12. Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir
Alhamdulil lah, di bumi
Sunni Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang
mengamalka n ajaran Nabi saw.,
antara lain yang disebutkan
dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda :
Maa qa`ada qaumun lam yadzkurull aha fiihi walam yushallu `alan nabiyyi
shallallah u alaihi wasallam,
illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di
suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula
bershalawa t untuk Nabi saw.,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum dalam
hadits di atas adalah sekelompok
orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang
dimaksudka n adalah
perorangan , maka Nabi saw. cukup
mengatakan maa qa`ada rajulun
(tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw. mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-se ndiri maupun bersama-sa ma, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan
kebenaran, adalah secara
bersama-sa ma, baik dengan suara
pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarka n oleh dirinya sendiri, maupun dengan
mengangkat suara secara wajar
sehingga terdengar suara lantunan-l antunan dzikir yang menentramk an jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat
Islam di saat menggemaka n
takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sa ma dengan suara keras. Semua cara dalam
menghidupk an majelis dzikir dan
shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sa ma, tidak ada larangan secara spesifik baik dari Alquran
maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan,
perkampung an, maupun perkotaan
dalam mengadakan majelis dzikir kepada
Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami
ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita bersama-sa ma lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis
ta`lim di wilayah kita masing-mas ing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13. Dalil Nyekar
Bunga Di Kuburan
Barangkali telinga
masyarakat Indonesia tidaklah
asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis
bunga di atas kuburan orang yang diziarahin ya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati,
dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan
sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang
dikenalnya . Nabi saw. sendiri
pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaiman a
diriwayatk an oleh Imam Bukhari,
bahwasanny a suatu saat Nabi SAW.
melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda :
Sesungguhn ya kedua orang ini
sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar,
tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa
tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau
saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongny a, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw.
menancapka n potongan pelepah
kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-mas ing, seraya bersabda :
Semoga Allah meringanka n
siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar.
Hadits ini juga diriwayatk an oleh Imam
Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi
saw. untuk menziarahi kuburan
sanak famili dan orang-oran g
yang dikenalnya untuk mendoakan
penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar
pengamalan nyekar bunga di atas
kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup,
sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan
menggunaka n pelepah kurma,
karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan
sebaliknya sangat sulit menemui
jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang
terpenting dalam melakukan
nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan
sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon,
termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi
dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat
memperinga n siksa kubur sesuai sabda
Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi
masyarakat untuk menanam
pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka
masyarakat
Indonesia- pun menjadi kreatif,
yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunaka n berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma
harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di
Indonesia, maka
masyarakat juga rajin menanam
berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu
mengamalka n hadits Nabi SAW.,
dan mengharapk an
kelanggeng an
peringanan siksa bagi sanak
keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah
pekuburan. Karena dengan menanam
pohon ini, maka kualitas kesegarann ya
pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW. tidak mencontohk an secara langsung penanaman pohon di tanah
kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohk an berdakwah lewat media cetak,
elektronik , bahkan lewat dunia
maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkink an Nabi SAW. melakukann ya. Namun para ulama kontempore r dari segala macam aliran
pemahaman, saat ini marak
menggunaka n media cetak,
elektronik , dan internet sebagai
fasilitas penyampaia n ajaran
Islam kepada masyarakat luas,
tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan
asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh
masyarakat luas, sehingga
pundi-pund i pahala bagi para
ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulka n. Yang demikian ini memang sangat
memungkink an dilakukan pada jaman
modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan
masyarakat muslim di
Indonesia, mereka bertujuan
hanya satu, yaitu mengikutij ejak
nyekarnya Nabi SAW., namun mereka mengingink an agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih
langgeng, maka masyarakt- apun
menanam pepohonaan di tanah
pekuburan, hal ini
dikarenaka n sangat
memungkink an dilakukan di negeri yang
bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan
memberikan solusi amalan nyekar
dengan penancapan pelepah korma
di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasna n siksa kubur yang tengah mereka hadapi,
menunjukka n bahwa
keberadaan Nabi SAW. adalah
benar-bena r rahmatan lil alamin,
rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun
alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Literatur tunggal:
Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya
Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunna h wal Jamaah Abad 21)
14. Dalil Tentang Bolehnya
Bertabaruk
Bertabarru k yang
dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah
dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentang an dengan syariat Islam.Adak alanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap
sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan
tujuan mencari barakah.Ad a
seseorang yang menjalanka n
bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari
barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ ustadz/ guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan
dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah.
Atau mendatangi seorang yang
shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa
kesembuaha n dan
sebagainya , senuanya itu
bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya .
Adapun amalan-ama lan
yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw.
sebagaiman a yang ditulis para ulama
salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang
disebutkan juga dalam kitab
Almathaali bul
\`Aaliyah, 4:90 :
Diriwayatk an dari Ja`far bin
Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang
tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong
dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru,
melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala
Rasulullah saw. berumrah, beliau
saw. mencukur rambutnya saat bertahallu l, dan orang-oran g yang mengetahui nya, mereka berebut rambut
Rasulullah saw., kemudian aku
bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak
aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim
peperangan kecuali selalu diberi
kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad,
meriwayatk an dari Almasur bin
Makhramah dan Marwan, mengatakan
bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhati kan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas
mengkhabar kan kepada
kawan-kawa nnya sesama kafir
Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para
raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi,
tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam
menghormat i para raja itu,
seperti cara para shahabat dalam menghormat i Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad
meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-leba r untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang
mendapatka n ludah itu pasti
langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-mas ing (tabarruka n). Jika Muhammad memrintahk an sesuatu, mereka bergegas
menjalanka nnya. Jika Muhammad
berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk
(bertabarr uk)
mendapatka n air bekas wudlunya.
Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahka n suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad
dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatk an dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang
ke Mina, lantas melaksanak an
lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk
mengumpulk an
rambutnya, dan beliau saw.
membagikan nya kepada
masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi,
yang mengatakan bahwa Nabi saw.
menyerahka n potongan rambutnya
kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintah kan : Bagikanlah kepada orang-oran g.
(4). Imam Muslim meriwayatk an juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu
saat Nabi saw. beristirah at
tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringa t, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung
tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai
Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan
keringatmu ini sebagai parfum, bahkan
ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(5). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim
istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapk an barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda :
Engkau benar.
(6). Imam Thabarani meriwayatk an dari Safinah RA, berkata : Tatkala
Rasulullah saw.
berhijamah
(canthuk), beliau saw. bersabda
kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang
liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum,
kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(7). Imam Thabarani juga meriwayatk an hadits penguat, Nabi saw. bersabda :
Barangsiap a yang darah
(daging)-n ya bercampur dengan darahku,
maka tidak bakal disentuh api neraka.
(8). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatk an dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir
ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum)
menggantun g, lantas beliau saw.
meminumnya secara langsung dari
bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut
untuk bertabarru k dari sisa bekas
tempat minum Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits
Aldzimaari berkata : Aku menemui
Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat
Rasulullah dengan tanganmu ini ?
Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanla h tanganmu untukku, dan aku akan
menciumnya . Kemudian beliau
memberikan tangannya kepadaku,
dan akupun menciumnya . (HR.
Atthabaran i).
(9). Imam Bukhari meriwayatk an dari Abdurrahma n bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah , lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada
Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami
ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurka n tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi
saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya
yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya .
(10). Imam Bukhari meriwayatk an dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang
mengeluark an baju jubbahnya Nabi
SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga
`aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya
khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuha n (dengan bertabarru k dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karanganny a, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatk an dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau
memperbole hkan amalan mengusap
mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan , karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in
seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota
Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut.
Masih banyak bukti hadits-had its Nabi saw. tentang bolehnya
bertabarru k kepada
barang-bar ang milik Nabi saw.,
serta milik orang-oran g shalih,
dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw.
dan para wali serta orang-oran g
shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena
mempertuha nkan
barang-bar ang tersebut, tentunya
diharamkan oleh syariat Islam.
Termasuk diharamkan juga adalah
perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada
tempat-tem pat maupun
kuburan-ku buran angker yang
diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal
tempat-tem pat tersebut bukanlah
tempat yang berbarakah dalam standar
syariat Islam.
15. Bagaimana hukumnya
membaca manaqib?
Mengertika h saudara arti
kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak
dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan
amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya
seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-oran g baik mulia:mana qib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib,
manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain
sebagainya . Tidak boleh dan tidak
benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib
DN. Aidit dan lain sebagainya .
Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap
menanyakan hukumnya
manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu
terlalu berlebih-l ebihan,
sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu
keluar menjadi darah, tulang-tul ang ayam yang berserakan , diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutka n cerita-cer ita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanla h. Misanya cerita
tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar
bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-p rajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh
dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular,
cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang
bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupk an orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul
Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulka n hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah
maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob,
kesemuanya itu
masing-mas ing tidak bisa
menimbulka n hal-hal yang tidak
masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang -halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang
dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau
timbul dari wali Allah namanya karomah.Ad akah dalil yang menunjukka n bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan
menimbulka n hal-hal yang
menyimpang dari adat atau tidak masuk
akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah
Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ
أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرً ّا عِنْدَهُ قَالَ
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَ نِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ
فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ
رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolonga
Memanggil- manggil untuk
dimintai pertolonga n baik kepada
wali yang sudah mati atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan
penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai
kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolonga n yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau dengan i’tikad
bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada
halanganny a, apalagi sudah jelas
bahwa kita meminta pertolonga n
kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassu l minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung
atau dengan perantaraa n
(tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraa n pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha
Mengetahui dan Maha
Mendengar. Saudara jangan mengira
bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali
itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantaraa n Kepala Kantor
saudara. Pengertian
tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti
mengalihka n pandangan terhadap
yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai
kepercayaa n terhadap kekuasaan
pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak
perantara. Tawassul kepada
Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan
memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan
melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْ نَ
لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan
وَالَّذِيْ نَ
لاَيَدْعُو نَ مَعَ اللهِ إِلَهًا
أَخَرَ
Dan orang-oran
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian
sebagaiman a yang telah saya
terangkan tadi. Coba saja perhatikan
contoh di bawah ini :
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai
perusahaan besar, saudara sudah
kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima
bekerja di perusahaan nya. Untuk
melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya
bersama-sa ma, dan saya berkata,
“Bapak pimpinan perusahaan yang
mulia. Kedatangan saya bersama
guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di
perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati
dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan ! kepada
siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap
majikan besar itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-keci l.
Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara
dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara
tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-keci l itulah yang lebih saya
perhatikan . Kalau begitu adakah
gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada
siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih
kecil-keci l jugakah pengemis itu
meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah dan autobiogra phi wali adalah manaqib. Manaqiban atau membaca
manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-mene rus menyambung tali silaturahm i dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal
dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini
sekedar pendapat pribadi.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di
belakang orang-oran g yang selalu
berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
Bersyukur kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa
mendengar tausiah atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosa nnya mendorong manusia agar
meningkata n kualitas iman
ruhaninya. Bukan sekedar
kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupann ya merupakan pelajaran
yang amat berharga yang semestinya dijadikan teladan bagi para
murid-muri dnya atau para
simpatisan nya. Semoga upaya para
ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muri dnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju Mahabbah
kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah
mengamalka n manaqib. Manaqib
yang dibaca adalah seputar prikehidup an Syeikh Abdul Qodir al Jilany q.s.a yang dikenal
dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca adalah Manaqib Syeikh
Abdul Qadir al Jilany.
