Dalam Manaqibnya diceritakan saat al-Syeik
‘Abd al-Qadir al-Jailani tenggelam dalam mujahadahnya kepada Tuhan,
tiba-tiba muncul sinar cemerlang yang memenuhi cakrawala penglihatan.
Sinar tersebut berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Tuhanmu,
setelah beribadah selama puluhan tahun, maka amalmu sangat banyak
sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakan antara bumi dan
langit, dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh
karenanya, mulai sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak
perlu beribadah lagi kepadaku, karena telah cukup amalmu”.
Mendengar perintah sinar yang mengaku Tuhan seperti itu, Abd al-Qadir
berfikir sejenak, benarkah ini wahyu Tuhan khusus kepadaku, benarkah
Tuhan memberiku keistimewaan untuk tidak menjalankan perintahNya? Abd
al-Qadir sempat ragu, antara meyakini suara Agung nan cemerlang tersebut
atau menolaknya. Hatinya yang sedang dilingkupi keterharuan,
kegembiraan karena “bertemu” Tuhan merasa menerima suara tersebut. Akan
tetapi akal rasionya tidak menerimanya, mana mungkin Tuhan mencabut
perintahNya untuk beribadah, mana mungkin ia mendapatkan keistimewaan
sudah cukup dalam beribadah, sementara Muhammad Sang Nabi sendiri masih
tetap diperintahkan beribadah hingga akhir hayat? Dalam
kebimbangan tersebut, Abd al-Qadir memutuskan untuk memilih akalnya, ia
segera ambil terompahnya dan dilemparkan pada sinar agung yang bergulung
tersebut; “Pergi, engkau adalah syetan bukan Tuhan, Tuhan tidak mungkin membatalkan firmannya”. Seketika itu juga, sinar putih keperakan tersebut hilang, diiringi dengan suara yang menggema; “ Wahai
Abd al-Qadir, engkau selamat dari godaannku, ketauhilah, sudah ribuan
salik yang berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini. Engkau selamat
karena menggunakan akalmu, sedangkan para salik yang geblinger tersebut
karena mereka mengabaikan akalnya”.
Cerita
tersebut memberikan pelajaran berharga bahwa akal memainkan peran yang
sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Akal mampu menunjukan
kebenaran, dan mencerahkan hati di saat hati diliputi oleh kebimbangan
dan keraguan. Bukankah dalam teologi Mu’tazilah tentang konsep tahsin dan taqbih akal
memiliki kemampuan dasyat sehingga dapat menentukan baik dan buruknya
sesuatu? Dalam cerita Abdul Qadir tersebut, akal berfungsi sebagai
hidayah Tuhan yang menyelamatkan Abdul Qadir dari tipu daya syetan.
Sedemikian pentingnya fungsi akal dalam beragama, sampai Nabi pernah
mengatakan dalam sabdanya; al-din aql, la dina liman la aqla lah (Agama adalah manifestasi akal, maka tidak dianggap beragama bagi orang yang tidak berakal).
Namun
demikian, meskipun akal mampu menyelamatkan manusia dari kejahatan
syetan, mampu “mewakili” Tuhan sebagai petunjuk bagi manusia dalam
memilah antara kebaikan dan keburukan, ia tidak lantas sempurna tanpa
kekurangan, sebab jika sempurna tanpa cacat, maka cukuplah Tuhan
menurunkan akal sebagai pengganti Nabi dan syariat, sehingga yang ada
adalah “agama aqliyyah” dan “Nabi Aqil”. Ada sesuatu yang
meta-rasional yang terkadang akal tidak mampu menjangkaunya. Terlebih
dari itu, seseorang yang berfikir rasionalis murni terkadang terjebak
dengan subyektivisme dan apriori. Dalam kontek inilah, maka menjadi
benar kritik Imanuel Kant terhadap otentisitas akal murni (pure reason) dalam kemampuannya menentukan suatu etika (baik dan buruk). Menurut Kant, akal murni (pure reason)
terlalu subyektif untuk menentukan baik buruk suatu perbuatan (etika),
sehingga kepentingan menjadi ikut tercampur di sana. Terlebih lagi, ada
suatu hokum dunia “Noumenal” yang tidak mampu ditembus oleh akal murni.
Selanjutnya Kant mengusulkan bukan menggunakan akal murni (pure reasion)
tetapi menggunakan akal transcendental, yang dalam bahasa santrinya
adalah “akal ilahiyah” atau “rasio ladunni” atau “burhani-irfani”.
Berkaitan dengan hidayah Tuhan dalam memilih dan memilah putusan, maka Ibn Katrir membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama,
hidayah naluri, yaitu petunjuka tuhan yang diberikan pada manusia dan
binatang, seperti rasa lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya.
Hidayah ini menempati hidayah paling bawah. Kedua, hidayah hawassi,
yaitu petunjuka Tuhan melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat,
mendengar, membau, dan mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan
manusia. Dengan hidayah hawassi ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu
empirik. Ketiga, hidayah akal, yaitu petunjuk tuhan yang
diberikan kepada manusia melalui perantara akal. Akal hanya dberikan
kepada manusia, tidak kepada hewan. Dalam istilah filsafat, maka
ilmu-ilmu yang dilahirkan adalah bersifat rasional dan dalam istilah
epetimologi Islam disebut dengan burhani. Keempat,
hidayah ilham, yaitu petunjuka Tuhan yang diberikan kepada manusia
dengan melalui perantara ilham atau kebeningan hati, yang dalam istilah
epistemology filsafat Islam dengan irfani. Kelima,
hidayah taufiq, yaitu petunjuka Tuhan paling besar untuk menggerakan
hati hambaNya untuk memeluk Islam. Hidayah yang kelima ini merupakan
petunjuk Tuhan terbesar, yang langsung masuk dalam relung hati seseorang guna mengucapkan kalimah syahadah.
Berdasarkan
beberapa macam petunjuk Tuhan tersebut, maka disamping pentingnya akal
dalam menemukan suatu kebenaran, juga diperlukan ilham yang didapatkan
melalui kebeningan hati. Artinya, ketajaman akal harus diimbangi dengan
kecerdasan hati dalam menentukan sesuatu. Keduanya harus terus
berdialog, tanpa putus, dan selalu dalam hidup ini. Hal ini karena jika
salah satunya berhenti berdialog atau tidak berfungsi, maka yang terjadi
adalah ketersesatan hati, dan keblingeran akal. Dalam epistemology
Islam yang digagas oleh al-Jabiri, maka semangat burhani yang rasional harus dikawinkan dengan semangat irfani
yang suci. Jika keduanya, yaitu akal dan hati dapat digabungkan, maka
akan lahirlah Sang Syuhrawardi dan Ibn Arabi kontemporer dalam dunia
ini, yaitu seseorang yang berfikir rasional, menjadi filosof, namun juga
seorang sufi, yang menciptakan kebeningan hati, seseorang yang
pikirannya seluas cakrawala, dan hatinya sejembar samudra, fikirannya
mampu mengembara sampai bintang tsurayya, dan hatinya tertancap di bumi
menggenggam mutiara.
Wallahu a’lam bisshawab