NU Online : Selepas Taraweh, aula Pesantren Raudhotut Tholibin, Rembang, Jawa
tengah, penuh. Ruangan-ruangan di sekitar aula juga dipadati para
santri, termasuk di emperan dekat kamar mandi. Sebagian santri duduk di
halaman pesantren beralaskan terpal atau sajadah. Serambi rumah almarhum
KH Cholil Bisri juga dipenuhi para santri.
Malam itu, para santri sedang pengikuti ‘Pasaran’, istilah di
pesantren untuk ngaji khusus di bulan Ramadhan. Mereka semua pegang
kitab. Al-Hikam namanya.
Peserta pengajian bukan saja santri yang sehari-hari ngaji di situ,
tapi juga orang umum yang datang dari luar pesantren, bahkan dari luar
kota. Mereka datang dengan sepeda motor, ada juga sepeda ontel.
Pengajian al-Hikam sangat istimewa. Para santri terlihat antusias
memperhatikan huruf demi huruf. Mereka ngesahi, menuliskan makna di
lembaran kitab berwarna kuning itu. Bahkan, dua orang santri yang sedang
jaga parkiran ikut membuka kitab.
Load speaker yang dipasang khusus selama bulan Puasa, membantu suara
sang pembaca al-Hikam, KH A. Musthofa Bisri atau Gus Mus (66 tahun),
terdengar jelas dari luar aula, bahkan hingga di jalan.
“Secara badani masih bisa makan lan sa’piturute. Sembayange yo ora
gotang, apa-apane yo ora gotang. Kok ujug-ujug pengen sibuk. La opo, kan
sudah cukup? Sebaliknya, dia bekerja, di pasar misalnya, tapi ketika di
pasar itu, dia tidak terganggu, sembayange ya ora terganggu, wiridane
ya jalan terus, pikirane tidak terganggu, apa-apane ora terganggu, lho
kok dandak kepengen melepas pekerjaannya di pasar. Sudahlah, aku lepas
semua pekerjaan ini, ben koyo wali-wali. Begini ini yang gak keno. Ngono
kui bodoh. Mergo menyalahi kersane Gusti Allah.
Kalau sedang leluasa, tidak boleh kepengen rupek. Kalau sedang rupek,
gak boleh kepengen leluasa. Ne pindah karepe dewek, ora ndue toto
kromo karo gusti allah, bodoh jenenge.
Orang itu ada waktunya masing-masing. Ne waktune lagi sinau yo sinau, ojo ngiyai. Engko ngrusak masyarakat.”
Demikian petikan-petikan yang dikemukakan Gus Mus dalam pengajian.
Meski al-Hikam tergolong kitab tua, suasana pengajian tampak hidup.
“allahumm sholi ‘alai,” begitu suara santri kompak ketika Gus Mus
menyebut nama Nabi Muhammad. Dan tak jarang para santri tertawa dengan
guyonan yang dilontarkan Gus Mus.
Al-Hikam Lintas Agama
Sebelum Gus Mus, al-hikam dibaca almarhum KH Cholil Bisri, kakak Gus
Mus, tiap bulan puasa. Di keluarga pesantren Raudhotut Tholibin,
al-Hikam tampaknya mendapat perhatian khusus. Almarhum Kiai Cholil,
selain ngaji al-Hikam bertahun-tahun, ia juga menerjemahkan, dalam
bahasa Indonesia. Adik Gus Mus, almarhum KH Adib Bisri juga
menerjemahkan, juga dalam bahasa Indonesia.
Almarhum KH Misbah Musthofa, paman dari Gus Mus yang tinggal di
Tuban-Jawa Timur, juga menerjemahkan al-Hikam dalam bahasa Jawa,
menulisnya dalam aksara Pego.
Karya Ibnu Athoillah as-Sakandari ini memangtelah menyebar luas di
seluruh dunia. Al-Hikam bahkan tidak saja dibaca umat Islam lintas
madzhab, tapi juga oleh kalangan di luar Islam.
“Al-Hikam itu ada di luar lintasan. Sehingga semua orang membacanya.
Orang yang perhatian pada dunia spiritualitas, pasti membacanya, pun
orang di luar Islam,” kata Gus Mus.
Gus Mus bercerita, Syekh Ahmad Zarrouk dari Pes Maroko, mensyarahi 30
versi al-Hikam. “Orang ini ke mana-mana bawa Hikam.” Katanya.
Di sela-sela kesibukan mengisi Pasaran, Gus Mus, yang juga Wakil Rais Aam PBNU, menerima NU Online di
kediamannya, kompleks pesantren Raudhotut Tholibin, Kamis (4/8).