Dalam pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang
terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’
mendengark an secara aktif dengan
memuji Allah dengan kalimat-ka limat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang
mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan
pelajaran- pelajaran dari isi
kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidu pan, kebiasaan dan kelebihan- kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak
mengerti akan diterangka n oleh
gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaru hi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan membaca
manaqib diharapkan dapat
menda¬patk an limpahan kebaikan
dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul
Qadir Al Jilani terdapat autobiogra phi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat,
prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan
Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan
kata jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan
menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahua n tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah.
Dari pengertian ini manaqib
dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatka n limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara
memahami kebaikan-k ebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para
wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuun allah wayubibbuh um).
Sebagaiman a ditulis dalam
quran :
"Hai orang-oran g
yang beriman, barangsiap a di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangk an suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan- Nya kepada siapa yang
dikehendak i-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian -Nya) lagi Maha
Mengetahui . (Al Maidah (5):
54)
Ensikloped i Islam
mengartika n manakib sebagai
sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat
cerita-cer ita, ikhtisar hikayat,
nasihat-na sihat serta
peristiwa- peristiwa ajaib yang
pernah dialami seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para
pengagumny a dan dirangkum dari
cerita yang bersumber dari murid-muri dnya, orang terdekatny a, keluarga dan sahabat-sa habatnya (Ensiklope di Islam: 152).
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiogra phi yang bersifat hagiografi s (menyanjun g) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan
teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan
Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi
menyampaik an bahwa tawassul dan
tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut
dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bag ian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan
tegas mengata¬ka n bahwa tawassul
adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih.
Al-Bukhari
meriwayatk an dari Ummu Salamah
bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh
al-Sirah:1 77-178).
Pada masa Rasulullah
saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui
Uways al Qarny r.a untuk memintakan
ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan menjadi salah
satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. .
bahwa Rasulullah saw. bercerita
dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang
yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua.
Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa
tersingkir . Ketika satu demi
satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-mas ing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah
memberikan susu kepada ibudanya
padahal anaknya sangat membutuhka n; “Aku lebih menguta¬ma kan ibu terlebih dahulu dari pada
anak-anakk u meskipun anaku
merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua
ini menghentik an niat hendak mau
menggauli sepupu perem¬puan nya
padahal sudah memberikan uang
100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬ nya meminta menikahkan nya, akhirnya membatal¬k an niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga
memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur
“takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah
sekian lama orang ini memberikan
ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anakn ya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja
tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rak kan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka
bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Mu slim)
Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang
dapat mengantark an kita kepada
Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolonga n terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah
seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-oran g yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kul ah
kembalimu, maka
Ku-beritak an kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartika n “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-oran g sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan
orang-oran g sholeh apalagi para
ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha¬wati ran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah
meru¬pakan salah satu jalan
tempuh untuk memperoleh rakhmat
dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal,
memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifa t wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk
diteladani .
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh.
Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah
mensuci¬ka n sir nya) yang dikenal
dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalka n pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan,
bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendak i. Atau dalam moement-mo ment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir
anak atau acara walimahan. Tentu
saja harapannya adalah agar
memperoleh
keberkahan dalam kehidupan jasmani dan
rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam
(MK)
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-sa udara kita muslimin yang perlu
diluruskan tentang tawassul,
tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih,
malaikat, atau orang-oran g mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64,
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhn ya Jikalau mereka ketika
Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. ” Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa Allah SWT
mengampuni dosa-dosa orang yang
dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya)
Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam
Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutka n segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur
As-Shibagh dalam kitabnya
As-Syaamil dari Al-Ataby;
berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia
berkata: Assalamu’a laika ya
Rasulullah ! Saya telah mendengar Allah
berfirman ;
Walaupun sesungguhn ya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri
mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul
memintakan ampun untuk mereka,
mereka pasti mendapatka n Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu
(kekuburan
Rssulullah ) dengan meminta ampun
akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian
ia membaca syair memuji Rasulullah , kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya
ketiduran dan melihat Rasulullah dalam
tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi
sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul
saw., tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyalla huanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para
Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsi n, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan
perantara, dan tak ada yang
menentangn ya, apalagi
mengharamk annya, atau bahkan
memusyrikk an orang yang
mengamalka nnya.Pengi ngkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikk an orang-oran g yang bertawassu l, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw.,
sebagaiman a hadits shahih dibawah ini
:
"Wahai Allah, Demi orang-oran g yang berdoa kepada Mu, demi
orang-oran g yang
bersemanga t menuju
(keridhoan ) Mu, dan Demi
langkah-la ngkahku ini kepada
(keridhoan ) Mu, maka aku tak
keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat
kerusuhan, tak pula keluarku ini
karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn
Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam
Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa
menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatk an hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan
Tawassul kepada orang-oran g yang
berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-oran g yang bersemanga t kepada keridhoan Allah, dan barulah
bertawassu l kepada Amal shalih
beliau saw. (demi langkah2ku ini
kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits? , Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah
hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum
matannya, betapa jenius dan briliannya
mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw.,
sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad
dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatk an oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat
madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan
orang-oran g yang dianggap
muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan
kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi
memusyrikk an
orang-oran g yang beramal dengan
landasan hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul
adalah sunnah Rasululloh saw.,
sebagaiman a hadits yang
dikeluarka n oleh Abu Nu'aim,
Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda
dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu
disebutkan Rasul saw.
rebah/ bersandar
dikuburnya dan berdoa : "Allah
Yang Menghidupk an dan
mematikan, dan Dia Maha Hidup
tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan
bimbinglah hujjah nya
(pertanyaa n di kubur), dan
luaskanlah atasnya kuburnya,
Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari
semua pemilik sifat kasih sayang.",M aka jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa
Rasululloh saw.
bertawassu l di kubur, kepada para Nabi
yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa
meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah
bertawassu l dengan Nabi kami
(saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassu l dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau
(saw.), maka turunkanla h hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama
pada Shahih Bukhari hadits no.3508).U mar bin Khattab ra melakukann ya, para sahabat tak menentangn ya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak
satupun mengharamk annya, apalagi
mengatakan musyrik bagi yang
mengamalka nnya, hanyalah
pendapat sekte sesat ini yang memusyrikk an orang yang bertawassu l, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassu l.
