Karisma seseorang, ternyata lebih mudah
tumbuh dari ruang kebersahajaan. Kesederhanaan itulah yang mengantarkan
kebesaran sosok kyai Abdullah Faqih – pengasuh pondok pesantren
Langitan, hingga namanya cukup disegani banyak orang.
Meskipun tak sedikit tokoh di negeri ini
yang sowan kepadanya, namun dirinya merasa cukup dengan rumah
kesederhanaan; sebuah tempat tinggal yang tak cukup besar, dengan
dinding-dindingnya yang terbikin dari papan, serta lantai rumah dari
tegel biasa dan meja kursi yang seadanya.
Kiranya sejak kecil Ketua Majlis
Masayikh Pondok Langitan ini terbiasa hidup di tempat sederhana semacam
itu. Masa kanaknya dihabiskan di lingkungan Pondok Langitan sendiri.
Bersama saudara-saudara dan sepupunya, dia belajar mengaji kepada
ayahandanya sendiri Kyai Abdul Hadi.
Namun ketika saudara-saudara dan
sepupunya melanjutkan belajar ke bangku sekolah, ayahandanya justru
melarangnya untuk bersekolah. Bahkan untuk mengikuti kursus-kursus pun
tak diperbolehkannya. Pasalnya, sang ayahanda rupanya lebih menghendaki
agar dirinya kelak yang memangku pondok pesantren. “Kamu cukup mengaji
saja. Sebab kalau sekolah, kamu mesti akan pula meninggalkan pondok.
Padahal jika pesantren itu sudah ditumbuhi ilalang, akan sulit sekali
merawatnya. Ia akan menjadi sepi santri dan ditumbuhi semak belukar,”
kisahnya menirukan ucapan Kyai Abdul Hadi. “Wejangan itu akhirnya
membuat saya sadar dan dengan rela menerimanya secara tulus,” tukasnya
menambahkan.
Mbahmu dulu, demikian lanjut lelaki
kelahiran 1932 ini menirukan tuturan ayahandanya, sangat khawatir kalau
pesantren ini nanti nggak ada yang melanjutkannya. Sebab ini
merupakan amanah yang mereka tinggalkan. “Makanya kamu ngaji saja yang
sungguh-sungguh dan nggak usah macam-macam,” ceritanya sambil
menerawang ke masa silam.
Berkat ketekunannya belajar, dalam usia
15 tahun sudah bisa menguasai beberapa kitab kuning. Di saat itulah
Kyai Faqih mulai belajar mengajar para santri. Dirinya sebenarnya
ingin nyantri di pondok lain, tetapi Kyai Abdul Hadi tetap melarang
lantaran ilmunya dirasa belum cukup. Kelak jika sudah bisa
menguasai banyak referensi kitab kuning, barulah diperbolehkan
belajar di pondok lain.
Pada tahun 1950-an, dirinya terpaksa
nekat untuk pergi ke pondok pesantren Lasem Jawa Tengah. Itu pun
dilakukan dengan tanpa pamitan orang tuanya. Karuan saja keluarganya
saling mencari-cari kemana dirinya hendak bepergian. Ketika sampai di
pondok Lasem, ternyata di sana masih sepi santri. Melihat tempatnya yang
masih berantakan, Kyai Faqih merasa tak kerasan. “Tetapi mau pulang
juga tak mungkin. Saya merasa malu karena perginya tanpa pamitan
dulu,” tuturnya tersipu.
Selang beberapa waktu, dirinya pun
nyatanya betah juga tinggal di tempat tersebut. Selain nyantri pada
Mbah Kyai Maksum (ayahanda Kyai Ali maksum Krapyak Yogyakarta),
dirinya juga berguru kepada Syeckh Masduqi yang lama tinggal di Mekkah,
Kyai baidlowi (ayah dari kyai Hamid Baidlowi) dan juga kepada Kyai
Mansur.
Kian waktu Kyai Faqih semakin bertambah
kerasan saja. Apalagi Mbah Kyai Maksum tampaknya agak
mengistimewakannya. Ketika bepergian ke mana-mana dirinya seringkali
diajaknya. Kasih sayangnya hampir menyamai dengan kasih sayang yang
diberikan kepada putranya sendiri.
Itulah alasannya, kenapa ketika mendapat
surat dari keluarga Langitan, dirinya tak pernah membacanya – bahkan
langsung membakar surat tersebut. Selama sembilan bulan dirinya sama
sekali tak pernah membaca surat dari orang tuanya. Sebab dirinya
khawatir, setelah membacanya nanti malah akan mengganggu konsentrasi
ngajinya sehingga menjadi tak tenang. “Ketika banjir memporakporandakan
kampung halaman saya, sama sekali saya tak mengetahuinya.” kisahnya.
Selama dua tahun setengah Kyai Faqih
menjalani kehidupan di Pondok Lasem. Setelah pulang ke rumah halaman,
dirinya justru merasa tak kerasan. Itulah yang mendorongnya untuk
berangkat nyantri ke Pondok Senori Tuban. Di sini dirinya diasuh
langsung oleh Kyai Abu Fadhol yang telah banyak mengarang kitab kuning.
Selepas dari Tuban, Kyai Abdullah Faqih
pulang dan mendirikan madrasah formal bersama pamannya Kyai Ahmad
Marzuki. Bagi santri yang tamat madrasah enam tahun ini, mereka harus
menguasai kitab kuning dan hafal Alfiyah. Melihat lulusannya yang cukup
menggembirakan, lalu didirikanlah lanjutannya berupa sekolah Mu’allimin
3 tahun.