Ditemani dua menantunya, Wahyu dan Rizal, Gus Mus menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan santai. Teh hangat, krupuk dan kurma ikut
menambah keakraban pertemuan yang berlangsung dari pukul 10.00-23.40
itu.
Apa pandangan Gus Mus tentang al-Hikam?
Menurut saya, al-Hikam ini kitab aporisma yang luar biasa, prosa yang
tak ada bandingannya. Kalimatnya padu antara satu dengan yang lainnya.
Kandungan maknanya luar biasa dalam. Tidak heran banyak orang yang suka,
baik yang di Timur ataupun yang di Barat.
Dari siapa Gus Mus mengenal al-Hikam?
Ketika di Mesir, guru tasawuf saya itu Syekh Abdul Halim Mahmud,
allah yarham. Belakangan setelah saya pulang, beliau jadi Syekh Azhar.
Beliau doktor dari Perancis. Konon beliau itu disepakati sebagai orang
teralim pada abad 20. Beliau pengamal thoriqoh syadziliyah.
Berapa kali ziarah ke Ibnu Atho’illah?
Terakhir bareng teman-teman itu, ada Nusron segala (Nusron Wahid, Ketua Umum PP GP Ansor NU, red.).
Ingin nerjemah juga, Gus?
Ya, saya punya juga. Ditambahi ulasan-ulasan. Tapi mandeg.
Kapan mulai membuka al-Hikam untuk umum?
Dulu yang ngaji di sini kakak saya, Kiai Cholil. Ketika beliau sakit,
saya disuruh neruskan. Sebelum ini ya baca untuk diri sendiri saja.
Saya dapat cerita, yang istimewa itu Mbah Dullah (KH Abdullah Salam,
Pati). Wiridan beliau itu ya Hikam. Saya pengen ngajji Hikam ke beliau
tapi ndak kesampaian. Istilahnya Mbah Dullah itu ya ngaji bareng.
Al-Hikam dikatakan sebagai kitab tua. Apa artinya, Gus?
Ya di sini kalau soal tasawuf itu disebut tua. Karena memang
tatarannya tua. Segala macam kitab, yang dikaji belakangan yo tasawuf.
Kenapa santri muda di sini ngaji al-Hikam?
Ya saya bebaskan saja untuk semua santri. Karena untuk ngalap berkah
saja. Kita ini ahlis sunnah kan percaya barokah. Karena jelas gak mudeng
mereka. Memang bicara tua. Isi al-Hikam memang diperuntukkan bagi yang
tua, para salikin, bukan orang awam. Salikin itu orang yang mau menuju
ke Allah. Kaya kita ini bingung semua.
Lha gimana, wong gak boleh minta pada Allah. Kiai-kiai, ustadz-ustadz
itu minta, berdoa pada Allah. Di al-Hikam, yang minta pada Allah itu
sama saja menuduh Allah yang bukan-bukan, menganggap Allah tidak tahu.
Jadi, gak dapat ilmunya ya dapat berkahnya. Apalagi orang-orang menyebut
Ibnu Atho’illah minal ‘arifin, ma’rifat. Ya wali lah kalau di sini. Gak
mungkin bukan wali bicara seperti itu. Nah, kalau wali kan mbarokai.
Apalagi beliau itu punya sanda ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan,
tidak comot sana comot sini, bukan dari orang-orang yang gak jelas.
Mengapa al-Hikam lintas madzahab, bahkan lintas agama?
Karena ada yang berpendapat mengatasi persoalan manusia ini cari
yang spiritualitasnya, jangan yang fiqihnya. Kalau sudah menggunakan
fiqih, banyak perbedaan, karena fiqih itu zdonni, menggunakan akal
pikiran, tidak bisa menghindar dari perbidaan pendapat orang tanya dulu,
iki madzhab opo?
Nah, al-Hikam itu spiritualitas. Kadang-kadang disebut ilmu tua,
karena dia di atas syari’ah. Kalau syari’ah tamat, ya naik. Kalau sudah
di atas, tidak bermadzhab lagi dia. Kalaua sudah tingkatan tasawuf ya
peduli, Maliki, Syafi’i sama semua. Wong sudah tidak melihat apa-apa,
kecuali Gusti Allah.
Apa yang penting dari al-Hikam?
Bahwa di al-Hikam itu diajarkan untuk tidak mengandalkan amal
perbuatan. Bukan untuk meninggalkan amal, tapi untuk tidak mengandalkan
amal. Di dalam tasawuf, yang begitu tidak hanya Hikam, Imam al-Ghozali
juga demikian. Yang diandalkan ya hanya Gusti Allah.
