KH. Abdul Hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak hanya
oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat
islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada
santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari
tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya
di masa muda.
“Kiai Hamid
dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber
Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H.
Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya
saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua
orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah.
Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu
Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga
santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya
adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember,
Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz
Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga
Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil
dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar
membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu
mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH.
Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan
Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun
kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi
wali dan ulama besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di
kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat
sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan
dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari
ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana.
Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,
Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang
pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama
kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan
desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain.
Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya
yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H.
Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu
telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum,
mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak
berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di
Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak
pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib
Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup
bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi
keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu
itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya
Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua
tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah.
Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga
muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang
begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke
Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang
amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula,
padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu
membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri
Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah
tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar
keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga
tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo
anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak
pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik
derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak
merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi
pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan
pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat
tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya
untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh,
meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga
memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa
kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka
menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang
diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan
dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab,
lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris,
yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah
amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang
ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren
tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu
tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka
salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang
santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para
santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan
pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi
jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid
sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu
yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir
kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya
setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian
selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi
juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota
Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya
al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa
baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang
ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur
deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok
ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum
ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah
yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi
mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang
serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi,
tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di
sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,”
katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah
orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha
melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali
Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi
(tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan
roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak
semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,”
pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar,
lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku
bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena
aku bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari
mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia
selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid
mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu.
Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain,
suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan
orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang
berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah,
sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi
undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus
surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang
dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang
karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang
ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat
memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari
motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat
pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat
melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab
sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial
mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga
paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada
Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang
mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga
ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat,
Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan
bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan
penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali
kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah
hadiah – berupa beras dan sarung – untuk tetangga dekat setiap tahun
tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti,
jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para
pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang
Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap
orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari
sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H.
M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, “Semua orang merasa paling
disayang oleh Kiai Hamid.” Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka
berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km.
untuk membangunkan orang-orang – biasanya anak-anak muda – yang tidur di
tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari
perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui
bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid
yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat
semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian
mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui
perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia
sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya.
“Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah,” desaknya kepada H. A.
Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa.
Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan
menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di
hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa
bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya,
setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp
200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan
rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula
orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya
saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid
yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan
biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu
menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla
di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk
itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi
wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam
mencari sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap
sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian
sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat
merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang
tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha
menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai
Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan
umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian
besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak
kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah
mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti
nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu’thi, lalu berganti
dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa
sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja.
“Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah),” katanya, seperti tidak ingin
mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam
Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam
Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf.
Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber
ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada
sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
*****