan al-nahy ‘an al-munkar, dan al-akhlaq al-mazmumah.

Ghibah adalah membicarakan sesuatu yang tidak disukai orang lain, sementara ia tidak bersama mereka. Menurut ibn Qudamah sudah menjadi kebiasaan orang membicarakan kejelekan orang lain ketika berkumpul dengan sesamanya. Dalam hal ini posisinya sangat sulit pertama berdosa karena mengikuti pergunjingan, kedua berdosa karena membiarkan pekerjaan itu terjadi.[11] Riya’ adalah melaksanakan ibadah karena hanya ingin dilihat orang, bukan ikhlas karena Allah. Dengan kata lain ia beribadah hanyalah karena ingin mendapat sanjungan orang, atau atas dasar maksud-maksud lain selain Allah. ibn Athaillah mengatakan bahwa orang yang seperti ini berarti melakukan kesalahan besar karena tidak memiliki kejujuran dalam beribadah.[12]

Al-amr bi al-ma’ruf dan al-nahy ‘an al-munkar menurut al-Ghazali kedudukannya adalah setengah dari agama dan merupakan kewajiban setiap muslim.[13] Pergaulan dengan orang lain secara otomatis membuatnya menyaksikan berbagai hal, baik dan jelek, kemaslahatan dan kezaliman. Terhadap yang baik jelas tidak ada masalah, tetapi terhadap yang jelek muncul masalah yaitu kewajiban untuk mencegahnya. Agama mewajibkan seseorang untuk mencegah kemungkaran yang ditemuinya semampunya, dengan kekuasaan (biyadihi), perkataan (bilisanihi), dan hati (biqalbihi). Terakhir yang dapat dihindarkan oleh orang yang beruzlah adalah hilangnya kesempatan bergaul dengan orang yang berakhlak jelek. Kecenderungan seorang alim adalah menjaga pergaulan, tingkah laku, memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mengabdi pada Allah, dll, sementara non alim adalah sebaliknya.

3. Terbebas dari fitnah, permusuhan antar muslim, dan fanatisme golongan/bangsa.

Seseorang yang mengasingkan diri dari masyarakat secara tidak langsung berarti ia membentengi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang mengundang munculnya fitnah, permusuhan antar sesama manusia, dan fanatisme golongan/bangsa dimana ia berada. Ketika ia memutuskan untuk berpihak (bergabung) pada satu kelompok, ia akan sangat sulit berbuat demi kelompok lain. Dengan kata lain berarti ia telah membatasi pergaulannya dengan kelompok lain, yang akhirnya akan melahirkan ‘ashabiyah (fanatisme) yang berdampak negatif pada kesatuan dan persatuan umat.

4. Terbebas dari kejahatan manusia (al-khalash min syar al-nas).

Al-Quran menyatakan bahwa al-nafs selalu memiliki kecenderungan pada kejahatan, inna al-nafs la ammarah bi al-su’. Kepiawaian seseorang dalam mengendalikan akan menempatkannya pada posisi yang sangat terpuji, namun kelalaian dalam mengarahkannya justru akan menempatkannya pada derajat yang sangat hina.[14] Sayangnya orang yang dapat mengendalikan jumlahnya justru lebih sedikit dibanding yang hanyut dalam godaannya. Akibatnya orang yang ingkar pasti lebih banyak dari yang saleh.

Dengan kenyataan di atas sangat beralasan apabila al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya seorang manusia banyak sekali menimbulkan kesulitan bagi manusia lain. Terkadang dengan kejahatan yang nyata seperti mencuri, menghina, dll, dan terkadang dengan kejahatan hati seperti ghibah, namimah, dll.[15] Karena itulah uzlah mutlak diperlukan agar kejahatan-kejahatan tersebut tidak mempengaruhi ataupun mencelakakan dirinya.

5. Terbebas dari menyaksikan orang-orang berakhlak rendak dan kurang akal (al-khalash min musyahadat al-tsaqala’ wa al-humq wa muqasat humqihim wa akhlaqihim).

Faedah terakhir dari uzlah adalah terbebas dari menyaksikan tingkah orang yang berakhlak tercela. Al-Ghazali mengistilahkan penglihatan terhadap hal-hal jelek itu dengan buta kecil (al-umy al-asghar).[16] Hal ini dianggap penting karena pengaruh melihat hal-hal yang tidak baik sangat besar pada pembentukan sifat, mental, dan tingkah laku. Apabila yang sering dilihatnya itu baik, perbuatannya akan baik. Namun bila jelek maka perbuatannya juga akan jelek.