Al-hikam ini memberi informasi pada kita, istilah saya, ‘kaya dari
dalam’. Kaya itu menurut bahasa Arab, Ghoni. Ghoni itu asal maknanya
tidak butuh. Kebalikan dari faqir, butuh. Jadi setiap orang yang masih
butuh, itu faqir. Meskipun punya gedung banyak, mobil banyak, punya
istri banyak, tapi butuh, itu masih faqir. Sebaliknya, kalau orang ndak
punya apa-apa, dan tidak butuh apa-apa, itu orang kaya.
Konteksnya dengan al-Hikam apa, Gus?
Nah, al-Hikam berlawanan dengan definisi kaya yang umum, yang ‘kaya dari luar’ itu, bukan ‘kaya dari dalam’.
Menurut saya, ‘kaya dari dalam’ ini, seperti yang diajarkan dalam
al-Hikam, sekarang ini penting sekali. Sangat penting sebagai imbangan
arus umum, yang mementingkan ‘kaya dari luar’, yang ternyata sangat
menyusahkan sekarang ini. Semua orang ingin kaya dari luar itu.
Pada hakikatnya, kaya dari luar itu tidak ada. Sebab, orang masih
korupsi sekian milyar itu ya masih kurang. Kebutuhan-kebutuhan terus
berkembang, sehingga tidak pernah kaya.
Di mana titik temu Imam al-Ghozali dengan Syekh Ibnu Atho’illah?
Ya keduanya sama-sama mengajarkan kepasrahan pada Tuhan, sampai ke
Allah. Jadi dari sekian banyak ilmu yang dipelajari al-Ghozali itu, wa
akhiru da’wana, emmm… wa akhiru da’wahum, ya hanya ingin dekat pada
Allah saja. Sampai kepada Allah ini, macam-macam caranya. Ada ayng pakai
ilmu, pakai riadloh. Ada yang diam saja, tapi dipilih oleh Allah, Allah
menghendaki.
Perbedaannya di mana, Gus?
Imam al-Ghozali itu mempunyai kepedulian terhadap orang-orang yang
tidak di kelasnya. Maksud saya begini. Ada orang yang terlalu ke tasawuf
ada yang terlalu ke fiqih. Orang fiqih memandang orang tawuf itu
terlalu jauh. Orang tasawuf juga punya penilaian miring ada orang fiqih.
Nah, Imam al-Ghozali menjembatani dua macam orang ini. Sehingga orang
fiqih tidak merasa jauh dengan tasawuf, dan orang tasawuf, tidak merasa
jauh dengan fiqih. Sebelum ada al-Ghozali mereka bertentangan tajam
sekali mereka. Karena perkiraan orang fiqih ini, orang tasawuf ini
mengandalkan batin saja, tidak melakukan apa-apa. Sementara orang
tasawuf menganggap orang fiqih ini ngurusi kulit saja, isinya tidak.
Imam al-Ghozali menyatukan, isi dan kulit menjadi satu. Tidak boleh
dipisah-pisah. Karena itu Imam al-Ghozali bisa diterima orang banyak.
Sedangkan, Syekh Ibnu Atho’illah memang bertugas sebagai juru
bicaranya orang tasawuf, tidak berpretensi mendekatkan ini dengan itu.
Dia hanya bicara tasawuf. Kalau ada orang yang tidak cocok dengan
tasawuf, dia bisa berhadapan dengan Ibnu Atho’illah. Beliau akan memberi
pemahaman bahwa tasawuf itu bukan untuk dimusuhi, tapi jalan hidup yang
harus dipilih.
Pengajian malam itu, Gus Mus banyak menerangkan
tentang waktu, Allah dan hamba. Gus Mus membaca kitab tersebut macam
membaca puisi, ada tekanan-tekanan tertentu, kadang lirih, keras, juga
datar.
“La tarhal min kaunin ila kaunin, fa takunu kahimarir roha yasiru wal
makanul ladzi irtahala ilaih. Hual ladzi irtahala minhu, walakin
irtahala minal akwani ilal mukawwini. Wa inna ila robbikal muntaha.”
“Janganlah Engkau pergi dari alam ke alam lain. Sehingga Engkau
menjadi seperti keledai penggilingan, tempat yang dituju adalah tempat
dia beranjak. Tapi, pergilah Engkau dari alam-alam menuju Sang Pencitpa
Alam. Dan kepada Tuhanmulah berakhir.”
Pengajian selesei tepat pukul sepuluh malam. Usai ngaji, Gus Mus yang
malam itu mengenakan kemeja hitam dan rambut putihnya ditutupi dengan
udeng-udeng, disalami para santri. Mereka ngantri mencium tangannya,
perempuan dan laki-laki, tua dan muda.
Penulis: Hamzah Sahal