Apakah mereka memusyrikk an Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra
bertawassu l, apakah mereka
memusyrikk an Umar?,
Naudzubill ah dari pemahaman sesat
ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih
hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyarata n tawassul itu, dan mereka
mengatakan bahwa orang yang
sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang
jelas-jela s datang dari
pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian
tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat
terkecuali dengan izin Allah
SWT, lalu mereka mengatakan
bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati
mustahil?, lalu dimana kesucian
tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada
perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan
izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila dikehendak i Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas
orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Keta huilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan
orang mati atau yang hidup, tetapi berperanta ra kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari
manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut
hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah,
karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau
mereka telah wafat.Cont oh lebih
mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda
mendatangi seorang saudagar kaya, dan
kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang
selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin
mengemis pada saudagar itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah
lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana
dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi
manfaat??,
jelas-jela s saudagar akan sangat
menghormat i atau menerima
lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama
orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus
selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang
mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga
ada yang mengatakan 17 Rabiul
Awwal) tidak hanya ada di Indonesia,
tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka
yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk
bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual
peribadata n dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang
sangat bervariasi tanpa ada
aturan yang baku. Semangatny a
justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman . Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit
membedakan antara ibadah dengan syi’ar
Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/ tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi
syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan
situasiona l serta mubah. Perlu
dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohka n oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi
mengatakan dalam
menanangga pi hukum perayaan maulid
Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia
berkumpul, membaca al-Qur’an dan
kisah-kisa h teladan Nabi SAW.
sejak kelahirann ya sampai
perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangka n makanan yang
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang
dilakukan, tidak lebih. Semua
itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang
melakukann ya diberi pahala
karena mengagungk an derajat Nabi
SAW., menampakka n suka cita dan
kegembiraa n atas kelahiran Nabi
Muhamad saw. yang mulia.” (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h.
251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaska n, “Sesuatu yang diada-adak an (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adak an (dalam agama)
bertentang an dengan
Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW.,
prilakuk sahabat, atau kesepakata n ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun
sesuatu yang diada-adak an adalah
sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku
sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).” (Fathul
Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi
orang-oran g NU, disamping
amalan-ama lan lain. Ada shalawat
“Nariyah”, ada sholawat Badr,
ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib”
dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan
cita-cita kepada Rasulullah sekaligus
ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah sabda
Rasulullah , “Siapa membaca
shalawat untukku, Allah akan membalasny a 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10
derajat baginya. Makanya, bagi orang-oran g NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan
shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat
kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulka n 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di
dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan : Perbanyakl ah shalawat kepadaku karena dapat
memecahkan masalah dan
menghilang kan kesedihan. Demikian
seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam
barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan
menjawabny a sesuai jawaban yang
terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits.
Rasulullah SAW. bersabda:
Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian
membicarak an dan juga
dibicaraka n, amal-amal kalian
disampaika n kepadaku; jika saya tahu
amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada
Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat
‘ala an-Nabi). Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid
meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa
Rasulullah
memintakan ampun umatnya
(istighfar ) di alam barzakh.
Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti
bermanfaat .
18. Dalil Membaca
dzikir dan syair sebelum pelaksanaa n
shalat berjama'ah
Amalan ini adalah baik dan dianjurkan , dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan
sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatk an dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa
Rasulullah SAW., para sahabat juga
membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika
Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang
melantunka n syair di masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunka n syair di masjid yang
di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu
Hurairah. Hassan melanjutka n
perkataann ya.‘Bukank ah engkau telah mendengark an sabda Rasulullah saw., jawablah pertanyaan ku, ya Allah mudah-muda han Engkau menguatkan nya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku
telah mendengarn ya). ”
Mengomenta ri hadits ini, Syaikh
Isma’il az-Zain menjelaska n
adanya kebolehan melantunka n
syair yang berisi puji-pujia n,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili
Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar
agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk
menyebarka n ajaran Islam di
tengah masyarakat .
19. Berzikir dengan pengeras
suara
Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita
laksanakan setiap saat,
dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus
dilaksanak an dengan sepenuh
hati, jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan
hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan,
masing-mas ing orang memiliki
cara tersendiri . Bisa jadi satu
orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat,
sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara
berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraska n dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir
tidak bersuara untuk mendatangk an konsentras i dan ke-khusyu' -an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah
melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangka n ke-khusyu’ -an.
Imam Zainuddin al-Malibar i menegaskan : “Disunnahka n berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat.