Menurut ibn Athaillah hendaklah seseorang itu tidak bergaul dengan orang yang tidak membangkitkan semangatnya untuk taat kepada Allah, sebab kecenderungan manusia adalah mengikuti pendirian (kelakukan) temannya. Persahabatan dengan orang berakhlak tercela adalah suatu bahaya sebab sudah menjadi ciri khas pergaulan untuk saling pengaruh mempengaruhi, percaya mempercayai, sehingga sangat sulit bagi seseorang untuk mengkritisi tindakan sahabatnya. Bahkan bisa jadi ia rela membela pendapat tersebut meskipun yang dikemukakan jelas-jelas bertentangan dengan syariat agama.[17]

C. Relevansi Uzlah dengan Zaman Modern

Uzlah merupakan suatu bentuk peribadatan yang telah dipraktekkan oleh para anbiya’ dan salaf al-saleh semenjak ribuan tahun yang lalu. Ia merupakan proses pematang diri yang menyuguhkan banyak keuntungan atau hal-hal positif yang sangat bermanfaat untuk kehidupan, baik secara pribadi atau bermasyarakat. Adapun metode operasionalnya adalah dengan mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat luas melahirkan suatu pertanyaan yaitu masih relevankah amalan ini direalisasikan pada zaman modern ini?

Untuk menjawab pertanyaan di atas memang tidak cukup hanya dengan satu anggukkan ya ataupun tidak. Sebab apapun jawaban yang diberikan akan melahirkan konsekwensi tersendiri. Ketika dijawab ya, akan timbul pertanyaan berikutnya, apakah memang masih relevan amalan yang mengambil bentuk pengasingan diri dari masyarakat luas itu diaplikasikan pada zaman modern yang serba kompleks ini, dimana seseorang dituntut untuk senantiasa stand by dalam pekerjaannya? Namun ketika jawaban tidak dikemukakan maka pertanyaan yang akan muncul adalah apakah memang tidak mungkin pengaplikasian suatu amalan yang nota bene-nya berasal dari pada anbiya’ dan salaf al-shaleh, dan telah beribu-ibu tahun terbukti membuahkan hasil dalam membentuk mental dan kepribadian muslim secara lebih sempurna? Banyaknya rentetan tanggapan yang akan muncul mengenai permasalahan ini memberikan isyarat bahwa jawabannya tidak mungkin hanya sebatas anggukan ya ataupun tidak.

Uzlah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, secara lughawi berarti penyisihan/pengasingan diri, sedangkan secara istilahi ialah mengasingkan diri dari pergaulan manusia untuk beribadah pada Allah SWT. Penjabaran dari makna istilahi ini kemudian melebar menjadi dua paradigma yang masing-masing mempunyai pengertian yang sangat menarik.

Bentuk pertama adalah seorang muslim pergi mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat luas ke suatu tempat terpencil seperti gua, puncak gunung, dll, demi mengonsentrasikan diri dalam beribadah pada Allah. Sedangkan bentuk kedua adalah seorang muslim tetap berada di tengah-tengah masyarakat, namun dengan suatu konsekwensi ia berusaha semaksimal mungkin menjaga hatinya agar tidak terpengaruh oleh segala efek-efek negatif yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pengertian ini menurut penulis sangat penting untuk dikemukakan mengengat ia akan sangat menentukan bagi pembahasan selanjutnya.

Dalam kehidupan yang serba kompleks ini, orang merasakan bahwa segala kebutuhannya telah dapat dipenuhi dengan seluruh fasilitas yang diciptakan ilmu pengetahuan dan tekhnologi industri. Era global ditandai dengan kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di segala bidang. Sebagai contoh dengan tekhnologi komunikasi yang canggih, arus informasi akan mengalir dengan derasnya melintasi batas negara tanpa dapat dihambat oleh kekuatan fisik. Perobahan demi perobahan berjalan sangat cepat, bahkan sulit terikuti.

Kemajuan iptek dalam era global ini telah sampai ke taraf apa yang disebut dengan the post industrial society, yaitu masyarakat yang secara material telah sampai pada taraf makmur. Peralatan-peralatan hidup telah terkendali secara mekanis dan otomatis.[18] Sepertinya hidup bertambah mudah, enak dan nyaman, akan tetapi ternyata kecukupan dan kenyamanan material tidak selamanya membawa kepada kebahagiaan rohani. Padahal aspek kerohanian inilah yang merupakan harkat dan martabat manusia. Dimana bila ia terabaikan akan membawa kekurangan yang paling serius yang menyangkut sisi manusia yang terpenting dan yang paling dalam. Dalam Islam spritualisme juga merupakan hal yang sangat penting, dimana jika ia dihilangkan berarti agama bagaikan makhluk tanpa nyawa.