Secara pribadi, sebenarnya dirinya masih
ingin nyantri kembali ke pondok lain. Namun lantaran kesibukan di pondok
Langitan sendiri semakin meluas, terpaksa harus mengurungkan niatan
tersebut. Lebih-lebih setelah Kyai Marzuki pergi ke tanah suci di tahun
tahun 1953, sehingga Kyai Faqih menggantikan sepenuhnya tugas-tugas
beliau. Untuk menuruti keinginannya itu, setiap tahunnya dirinya selalu
pergi “ngaji bulanan” ke beberapa Kyai Sepuh di tanah Jawa ini.
Dalam mengelola pondok pesantren, Kyai
Faqih senantiasa berpegang pada wejangan kyai-kyai sepuh yang telah
turut membimbingnya. Seperti wejangan dari Mbah Kyai Maksum sendiri,
agar orang itu jangan sampai nggak mengajar. Sementara dari kakeknya
Kyai Khozin, selalu menekankan agar dalam mengajar suatu kitab itu
jangan sampai nggak selesai. Jumlah yang ngaji anak berapa pun harus
tetap diajarnya secara sungguh-sungguh. “Amanat tersebut saya pegang
secara erat-erat.,” ujarnya singkat.
Ayahandanya sendiri pernah mencontohkan
bagaimana memegang amanat tersebut. Pada zaman agresi Belanda, santri
pondok Langitan pernah bubar sama sekali. Tak satupun santri yang
berani tetap tinggal di sana. Dalam kondisi semacam itu, Kyai Abdul
Hadi tetap melanjutkan ngajinya. Tak pernah sama sekali meliburkan
pengajian yang ada. “Padahal waktu itu yang ngaji ya.. cuma saya
bersama dengan sepupu saya saja. Dan kalau malam terpaksa memakai
lampu oblek, karena situasi peperangan yang mencekam,” katanya.
Ayahandanya juga menfatwakan, bahwa
dalam mem perjuangkan agama itu yang penting mengembangkan ilmu
agama. Pengetahuan lainnya juga perlu dicari, tetapi cukup hanya
sedikit-sedikit saja. Sebab yang perlu untuk menghidupkan agama itu,
nggak ada lain kecuali ilmu agama. Tidak bisa agama itu dikembangkan
melalui jalan selain ilmu. “Motor itu nggak bisa jalan kalau tak
diisi bensin terlebih dahulu. Nah, jika ada motor yang bisa jalan
padahal nggak ada bensinnya, berarti motor tersebut didorong,” katanya
memisalkan.
Seperti pada zaman Gestapu dulu. Banyak
sekali orang yang melakukan shalat, tetapi mereka tak berilmu.
Sehingga ketika keadaan sudah tenang dan aman, mereka lantas
berhenti dan kembali lagi pada perbuatannya semula. Berangkat dari
dasar ilmu itulah, sehingga santri-santri yang sudah mumpuni
pengetahuan agamanya disebar ke berbagai pelosok desa untuk
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat secara luas.
Lain lagi yang diwejangkan oleh Kyai Abu
Fadlol – yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Dlol Senori. Beliau
mensyaratkan agar semua ilmu yang diperolehnya itu, bisa dibuktikan
lewat perbuatan nyata. Maka seorang Kyai tidak semata-mata mengajar
saja, melainkan pula harus bekerja mencarai nafkah. “Jangan sampai
mengajar itu dianggap sebagai lahan pekerjaan. Mengajar ya… mengajar,
semata-mata hanyalah untuk memperjuangkan agama. Sedangkan
bekerja itu merupakan modal bagi perjuangan tersebut,” jelasnya.
“Gerakkan tanganmu, maka akan Aku turunkan rezki kepadamu,” tambahnya
menyitir sebuah Hadits Qudsi.
Itulah yang membuat Kyai Faqih tak
segan-segan turun sendiri ngurusi sawah dan kebun. Terkadang pula
terlihat dirinya ngurusi toko dan urusan bisnis lainnya. Di samping hal
itu sebagai penuaian kewajiban bahwa setiap orang harus bekerja,
sekaligus buat contoh santri dan masyarakat sekitar bahwa seorang Kyai
itu memang harus bekerja. “Kalau seluruh waktunya hanya dihabiskan
untuk mengajar dan mengajar saja, nanti dikira masyarakat seorang kyai
itu sudah tak mengurusi urusan-urusan duniawiyah lagi,” katanya sambil
mengulum senyum.
Saat ditanya seputar bencana yang terus
menerus menimpa bangsa ini, Kyai Abdullah Faqih mewasiatkan agar setiap
orang di negeri ini segera melakukan tobat massal. Tetapi hal itu tak
perlu dilakukan secara ramai-ramai. Lakukanlah berzikir sendiri-sendiri
dengan memperbanyak bacaan istighfar.
Jika setiap orang mau mengakui
dosa-dosanya dengan memperbanyak beristighfar, insya Allah negeri ini
akan aman sentosa. Seperti yang tertera dalam al-Qur’an, bahwa Allah
tidak akan menimpakan azab bagi suatu kaum, selama kaum tersebut mau
melakukan istigfar.
Setiap bencana, menurut Kyai Faqih,
mengandung dua maksud; sebagai peringatan atau untuk peningkatan
derajat. Sementara musibah beruntun yang menimpa bangsa ini, kita
perlu merenungkan apakah untuk meningkatkan kualitas bangsa ataukah
karena banyaknya dosa-dosa yang dilakukan. “Kalau melihat lahiriahnya,
bangsa Indonesia itu sudah terlalu kebanyakan maksiat,” ucapnya
bernada pedih.
*****
selamat jalan kyai…… semoga tempatmu bersama orang-orang yang dimuliakan Allah SWT….amin
BalasHapus