Maksudnya, hukumnya sunnah
membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat
sendirian,
berjema’ah , imam yang tidak
bermaksud mengajarka nnya dan
tidak bermaksud pula untuk memperdeng arkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul
Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan
membimbing jama’ah maka hukumnya
boleh mengeraska n suara dzikir dan
doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaska n keutamaan mengeraska n bacaan dzikir, sebagaiman a juga banyak sabda Nabi saw. yang
menganjurk an untuk berdzikir
dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentang an, karena masing-mas ing memiliki tempatnya sendiri-se ndiri. Yakni disesuaika n dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang
menganjurk an untuk
mengeraska n dzikir riwayat Ibnu Abbas
berikut ini, "Aku mengetahui dan mendengarn ya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka
selesai melaksanak an shalat dan
hendak meninggalk an masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah
saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid
yang sedang mengeraska n suaranya
untuk berdzikir. Saya berkata,
wahai Rasulullah mungkin dia
(melakukan itu) dalam keadaan
riya'. Rasulullah
saw. menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari
ketenangan ." Hadits lainnya
justru menjelaska n keutamaan
berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatk an Rasulullah saw. bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan
(sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana
menyikapi dua hadits yang seakan-aka n kontradikt if itu. berikut penjelasan Imam Nawawi :
Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah
Imam Nawawi menkomprom ikan
(al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang
mensunnahk an
mengeraska n suara dzikir dan
hadist yang mensunnahk an
memelankan suara dzikir
tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatir an akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan
mengeraska n dzikir lebih utama
jika lebih banyak mendatangk an
manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin
mendengar, dapat
mengingatk an hati orang yang
lalai, terus merenungka n dan
menghayati dzikir,
mengkonsen trasikan
pendengara n jama’ah,
menghilang kan ngantuk serta
menambah semangat." (Ruhul
Bayan, Juz III: h. 306).
20. Hukum
Meng-Hadiah-kan
Fatihah
Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat
al-Fatihah dan
menghadiah kan pahalanya untuk
Rasulullah
sallallahu alaihi
wasallam. Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh.
Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali
mengatakan ,
"Disunnahka n
menghadiah kan bacaan Al-Qur'an kepada
Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya ) memungkink an untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurna annya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa
perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua semua amal umatnya
otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah , jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitak an dalam Al-Qur'an bahwa Ia
bershalawa t terhadap Nabi saw.
kemudian Allah memerintah kan
kita untuk bershalawa t kepada
Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, hhm. 270, mengatakan , "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiah kan bacaan Al-Qu'an
atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu
mendapatka n pahala semua
kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal
tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukann ya, hal ini tidak menunjukka n bahwa itu dilarang.”
21. Hukum
Bacaan al-Qur’an, Doa
(Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan
Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak
sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut,
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS
An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika anak Adam mati,
putuslah segala amal perbuatann ya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu
yang dimanfa’at kan, dan anak
yang sholeh yang mendo’akan
dia.”
Mereka sepertinya ,
hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubung kan dengan
dalil-dali l lain. Sehingga
kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh
dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu
bertentang an dengan banyak ayat
dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan
orang-oran g yang datang setelah
mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah
saudara-sa udara kami yang telah
mendahului kami dengan
beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith
dijelaskan , “Bertanya
seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah sesungguhn ya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya,
seandainya saua
bersedekah untuknya?
Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk
ibumu.” (HR Abu Dawud).
Di dalam Tafsir ath-Thobar i jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39 di atas
diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah
masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata,
“Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami,
kami yang menanggung siksaanmu di
akhera.t” Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi
seseorang apa yang telah dikerjakan , bukan berarti menghilang kan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti
do’a kepada orang mati dan lain-lainn ya.
Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang
berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya
tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para
ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh
orang yang hidup.
Dr. Ahmad as-Syarbas hi,
guru besar pada Universita s al-Azhar,
dalam kitabnya, Yas`aluuna ka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli
fiqh telah berargumen tasi atas
kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia,
dengan hadist bahwa sesungguhn ya
ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai
Rasulullah ,
sesungguhn ya kami
bersedekah untuk keluarga kami
yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw. bersabda:
Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-bena r akan sampai kepada mereka dan
sesungguhn ya mereka itu
benar-bena r
bergembira dengan kiriman pahala
tersebut, sebagaiman a salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut
dikirimkan
kepadanya! "
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang
meninggal, hukumnya boleh
(mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah
yang terpuji dan dianjurkan .
Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang
dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahka n pada orang
telah meninggal. Dan lebih dari itu,
ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if
(menghorma ti tamu),
bersabar menghadapi musibah dan
tidak menampakka n rasa susah dan
gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/ Kenduri
Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
dzikir(Tas bih, tahmid, takbir,
tahlil, istighfar, dll),
Sholawat dan lain sebagainya yg
bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangka n sampainya amalan tsb (karena
keterbatas an ruang & waktu
maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan
disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama
ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak
menyetujui adanya acara tahlilan
diantarany a pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-oran g yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-sau dar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”
(QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-oran g yang beriman karena mereka
memohonkan ampun
(istighfar ) untuk
orang-oran g beriman sebelum
mereka. Ini menunjukka n bahwa orang
yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit
dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar
Rasulullah SAW. – setelah
selesai shalat jenazah-be rsabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia,
maafkanlah dia,
sehatkanla h dia,
muliakanla h tempat
tinggalnya ,
luaskanlah
kuburannya ,
mandikanla h dia dengan air es
dan air embun, bersihkanl ah dari
segala kesalahan sebagaiman a
kain putih bersih dari kotoran, gantikanla h untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari
tempat tinggalnya , keluarga yang
lebih baik dari keluargany a,
pasangan yang lebih baik dari pasanganny a dan peliharala h dia dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR
Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan , Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila
selesai menguburka n mayyit
beliau beridiri lalu bersabda:”
mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain
diriwayatk an oleh ‘Aisyah ra bahwa ia
bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab,
“Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahka n kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat
kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhn ya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya
meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW.
unntuk bertanya:” Wahai
Rasulullah SAW.
sesungguhn ya ibuku telah
meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya
bermanfaat baginya ? Rasul saw.
menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanla h bahwa kebunku yang banyak buahnya aku
sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluargany a berpuasa untuknya”( HR Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang
kepada Nabi saw. dan bertanya:”
Sesungguhn ya ibuku nadzar untuk
hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya
melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarny a ?
bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR
Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah
bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarka n hadits Abu Qotadah
dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua
dinar. Ketika ia telah membayarny a
nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah mendingink an kulitnya” (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia
menghadiah kan kepada
saudaranya yang muslim, maka hal
itu tidak ada halangan sebagaiman a tidak dilarang menghadiah kan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan
membebaska n utang setelah
wafatnya.
Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala
ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya
puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalka n disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada
mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa
perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangka n shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu
seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits
marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid
yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-had its mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk
bershadaqa h untuk mayit) di atas :
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-oran g mati
itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka
mereka (para sahabat) itu menganjurk an
untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang
munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang
munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak
dikuburkan tidak
memisahiny a.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu
mengulangi
pertanyaan -pertanyaa n tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam
soal ini dapat dibaca dalam buku “Thulu’ ats-tsurai ya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty
dalam kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan :
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A. Dalil-dali l Hadiah Pahala
Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah
Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasany a Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah
pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian
muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang
mengingkar i sampainya pahala
dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-oran g
kepercayaa n tentang wasiat ibnu
umar tersebut, beliau mencabut pengingkar annya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa
beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada
nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan
tabiuttabi ’in) pada berkumpul
disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiah kan (pahalanya ) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma
. (Yasaluuna ka fid din wal hayat oleh
syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar
menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan
akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu
adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsia pa masuk
kepekubura n lalu membaca
qulhuwalla hu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiah kan pahalanya kepada orang-oran g yang telah mati (dipekubur an itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiap a
melewati pekuburan lalu membaca qulhuwalla hu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiah kan pahalanya kepada
orang-oran g yang telah mati
(dipekubur an itu), maka ia akan diberi
pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
(Mukhtasar
Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari
kamu, maka janganlah menahannya
dan segeralah membawanya ke
kubur dan bacakanlah Fatihatul
kitab disamping kepalanya” .
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda:
“Bacakanla h surat yaasin untuk orang
yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke
pekuburan, maka bacalah
Fatihatul kitab, al-ikhlas, al
falaq dan an-nas dan jadikanlah
pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhn ya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang
lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah,
sampaikanl ah pahala ayat yang telah
aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaiman a sampainya pahala
puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguh nya mayyit
itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-iba dah kebendaan seperti sedekah dan
seumpamany a”. (yas alunka fiddin wal
hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada
hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang
bertahlil,
bertasbih, bertahmid, bertakbir dan menyampaik an pahala tersebut kepada simayat muslim lantas
ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,
takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaika n pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus
serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatka n amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24 hal.
324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan
menghadiah kan kepada si mayat
muslim lantas ibnu taimiah mengatakan
amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h :
“sesuatu yang paling utama dihadiahka n kepada mayyit adalah sedekah,
istighfar, berdoa untuknya dan
berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiah kan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan
tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaiman a pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya
(yasaaluun aka fiddin wal hayat jilid
I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziya h dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam
kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata :
Menceritak an kepada kami Abbas
bin Muhammad ad-dauri, menceritak an kepada kami yahya bin mu’in,
menceritak an kepada kami
Mubassyar al-halabi,
menceritak an kepada kami
Abdurrahma n bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan
ucapkanlah bismillah dan baca
permulaan surat al-baqarah
disamping kepalaku karena seungguhny a
aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama :
“Mengabark an kepadaku Hasan bin
Ahmad bin al-warraq,
menceritak an kepadaku Ali-Musa
Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku
bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit
dimakamkan , seorang lelaki kurus
duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an) . Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhn ya membaca al-qur’an disamping kubur adalah
bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin
Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi? . Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang
tsiqah (terpercay a), apakah
engkau meriwayatk an sesuatu
darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarka n kepadaku Mubasyar dari
Abdurahman bin a’la bin
al-laj-laj dari bapaknya bahwa
dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya
dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”.
Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalila h dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya
diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim
al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir
: “ Tokoh-toko h madzab hanafi
berpendapa t bahwa tiap-tiap
orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain
demikian daripada macam-maca m
kebaikan, boleh baginya menghadiah kan
pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-ora ng anshar jika ada diantara mereka yang
meninggal, maka mereka
berbondong -bondong ke kuburnya
sambil membaca al-qur’an disampingn aya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu
qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf
dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya
makruh. Namun ulama-ulam a
mutakhirin
berpendapa t boleh dan dialah
yang diamalkan. Dengan demikian,
maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa
pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhn ya membaca al-qur’an untuk
orang-oran g yang sudah meninggak
hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut
jumhur fuqaha islam Ahlusunnah
wal-jamaah walaupun dengan
adanya imbalan berdasarka n pendapat
yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala
sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam
hal bacaan al-qur’an, doa dan
istighfar karena masing-mas ingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh
hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebai kan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunna h yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang
dihadiahka n untuk mayyit
(muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu
panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaska n hal
ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 :
“Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang
masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam
ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii berpendapa t bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah
si pembaca menghaturk an doa :
“Ya Allah sampaikanl ah bacaan yat ini
untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/ 522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj:
“Dalam Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi
menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar
disampaika n pahala bacaan
tersebut. Dan seyogyanya
memantapka n pendapat ini karena dia
adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak
dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh
si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulka n bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal
pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapa i qaul
masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria
Al-anshari
mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19
:
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu
dibawa atas pengertian : “Jika
alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala
bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-sya rat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman
al-jamal mengatakan dalam kitabnya
Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat
salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya,
2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni
memohonkan agar pahalanya
disampaika n
kepadanya, 3. Meniatkan
samapainya pahala bacaan itu
kepadanya” .
Hal senada juga diungkapka n
oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74
:
“Kesimpula n Bahwa
jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan
sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia
membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala
bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya ”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan
pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping
meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaia n pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab
tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dali l orang yang
membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat atau
anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist
tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena
dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a
intifa’uhu (terputus
keadaannya untuk
memperoleh manfaat). Hadits
itu hanya mengatakan
“inqatha’a ‘amaluhu
(terputus amalnya)”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalka n itu kepadanya maka
akan sampailah pahala orang yang mengamalka n itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal
ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari
tanggungan hutang. Akan tetapi
bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi
terbayarla h hutang itu bukan
oleh dia telah memperoleh manfaat
(intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibann ya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakan nya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap
digunakann ya ayat tersebut
sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara
jawaban-ja waban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangka n dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulann ya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat,
melahirkan banyak anak, menikahi
beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabka n orang-oran g cinta dan suka padanya. Maka banyaklah
orang-oran g itu yang
menyayangi nya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadia hkan pula pahala dari ketaatan-k etaatan yang sudah dilakukann ya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri.
Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam
ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya
kemanfaata n dari
masing-mas ing kaum muslimin kepada
yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum
muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan
disebutkan bahwa Allah SWT
menjadikan iman sebagai sebab
untuk memperoleh
kemanfaata n dengan doa serta
usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman,
maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaik annya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian
pahala ketaatan yang dihadiahka n
kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya
bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya
kemanfaata n untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan
“kepemilik an seseorang terhadap
usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarka n bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak
akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahak annya. Jika dia mau,
maka dia boleh memberikan nya
kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkan nya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada
lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianla h dua jawaban
yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah .
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam
(umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan
juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangka n hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan
Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenaka n pangkal ayat tersebut
berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan
kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah
memenuhi kewajibann ya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakan nya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirka n ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalka n) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah
SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka
dimasukanl ah anak ke dalam sorga
berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang
lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-oran g
yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami
hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah
mengurangi
sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan nya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya,
berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata :
“Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianla h
penafsiran dari surat An-jam
ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhah ir ayat semata-mat a karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dali l baik dari al-qur’an
maupun hadits-had its shahih yang
ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai
sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupa nnya. Baginya apa yang
dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada
kejahatan) ”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah
tidak mengandung unsur hasr
(pembatasa n). Oleh karena itu artinya
cukup dengan : “Seseorang mendapatka n apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya
demikian ini, maka kandungann ya
tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatka n dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan :
“Seseorang akan
memperoleh harta dari
usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan
memperoleh harta dari pusaka
orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan
para sahabatnya . Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasa n) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya
mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka
kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan
diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhati kan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa
yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan
diberikann ya pahala terhadap
seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah
thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku
argumentas i Ulama
syafi’iyah terhadap tuduhan
bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahm an,
halaman 142-159, mutiara ilmu)
23. Hukum Membaca Al-Barzanj i
Di Indonesia,
peringatan Maulid Nabi (orang
banjar menyebutny a
*Ba-Mulud’ an*) sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiapmemasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusipendidikan , dan majelis
taklim bersiap memperinga tinya dengan
beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-keci lan hingga seremoni akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga
ritual-rit ual yang sarattradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah :
*Manyangga r Banua,
Mapanretas i di Pagatan, Ba’Ayun
Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan
Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya .
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab
al-Barzanj i. Membaca Barzanji
seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalk an dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaann ya
dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengannotasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang
mengaturny a.
Al-Barzanj i adalah karya
tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-ny a (silsilah) , kehidupann ya dari masa kanak-kana k
hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahka n sifat-sifa t mulia yang
dimilikiny a, serta berbagai peristiwa
untuk dijadikan teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam perkembang annya, nama
pengarangn yalah yang lebih masyhur
disebut, yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
al-Barzanj i. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang
orientalis dari
Universita s Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad Saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya , Maulid Nabi pada
mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti tersebut benar-bena r
keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di balik perayaanny a.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselengga rakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperinga ti karena
dinilai *bid’ah *(mengada- ada
dalam beribadah) .
Di Indonesia, tradisi
Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin *(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada
peringatan Maulid Nabi, namun
kerap diselengga rakan pula pada
tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut,
pernikahan , syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanj i,
terdapat pula kitab-kita b
sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadia n Nabi. Misalnya, kitab *Shimthual -Durar, karya
al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy), *al-Burdah , karya
al-Bushiri dan *al-Diba, karya Abdurrahma n al-Diba’iy .
Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satun ya idola teladan yang
seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari
idealisme,
kristalisa si dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijaua n sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di
bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan , identitas dan nasionalis me seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanj i merupakan
salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidup kan’
tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalah annya sekarang,
sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanj i sehingga
menjadikan nya
inspirator dan motivator
keteladana n? Barangkali , bagi kalangan
santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari
al-Barzanj i, yaitu kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani , menjadikan pemahaman mereka semakin komprehens if.
Bagaimana dengan masyarakat
awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya.
Akibatnya, penjiwaan dan penghayata n makna al-Barzanj i sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang
tersakralk an. Barangkali , kita perlu
berinovasi agar
pesan-pesa n profetik di balik bait al-Barzanj i menjadi
tersampaik an kepada pelakunya
(terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh .
Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan
penerjemah yang andal dan sastrawan- sastrawan ulung untuk mengemas bahasa
al-Barzanj i ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian . Selain itu, juga mempertimb angkan
kesiapan masyarakat menerima inovasi
baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralk an itu.
Inovasi dapat diimplemen tasikan dengan menerjemah kan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan
secara gradual pasca-memb aca dan
melantunka n syair al-Barzanj i. Atau
mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertaka n bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunju kkan W.S.
Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawa n pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan,
semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang
penting) juga mampu menggerakk an
pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik
sebagaiman a Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentask an kita dari keterpuruk an sebagaiman a Shalahuddi n Al-Ayubi sukses membangkit kan semangat tentaranya hingga menang dalam pertempura n.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanj i :
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul
ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain
ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz
ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq
ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn
Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina
Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanz y
karena dinisbahka n kepada nama
desa pengarang yang terletak di Barjanziya h kawasan Akrad (kurdistan ). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd
al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya
kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karanganny a adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun
untuk meningkatk an kecintaan
kepada Nabi Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama
penulisnya .
Beliau dilahirkan di
Madinah Al Munawwarah pada hari
Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal
Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran
(mujawwad) kepada syaikh Yusuf
Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada
ulama-ulam a masjid nabawi
Madinah Al Munawwarah dan
tokoh-toko h qabilah daerah
Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh,
Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu
mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu
dipelajari selama beliau ikut
duduk belajar bersama ulama-ulam a masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31
tahun atau bertepatan 1159 H barulah
beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanj i” ini telah disyarahka n oleh al-’Allaam ah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal
dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang
memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid
al-Barzanj i” yang telah banyak kali
diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanj i ini telah disyarahka n pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara
yang masyhur mensyarahk annya
ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala
Mawlid al-Barzanj i”. Beliau ini
adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif , bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan
menjalanka n Thoriqah
asy-Syadzi liyyah. Beliau lahir pada
tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal
sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak
karanganny a, yaitu Sayyidul
‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi
al-Bantani al-Jawi turut menulis
syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanj i” dan karanganny a itu dinamakann ya “Madaariju sh Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid
Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain
yang merupakan suami kepada satu-satun ya anak Sayyid Ja’far al-Barzanj i, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid
al-Barzanj i” tersebut yang
dinamakann ya
“al-Kawkab ul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar
fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar
asy-Syarif . Beliau juga
merupakan seorang Mufti Syafi`iyya h. Karangan-k arangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahid ul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il
Ramadhan”,
“Mashaabii hul Ghurar ‘ala
Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”.
Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritak an perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far
al-Barzanj i dalam kitabnya
“ar-Raudhu l A’thar fi Manaqib
as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanj i, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga
menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia
tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi
juga dengan kekeramata n dan
kemakbulan doanya. Penduduk
Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada
musim-musi m kemarau.
Diceritaka n bahawa satu ketika
di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaik an khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau
beristisqa ` memohon hujan. Maka
dalam khutbahnya itu beliau pun
berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun
dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaiman a yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi
s.a.w. dahulu. Menyaksika n
peristiwa tersebut, maka sebahagian
ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang
berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa ` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanj i
wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau
dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w.
Karanganny a membawa umat
ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w.,
membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali
karanganny a dibaca, pasti
sholawat dan salam dilantunka n
buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang
telah berjasa menyebarka n keharuman
pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu …
Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu
hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama
muqarrabin
berkediama n dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahann ya
Segala kekurangan dan
kekeliruan nya
Seumpamany a Ya Allah harap
dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarn ya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormat
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan
Afrika, tak terkecuali
Indonesia. Tidak
tertinggal oleh umat Islam
penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun
dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil
terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad
Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum
sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita
sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanj i merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW.
Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian
“Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan
mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat
menjelang paduka dilahirkan
hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian.
Sementara, bagian “Nadhom” terdiri
atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir
“nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya
keterpukau an sang penyair oleh
sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain
diungkapka n sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idio m
yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti
matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idio m seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawak an dengan shalawat dan doa, sehingga
melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya,
dilukiskan sebagai “untaian
mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far
al-Barzanj i pun, ada
bagian-bag ian
deskriptif yang mungkin
terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaiman a yang diterjemah kan oleh HAA Dahlan, kita
mendapatka n lukisan demikian:
Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbinc angkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang
fasih.
Betapapun, kita dapat
melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari
perspektif penyair.
Pokok-poko k
tuturannya sendiri, terutama
menyangkut riwayat Sang Nabi,
terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah . Sang penyair kemudian
mencurahka n kembali rincian kejadian
dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga
pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumka n sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanj i adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak
berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala
potensinya , karya ini kiranya
telah ikut membentuk tradisi dan mengembang kan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri
menghormat i sosok dan
perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya :
Wajahnya tampan, perilakuny a sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya
mancung,je nggotnya yang
tebal,Memp unyai akhlak yang
terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah,
wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakku r, mendahului dalam membuat kebajikan
bersedekah ,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikas i mengajarka n ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW.
sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah
Munawwarah .
“Al-’Allaa mah
al-Muhaddi ts al-Musnid as-Sayyid
Ja’far bin Hasan al-Barzanj i
adalah MUFTI ASY-SYAFI` IYYAH di
Kota Madinah al-Munawwa rah.
Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal
pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtas h” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana
Imam az-Zubaidi pernah berjumpa
dengan beliau dan menghadiri
majelis pengajiann ya di Masjid Nabawi
yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan
paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di
Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafaln ya dan mereka
membacanya dalam
waktu-wakt u tertentu.
Kandungann ya merupakan
khulaashah
(ringkasan ) sirah
nabawiyyah yang meliputi kisah
lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak,
peperangan sehingga kewafatan
baginda.
Wafat :
Beliau telah kembali ke rahmatulla h pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun
1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga
Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah
(dijelaska n) oleh
ulama-ulam a besar seperti Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ar i asy-Syadzi li al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi
“Madaariju sh Shu`uud ila
Iktisaa-il Buruud”.
------- SELESAI -------
terima kasi mas ilmunya.
BalasHapussyukron ilmu nya mas http://webannawawi.blogspot.com/p/blog-page_334.html
BalasHapus