Menyimak dari kemajuan-kemajuan Barat pada era global ini yang kering dari aspek kerohanian, akan menimbulkan malapetaka dalam berbagai bidang. Untuk menangkal terjadinya hal itu perlu dihidupkan kembali pendidikan spritual. Bagi kaum sufi ajaran spritual ini merupakan cara utama untuk mengendalikan hawa nafsu. Bila ajaran sufisme tentang kesucian jiwa dan akhlak mulianya sudah terlaksana dengan baik, maka manusia akan menjadi hamba Allah yang membawa kedamaian di alam semesta ini.[19]

Gejala yang sangat menarik sekarang adalah bahwa masyarakat modern sudah mulai menyadari kekurangan yang dimiliki, sehingga sedikit demi sedikit mereka mencoba mendekati dunia spritual (tasawwuf). Implikasi yang timbul adalah sufisme kemudian menjadi fenomena masyarakat modern, bahkan mungkin menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Masyarakat modern mencari tasawwuf untuk melengkapi sisi lain dari belahan hidupnya yang hilang, yakni dimensi spritualitas. Masyarakat modern mencari makna spritualitas yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih menyadarkan eksistensinya di hadapan kebesaran Allah.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas dapat digaskan bahwa pada era global ini perlu dihidupkan kembali ajaran-ajaran yang mengandung unsur-unsur spritualitas dengan bentuk yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Jadi penekanan sufisme tidak lagi untuk mencapai ittihad dengan Tuhan, akan tetapi lebih menekankan kepada aspek transendental Tuhan, dan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan akhlak dan kebersihan jiwa. Akhlak yang hendak diwujudkan tersebut merupakan tiruan dari akhlak Tuhan, sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, “Takhallaqu bi akhlak Allah”. Kemudian sikap eskapisme dan anti keduniaan segera diganti dengan mengembangkan sikap positif terhadap dunia. Dengan kata lain, kesalehan individual tidak boleh terlepas dari kesalehan sosial dan kesalehan environmental.

Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya waktu-waktu tertentu yang digunakan khusus untuk mengamalkan ajaran-ajaran spritual ini, seperti apa yang dilakukan oleh ibn Bajah dengan konsep al-mutawahhid-nya dalam filsafat dan Imam al-Ghazali dengan konsep al-mu’tazil-nya dalam tasawwuf.

Uzlah dalam era global dan tekhnologi ini menurut hemat penulis dapat direalisasikan minimal atas dua pertimbangan. Pertama atas dasar panggilan sosial dan kedua atas dasar panggilan iman secara individual. Beruzlah adas dasar pertimbangan sosial cukup beralasan untuk dilakukan dewasa ini. Karena kehausan pada aspek-aspek esoteris (nilai-nilai spritual) yang dirasakan masyarakat menimbulkan suatu pengharapan akan munculnya seorang aktor yang sanggup mentransmisikan hal-hal tentang kerohanian Islam yang sangat dibutuhkan demi ketenangan jiwa. Sebab kemajuan yang diperoleh dalam bidang informasi dan tekhnologi industri seakan-akan membisikkan pada mereka bahwa ada suatu hal penting yang dirasa kurang atau tidak dimiliki.

Dari kenyataan inilah mereka kemudian berusaha mencari sesuatu yang hilang itu, yang salah satunya dapat ditemukan dalam beruzlah. Menurut penulis gejala dekadensi spritual merupakan gejala umum yang akan tetap ada selama manusia itu ada, sama dengan permasalahan lain yang pada akhirnya akan berputar dari suatu keadaan dan akan kembali ke keadaannya semula.

Uzlah dengan model yang pertama yaitu mengasingkan diri secara total masyarakat tampaknya masih dapat direalisasikan dengan berbagai modifikasi dan waktu yang dapat dipertimbangkan/dikompromikan. Hal ini mengingat kesibukan seseorang menjalankan aktifitas kesehariannya, menuntutnya untuk tetap intens berada di ruang kerja. Namun demikian bukanlah merupakan permasalahan serius apabila ia berkenan menyisihkan sedikit waktunya pergi mengasingkan diri dari rutinitasnya untuk beribadah pada Rabb yang menciptakannya.

Sedangkan dengan model yang kedua yaitu tetap melaksanakan segala aktifitas sosialnya dengan senantiasa memelihara hati agar tidak terdistorsi oleh hal-hal negatif juga merupakan hal yang positif, karena dengan demikian berarti di tengah kesbukannya menunaikan tanggung jawab sosial ia masih mampu menjaga kestabilan dirinya. Dengan demikian berarti ia mampu merealisasikan ucapan Umar bin Khattb RA yang mengharapkan manusia agar sedapat mungkin berada di tengah-tengah masyarakat (bergaul) tetapi—demi menjaga amal ibadahnya—ia tidak mengikuti apa yang dikerjakan oleh masyarakat tersebut (khalithu al-nas fi ma’ayasyikum wa zayyiluhum bia’malikum). Tetapi kemudian timbul suatu pertanyaan, mungkinkah seorang yang belum mempunyai basis keagamaan yang mantap mampu menjaga hatinya dari efek-efek negatif—yang secara realita amat banyak—terdapat pada pergaulan dengan masyarakat.[20]

Mansur al-Faqih mengatakan bahwa pergaulan dengan manusia banyak melahirkan berbagai kebajikan, namun sayangnya—menurut beliau—kejahatan/keburukan yang terdapat padanya justru lebih banyak (wa al-syar fi al-nas aktsar).[21] Memang secara realistis terlihat dengan jelas bahwa di dalam suatu masyarakat justru lebih banyak terdapat yang jahat ketimbang yang baik, sehingga orang yang berkeputusan untuk tetap berada di masyarakat secara tidak langsung akan dipaksa untuk bergaul dengan mereka. Akibatnya adalah pertama orang itu mungkin akan terpengaruh, kedua orang yang baik tadi—karena ia memang berprilaku baik—akan mempringatkan orang yang berprilaku tidak baik tersebut.[22] Implikasi yang muncul adalah meskipun terkadang ada yang mau berobah tetapi bagi yang menolak justru akan menimbulkan percekcokan antar sesama mereka. Kalau ini terjadi maka dalam masyarakaat tadi akan rawan keselamatan bagi orang yang baik tersebut, atau ia tidak lagi akan merasa aman berada di tengah-tengah mereka.

Dari realita tersebut penulis cenderung berpendapat bahwa sangat sulit bagi seseorang—apalagi yang kurang pengetahuan keagamaannya—untuk selamat dari efek-efek negatif yang terdapat dalam masyarakat. Karena itu lebih baik ia mengalah pergi mengasingkan diri sementara waktu untuk mematangkan diri, dan setelah itu baru kembali berkiprah di tengah-tengah masyarakat.

Kekeringan nilai-nilai spritual yang dirasakan masyarakat modern akhir-akhir ini membuat mereka merasa sangat kehausan untuk meraih dan mendapatkannya. Jadi sangat tidak beralasan kalau sebahagian orang mengatakan bahwa uzlah tidak relevan, kuno, dan tidak layak tampil di era modern ini. Padahal sebenarnya ia mengandung unsur-unsur spritual (rohani) yang merupakan unsure terpenting dari kemanusiaan itu sendiri.[23]

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sementara bahwa uzlah sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh para anbiya dan salaf al-shaleh masih relevan untuk zaman modern ini. Panggilan sosial dan panggilan iman secara individu merupakan indicator terpenting terwujudnya amalan mulia ini. Pengalaman ribuan tahun lalu telah membuktikan bahwa ia sangat penting dan bermanfaat sebagai media pengisian diri manusia sebelum terjun pada pergaulan masyarakat yang sadat dengan berbagai masalah dan problematikanya.

Sibuknya seseorang beraktifitas yang mungkin hanya menyisihkan beberapa hari saja untuk beristirahat dari sebulan, janganlah hanya dijadikan sebagai ajang pesta pora dan huruhara, tetapi akan lebih berdaya guna bila dimanfaatkan untuk mengisinya dengan hal-hal yang bernuansa ibadah/spritual. Orang itu mungkin dapat pergi ke suatu tempat yang jauh dari keramaian untuk merenung.ber-tafakkur atas alam ciptaan Allah yang sangat luas, sembari mengisinya dengan berbagai ritual, sebagai bentuk lahiri dari dedikasinya pada Tuhan. Hal ini menurut penulis sangat penting untuk direnungkan sehingga di era global yang bercirikan pesatnya kemajuan dan modernisasi dapat diimbangi dengan spirituality enlightenment oleh para pelakunya. Terakhir perlu diketengahkan bahwa dengan beruzlah seseorang akan mendapatkan the flash of mind—meminjam istilah cak Nur[24]—yaitu suatu fantasi yang memuat berbagai signal atau ayat yang membutuhkan analilsa semiosis dan sosialisasi lebih lanjut, di samping juga dapat berarti sebagai hijrah dari kehidupan sosial untuk menyusus strategi baru dalam menanggulangi kenestapaan dan kecerobohan masa lalu.[25] Ingatlah bahwa merenung sejenak lebih baik dan bermanfaat dari beribadah selama satu tahun. Al-tafakkuru sa’ah khair min ‘ibadah sanah.

D. Kritik terhadap Amalan Uzlah

Sebagian ulama di antaranya Sa’id bin al-Musayyab, al-Sya’bi, Hisyam bin ‘Urwah, Syuraik bin Abdillah, dll, berpendapat bahwa amalan uzlah tidaklah sesuai dengan ajaran Islam. Menurut mereka Islam menginginkan pemeluknya bersosialisasi dan berbuat sebaik-baiknya pada saudara mereka yang lain, sebagaimana yang ditegaskan hadist Rasulullah SAW “sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (khair al-nas anfa’uhum li al-nas).

Implementasi dari hadist-hadist yang menegaskan tentang ketinggian (‘uluw) akhlak seseorang pastilah hanya dapat diciptakan dari proses pembauran dengan masyarakat luas. Kelembutan dan akhlak yang baik mensyaratkan pembauran dengan masyarakat bukan dengan menjauhi ataupun mengasingkan diri dari mereka. Pada suatu kali Rasulullah SAW berkata pada Abu Hurairah, “Hai Abu Hurairah hendaklah engkau berakhlak mulia!, Abu Hurairah balik bertanya apakah yang dimaksud dengan akhlak mulia ya Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “perbaikilah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, maafkan orang yang berbuat zalim padamu, dan berbuat baiklah pada mereka meskipun ia jahat padamu”. Ini adalah salah satu hadist yang mengatakan bahwa untuk berbuat baik kepada sesama makhluk mestilah dengan hidup bersama mereka. Dalam arti tidaklah mungkin seseorang akan dapat berbuat baik pada sesama manusia sedangkan ia sendiri hidup terpisah jauh dari mereka.

Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin dan Abu Qudamah dalam Mukhtasar Minhaj al-Qashidin[26] mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek negatif dalam beruzlah, di antaranya adalah :

Orang yang beruzlah secara tidak langsung tidak dapat terlibat dalam proses belajar-mengajar. Orang yang telah mempelajari ilmu-ilmu yang fardlu lalu tidak lagi melihat banyak manfaat untuk menggali ilmu-ilmu yang lain, dan berkeinginan untuk melakukan ibadah, maka diperbolehkan untuk beruzlah. Tetapi bagi yang belum memilikinya dan ia memilih untuk beruzlah, maka itu merupakan kesalahan dan kekeliruan yang sangat besar. Sangat disayangkan orang-orang yang berilmu tetapi memilih jalur hidup dengan beruzlah. Seorang alim mengatakan orang itu samalah artinya dengan orang yang menolak air minum yang segar, lalu hanya memakan dahan-dahan kering hingga bersua dengan Allah. Sedangkan dengan hidup bermasyarakat seraya mengajarkan ilmunya pada orang lain—selagi niatnya benar—merupakan pahala yang sangat besar. Tetapi apabila niatnya untuk mendapatkan kedudukan terpandang dan agar muridnya dikatakan banyak, maka hal ini justru akan merusak agamanya.

Orang yang melakukan uzlah tidak dapat mengambil dan memberi manfaat pada orang lain, baik dari segi usaha (kasab) ataupun hasil dari proses interaksi sosial,[27] sedangkan pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial yang mempunyai hak dan kewajiban pada manusia lain. Memberi manfaat dapat dilakukan dengan bantuan tenaga, harta, dll, dalam batasan-batasan norma syariat. Orang yang mampu melakukannya—tanpa khawatir akan terpengaruh apabila akhlak penduduknya bejat—maka hal tersebut adalah lebih baik diamalkannya dari beruzlah.

Orang yang melakukan uzlah tidak dapat melatih diri sendiri dan membimbing orang lain. Melatih diri sendiri maksudnya adalah melatih diri menghadapi kekerasan sifat manusia, sabar menghadapi gangguan mereka, dapat menata jiwa dan menundukkan hawa nafsu. Tipe atau karakteristik setiap orang itu berbeda-beda maka untuk menghadapi mereka dibutuhkan pembiasaan dari seorang alim sehingga ketika dibutuhkan ia dapat meluruskan dengan baik dalam tempo yang singkat. Jadi bagi orang yang begitu terlatih diharapkan untuk meninggalkan dahulu amalan uzlah.

Melatih diri seperti bertujuan agar dapat nantinya mengarahkan ataupun membimbing masyarakat ke jalan yang lebih baik dan sempurna. Karena apalah artinya orang yang dirinya telah matang tetapi tidak mengaktualisasikan kematangannya pada orang lain. Menurut ibn Qudamah orang yang begitu sama artinya dengan seorang yang telah menghabiskan waktunya untuk belajar menaiki kuda namun tidak menaiki/menunggangi kuda tersebut.

Ber-mukhalatah/bergaul dengan akan masyarakat akan memberikan banyak peluang untuk memperoleh pahala dan membuat orang lain juga berpahala. Sebagai contoh adalah mengunjungi orang sakit, melayat jenazah, mendatangi undangan, dll, terdapat pahala yaitu menyenangkan/menghibur hati orang mukmin yang tertimba musibah. Sedangkan yang kedua seperti membukakan pintu rumah untuk kedatangan orang lain yang ingin mengunjungi orang sakit, melayat jenazah, mendatangi undangan, dll, juga merupakan pahala bagi tuan rumah. Dengan masing-masing pekerjaan di atas, kedua belah pihak—yaitu yang didatangi dan yang mendatangi—sama-sama memperoleh pahala.

Apalagi bila orang tersebut merupakan seorang ulama besar, maka kehadirannya merupakan kebutuhan bagi masyarakat daerah tersebut.[28] Dengan membuka pintu rumah lebar-lebar, terbukalah peluang dan kesempatan bagi penduduk untuk bertanya tentang berbagai permasalahan.

Dalam proses kehidupan jelas di sana-ini akan muncul berbagai problema dan persoalan yang ketika permasalahan tersebut tidak dapat dituntaskan oleh masyarakat luas, mereka membutuhkan seorang alim (berpengetahuan) untuk memecahkannya. Sulit dibayangkan bila terjadi suatu perselisihan—yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat luas—sedangkan di daerah itu tidak ada seorang alimpun yang dapat menuntaskannya, atau mungkin ada, tetapi ia sedang beruzlah, pergi mengasingkan diri ke tempat yang jauh.[29] Dengan demikian bagi seorang alim yang ingin beruzlah hendaklah ia mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu mana yang lebih positif baginya untuk tetap dalam masyarakat atau pergi beruzlah.

Tawadhu’. Sifat ini tidak akan bisa terwujud jika seseorang sedang melakukan uzlah.menyendiri. Tetapi sebenarnya boleh juga ia melakukan uzlah dengan catatan ia mempunyai pikiran bahwa apabila ia tidak beruzlah maka akan muncul sifat sombong dalam pergaulannya dengan manusia. Jadi sangat tepat apabila seseorang beruzlah/mengasingkan diri dari orang lain dengan maksud agar dalam pengasingan orang akan berbondong-bondong mendatangi dan menghormatinya. Ini merupakan sifat yang dicela oleh agama.

Ada juga sebahagian ulama yang mencela amalan uzlah dengan berlandaskan pada ayat-ayat al-Quran seperti :

Artinya: “…. Maka Allah mempersatukan hatimu…..” (QS. Ali Imran: 103)

Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…” (QS. Ali Imran: 105)[30]

Ataupun hadist Nabi SAW seperti :

Terhadap ayat al-Quran dan hadist Nabi SAW yang dijadikan dasar penolakan mereka atas amalan uzlah, ditolak secara tegas oleh al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Menurut al-Ghazali terhadap ayat yang pertama yang dimaksud dengan perpecahan disana adalah berpecah belah pendapat dan berselisih aliran tentang kitab Allah. Sedangkan untuk ayat yang kedua yang dimaksud dengan persatuan hati adalah mencabut hal-hal yang berbahaya dari dalam dada yang pada akhirnya akan menimbulkan permusuhan dan fitnah. Sedangkan uzlah tidak memaksudkan hal yang demikian.

Sedangkan mengenai hadist Nabi SAW, untuk yang pertama al-Ghazali mengatakan bahwa hadist tersebut menunjukkan pada tercelanya keburukan akhlak, yang tercegah dengan sebab buruk itu, jinak-berjinakan hati. Dan tidaklah termasuk di dalamnya orang yang berakhlak mulia, dimana kalau ia bergaul, niscaya berjinak menjinakkan hati. Tetapi ia meninggalkan pergaulan (mukhalatah) itu, karena mengurus diri dan mencari keselamatan dari gangguan orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hadist kedua adalah orang yang keluar dari kesepakatan jamaan yang telah menyepakati seorang imam dengan mengikrarkan bai’at. Maka keluar dari kesepakatan itu adalah melawan imam, dan menyalahi pendapat orang banyak. Lebih lanjut lagi al-Ghazali mengatakan bahwa hadist itu tidak ada sangkut pautnya dengan uzlah. [31]

Demikianlah berbagai pandangan serta kritikan atas amalan uzlah, yang apabila diperhatikan secara seksama seluruh kritik yang diberikan tersebut pada prinsipnya tidaklah mencegah ataupun mengutuk orang-orang yang berketetapan hati untuk melakukannya. Yang dikritika adalah orang-orang yang terlalu berlebihan melaksanakannya, sehingga ia lupa pada tanggung jawabnya di tengah-tengah masyarakat. Abu Nashr al-Sarradj dengan tegas mengatakan bahwa ia sangat kecewa terhadap orang-orang yang ghalath (berlebih-lebihan) dalam beruzlah. Mereka—kata al-Sarradj—mengira bahwa dengan mengasingkan diri di gua-gua (dalam waktu yang lama) dengan tujuan untuk menjauhi manusia, selamat dari pengaruh hawa nafsu, ataupun untuk lebih mendekatkan diri pada Allah seperti lazimnya pada waliullah, tanpa terlebih dahulu mengetahui batasan-batasan ataupun hal-hal yang mesti dimiliki sebelum mengerjakannya, merupakan suatu hal yang berlebihan. (ghalath).[32] Karena para wali yang beruzlah itu sudah dapat memberikan batasan waktu terhadap amalan uzlah yang dilakukannya. Sehingga ketika batasan waktu yang telah ditentukan itu datang, merekapun kembali ke masyarakat. Di samping itu, para wali tersebut telah terlebih dahulu mengisi diri mereka dengan berbagai pengetahuan sebelum mengamalkan uzlah, hal ini sangat perlu diperhatikan karena dalam beruzlah sering terjadi gangguan-gangguan[33] yang apabila seseorang tidak bisa mengatasi, akibatnya sangat berbahaya bagi keimanannya.

Mereka yang mengkritik uzlah yang berlebihan (ghalath) berpendapat bahwa setiap pribadi muslim di samping bertanggung jawab pada dirinya juga diharapkan mampu berkiprah dan mempunyai andil atas kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan saudaranya sesama muslim. Imam Syafi’i rahimahullah dengan sangat lentang mengatakan bahwa, “Pengisolasian diri dari manusia bisa menimbulkan permusuhan, sedangkan membuka diri pada mereka bisa mendatangkan keburukan. Karena itu tempatlah dirimu di antara keduanya. Siapa yang mencari alternatif selain ini, maka ia adalah orang yang tidak tepat, yang hanya mau tahu dengan dirinya dan tidak mau tahu dengan permasalahan yang menimpa orang lain.[34]



DAFTAR PUSTAKA

Addas, Claude, Quest for the Red Sulphur, the Live of ibn Arabi, London: Cambridge, 1993

Al-Busti, ibn Hatim, Raudhat al-‘Uqala’ wa Nuzhat al-Fudhala’, Kairo: Dar al-kutub al-Ilmiyyah, tt
 
Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ‘Ulumiddin, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, Juz II.
 
Al-Habsyi, Husin. Kamus al-Kautsar. Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1999
 
Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983
 
Al-Makki, Sayyid Abu Bakar, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asyfiya’, Damaskus: Dar ibn Katsir, 1995
 
Al-Manzhur, Abu al-Fadhl Muhammad Ikram ibn, Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-Shadr, 1994, Jilid XI
 
Al-Qurthubi, al-Imam Abu Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abd al-Bar al-Namiri, tahqiq Muhammad Yusa al-Khauli. Bahjat al-Majalis wa Uns al-Mujalis wa Syahz al-Zahin wa al-Hajis. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt
 
Al-Sakandari, ibn Athaillah, Sufi Aphorism (Kitab al-Hikam). London: EJ. Brill, 1984
 
Al-Zabidi, Alamah Muhammad bin Muhammad, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin. Beirut: Dar al- Fikr, tt, Juz IV
 
Darraz, Muhammad Abdullah, Dustur al-Akhlaq fi al-Quran. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991
 
Hikam, Muhammad AS, Dari Hijrah Politik ke Hijrah Agama, Makalah diseminarkan pada seminar bulanan Paramadina, Jakarta: Hotel Regent Internasional, 1999
 
Ibn Qudamah. 1989. Mukhtashar Minhaj al-Abidin. Dar al-Fikr: Beirut
 
Madjid, Nurcholish, Dari Hijrah Politik ke Hijrah Agama. Seminar Bulanan Paramadina, Jakarta: Hotel Regent Internasional, 1999
 
Majduddin bin Muhammad bin Ya’cub, al-Qamus al-Muhith, Beirut: Dar al-Fikr, 1995
 
Muhayyadin, Muhammad Rahim,. Islam and the World Peace: Explanatian of the Sufi. Philadelphia: The Fellowship Press, 1987
 
Nasr, Seyyed Hosen, Man and Nature: The Spritual of Crisis Man. London: Mandala Book-George Allen and Unwin ltd, 1997
 
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
 
Wali, Muhibuddin, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf, Singapura: Jurong Town Kyodo Printing, tt
 
 ____________
 
[1] Husin al-Habsyi. 1999. Kamus al-Kautsar. Yayasan Pesantren Islam: Bangil. hal. 252
[2] Abu al-Fadhl Muhammad Ikram ibn al-Manzur. 1994. Lisan al-Arab. Dar al-Shadr: Beirut. Jilid XI. hal. 440. Lihat juga Majduddin bin Muhammad bin Ya’cub. 1995. al-Qamus al-Muhith. Dar al-Fikr: Beirut. hal. 928
[3] Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani. 1983. Kitab al-Ta’rifat. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut. hal. 150
[4] Muhammad Abdullah Darraz. 1991. Dustur al-Akhlaq fi al-Quran. Muassasah al-Risalah: Beirut. hal. 647—9
[5] Claude Addas. 1993. Quest for the Red Sulphur, the Live of ibn Arabi. Cambridge: London. hal. 36
[6] ibn Athaillah al-Sakandari. 1984. Sufi Aphorism (Kitab al-Hikam). EJ. Brill: London. hal 25
[7] Imam al-Ghazali. tt. Ihya’ ‘Ulumiddin. Juz II. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi. hal. 226
[8] Alamah Muhammad bin Muhammad al-Zabidi. tt. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin. Juz IV. Dar al-Fikr: Beirut. hal. 341
[9] Menurut ibn Qudamah pada suatu kesempatan Uwais al-Qarni RA berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang dapat mengenal Rabnya, selama ia lebih banyak bersama dengan selain-Nya. Ibn Qudamah. 1989. Mukhtashar Minhaj al-Abidin. Dar al-Fikr: Beirut. hal. 135
[10] Muhibuddin Wali. tt. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf. Jurong Town Kyodo Printing: Singapura. hal. 61
[11] ibn Qudamah. op.cit., hal. 136
[12] ibn Athaillah. op.cit., hal. 131
[13] Imam al-Ghazali. op.cit., hal. 227
[14] Lihat al-Quran surat al-Thien 1—8
[15] Imam al-Ghazali. op.cit., hal. 233
[16] Imam al-Ghazali. op.cit., hal. 235
[17] ibn Athaillah. op.cit., hal. 37
[18] Seyyed Hosen Nasr. 1997. Man and Nature: The Spritual of Crisis Man. Mandala Book-George Allen and Unwin ltd: London. hal. 21—2
[19]Bandingkan dengan Muhammad Rahim Muhayyadin. 1987. Islam and the World Peace: Explanatian of the Sufi. The Fellowship Press: Philadelphia. hal. 55
[20] Ibn Hatim al-Busti mengatakan bahwa lemahnya pengetahuan seseorang tentang agama berakibat pada sulitnya ia menjaga diri dari efek-efek negatif pergaulan. Maka dari itulah ia sangat menganjurkan kepada orang-orang dalam kategori tersebut untuk beruzlah, agar ketika telah measa mampu ia dapat kembali dan berkiprah dalam masyarakat. Lihat ibn Hatim al-Busti. tt. Raudhat al-‘Uqala’ wa Nuzhat al-Fudhala’. Dar al-kutub al-Ilmiyyah: Kairo. hal. 82—83
[21]al-Imam Abu Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abd al-Bar al-Namiri al-Qurthubi. Tt. tahqiq Muhammad Yusa al-Khauli. Bahjat al-Majalis wa Uns al-Mujalis wa Syahz al-Zahin wa al-Hajis. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut. hal. 678
[22] Bandingkan dengan ibn Athaillah. op.cit., hal. 22
[23] Harun Nasution. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang: Jakarta. hal. 50
[24] Nurkholish Madjid. 1999. Dari Hijrah Politik ke Hijrah Agama. Seminar Bulanan Paramadina. Hotel Regent Internasional: Jakarta. hal 2
[25] Semiosis berati pemahaman terhadap hal ataupun kejadia yang dianggap sebagai lambing sehingga dapat dipahami secara metafor dan reflektif. Muhammad AS Hikam. 1999. Dari Hijrah Politik ke Hijrah Agama. Makalah diseminarkan pada seminar bulanan Paramadina. Hotel Regent Internasional: Jakarta. hal. 3
[26] Abu Qudamah. op.cit., hal. 139—141
[27] Sayyid Abu Bakar al-Makki. 1995. Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asyfiya’. Dar ibn Katsir: Damaskus. hal. 59. ibn Qudamah. op.cit., hal. 140. Imam al-Ghazali. op.cit., hal. 154
[28] Sayyid Bakar al-Makki. ibid., hal. 55
[29] Bandingkan dengan Abu Hatim al-Busti. op.cit., hal. 83
[30] Bandingkan dengan al-Zabidi. op.cit., hal. 334—7
[31] Imam al-Ghazali. op.cit., hal 223—4
[32] Abu Bashr al-Sarradj. op.cit., hal. 527—8
[33] Gangguan-gangguan ini bisa berbentuk perasaan was-was (whisperer), didatangi oleh makhluk-makhluk halus, bisikan-bisikan setan, dan lain sebagainya.
[34] Ibn Qudamah. op.cit., hal. 141


***** END *****
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda