Minggu, 20 Mei 2012

Seputar Fiqih

A. PENGERTIAN
Ushul fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil yang tafshili (jelas).

Macam-macam dalil : Dalil naqli (teks) (Al-Qur’an, Hadits), Ijma’ (konsensus), Dalil aqli/akal (Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah)

Firman Allah dalam QS An Nisa’:59 : “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”

Firman Allah dalam QS An-Nahl : 44 : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.”

Ayat diatas dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam menggunakan akalnya untuk memikirkan Al-Qur’an, yaitu menggunakan segala daya upaya kemampuan berpikir untuk ber ijtihad menyimpulkan hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersurat (eksplisit-tekstual) maupun yang tersirat (implisit-kontekstual).

Hadits Nabi :
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah tatkala mengutus Mu’adz sebagai qadli (hakim) di Yaman, beliau bertanya : “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum jika menghadapi kasus ? ‘Mu’adz menjawab : ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang ada pada kitab Allah.’ Rasulullah bertanya lagi : ‘jika tidak didapat di Kitab Allah ?’ Mu’adz menjawab : ‘Maka aku putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. ‘Rasulullah kembali bertanya : ‘Jika tidak terdapat pada Sunnah Rasulullah ?’ Mu’adz akhirnya menjawab : ‘ Ajtahidur ra’yi  Saya akan ber ijtihad dengan akal-pikiran saya, saya tidak putus asa. ‘Mu’adz berkata : ‘Lalu Rasulullah menepuk dadaku, seraya bertahmid : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-nya yang diridhoi oleh-Nya.’ “ (HR Abu Dawud).

Hadits Mu’adz diatas juga menunjukkan ijtihad dengan akal dibolehkan oleh Rasulullah dan diridloi oleh Allah, tapi dengan catatan ijtihad dengan akal baru digunakan bila tidak ditemukan dalil pada Al-Qur’an dan Hadits.

B. SUMBER HUKUM PRIMER
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum primer yang pertama, Dalil yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya) yaitu berupa khabar yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir dan dijamin terpelihara penukilannya. Sedangkan dhalalah (petunjuk lafazhnya) ada yang qath’i yaitu yang sharih (jelas) sehingga semua ulama menyepakati maknanya dan ada yang masih menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan maknanya. (Baca kembali meteri Ushul Tafsir tentang muhkam-mutasyabih,  mantuq-mafhum, ‘am-khas, mutlaq-muayyad, mujmal-mufassar, makna hakikat-majaz-musytarak).

Sunnah (Hadits)
Hadits nabi merupakan sumber hukum primer kedua, Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
  • Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
  • Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
  • Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
  • Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
  • Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
  • Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.

Hadist nabi yang mutawatir (banyak jalan sanadnya) dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad (jalan sanadnya tidak mencapai derajad mutawatir) dan masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya (Baca kembali meteri Ilmu Hadits tentang mushthalah hadits dan mukhtaliful hadits).

Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.


C. ISTINBATH HUKUM DARI DALIL AL-QURAN DAN HADITS

Kejelasan makna lafazh
Tingkat  kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
  • Zhahir, paling rendah  tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal). Contoh zhahir seperti pada ayat: “Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3). Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
  • Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal). Contoh nash seperti pada ayat : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2). Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
  • Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global). Perhatikan firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah [3] : 38). Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah : “tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.” “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.” Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan. Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
  • muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah : “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4). Demikian juga hadits nabi : “Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas : Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul). Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja.  Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab. Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak. Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak. Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
  • Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contohnya lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai  dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicari perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
  • Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan). Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
  • Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah : Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat). Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).

Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.


Petunjuk Lafazh (dhalalah)

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :
  1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,i tulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
  2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 : “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”
  3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP
  4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 : “Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 : “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”. Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
  5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “ Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :
  1. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq, terdiri dari : Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .” Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “
  2. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq, terdiri dari: Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “ Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.” Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 : “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “ Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 : “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “ Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Berhujjah dengan Mafhum :
Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik).
Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah tidak memakai mafhum laqab.

CAKUPAN LAFAZH
A. 'Am (umum) – Khas (khusus)


Lafazh ‘Am (umum) Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
  • Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham):
  • Lafazh ma (apa saja)  dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
  • Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
  • Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
  • Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi).
  • Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
  • Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
  • Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
  • Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
  • ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)

Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :
  • ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 : “Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
  • ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus) Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 : “Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
  • ‘Am yang mendapat peng-khususan Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”

Lafazh Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.

Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
  • Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
  • Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
  • Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 : “(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
  • Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
  • Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
  • Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 : “Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”

Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain;
  • Ayat Al-Qur’an yang lain. QS Al-Baqarah [2] : 228 : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.” QS Ath-Thalaq [65] : 4 : “Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 : “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
  • Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 : “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
  • Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’). Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 : “Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.” Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak.
  • Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas) Contohnya QS An-nur [24] : 2 : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 : “Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
  • Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal) Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 : “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
  • Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera) Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 : “Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.” Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
  • Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq) Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 : “Dan  tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?” Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
  1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
  2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
  3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.
  4. Takhsis jenis syarat, ghayah dan sifat tidak dipegangi oleh kelompok yang menolak mafhum.
  5. Ulama Hanafiah berpendapat takhsis Al-Qur’an dengan hadits hanya bisa oleh hadits mutawatir.
B. Mujmal (global) – Mubayyan (terjelaskan) – Mufassar (ter-tafsirkan)
Salah satu fungsi hadits adalah sebagai “bayan” (menjelaskan) lafazh dalam ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global). Dengan adanya penjelasan dari hadits maka lafazh yang mujmal tersebut dapat dipahami maknanya.

Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).

Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.

Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.

Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
  • Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan : “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”
  • Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :
  • Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 : “Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
  • Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li) Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.
  • Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 : “…dan dirikanlah shalat…” Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).
  • Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
  • Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.
  • Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.
  • Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan,  itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
  • Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).

Mufassar (sudah ditafsirkan)
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya. Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.

Macam-macam mufassar :
  • Mufassar oleh zatnya sendiri Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 : “Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang. Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 : “Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.” Kata “semuanya” itu adalah mufassar.
  • Mufassar oleh lafazh lainnya Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

C. MUTLAQ (TANPA BATASAN) - MUAYYAD (DEANGAN BATASAN)
Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 : “Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….” Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman” Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”

Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
  • Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 : “(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
  • Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad. Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan. Pada QS Al-An’am [6] : 145 : “Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”  Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
  • Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
  • Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat “Singa menerkam rusa pada lehernyta” maka kata “singa” itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada kalimat  “Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya” maka kata singa itu bermakna kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna (ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
  • Amr (perintah) dan Nahi (larangan). Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum : Menunjukkan wajib, Menunjukkan sunah, Menunjukkan suruhan saja, Menunjukkan kebolehan. Sedangkan Larangan (nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul : Larangan karena diri perbuatan, seperti larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat, Larangan karena sesuatu bagian perbuatan, seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya, Larangan lantaran sesuatu sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan, Larangan karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jum’at dikumandangkan.
  • Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil: Ta’arudl Yaitu pertentangan antar dalil, Kompromi, Tarjih Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih) dan mana yang lebih lemah (marjuh), Nasakh Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan, bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang terkemudian menasakh yang terkemudian.

D. QOWAID FIQIYAH (KAIDAH FIQIH)
Setiap yang mempelajari ushul fikih akan menjumpai kaidah fiqih yaitu kalimat singkat berupa kaidah umum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Hadis yang bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak yang dengannya dapat diterapkan hukumnya pada masalah furu’ (cabang). Jadi Kaidah Fikih ini akan membantu menyimpulkan hukum fikih suatu masalah. ulama ushul fikih berkata : “Apabila kaidah-kaidah fikih kokoh terhujam didada mudah dan lancarlah lidah menuturkan furu’ (hukum fikih)”

Kaidah Fikih Global : “Mengambil maslahat dan menolak masfadat”
Kaidah Pokok, ada 5 (lima) yang kepadanya dapat dikembalikan hampir semua masalah furu’ yang banyak.
  1. Kaidah Pokok ke-1 : “segala sesuatu bergantung kepada niat”
  2. Kaidah Pokok ke-2 : “yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh yang masih ragu”
  3. Kaidah Pokok ke-3 : “Dalam kesempitan ada kelapangan”
  4. Kaidah Pokok ke-4 : “Kemudhorotan harus dihilangkan”
  5. Kaidah Pokok ke-5 : “Adat dapat dijadikan hukum”

Dari lima kaidah pokok diatas terdapat ratusan kaidah kaidah cabang yang lain, diantaranya (yang popluer dan sering digunakan) adalah :
  • Menolak masfadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
  • Mudhorot khusus (kecil) harus ditempuh untuk menghindarkan mudhorot umum (besar).
  • Bila harus memilih antara dua mudhorot maka pilih yang paling kecil.
  • Bila untuk melaksanakan yang wajib memerlukan sarana, maka mengadakan sarana itu juga wajib.
  • Jalan yang menuju haram juga haram.
  • Kemudhorotan harus dihilangkan dan jalan yang menuju kearahnya harus ditutup.
  • Bila tidak bisa melaksanakan semuanya maka jangan ditinggalkan seluruhnya.
  • Hukum asal segala sesuatu mubah/boleh sampai ada dalil yang jelas melarangnya.
  • Hukum asal masalah ibadah makdoh haram sampai ada dalil/contoh yang menyuruhnya.
  • Apabila berkumpul dua perkara yang sejenis maka yang satu masuk kepada yang lain.
  • Hukum* dapat berubah menurut perubahan jaman. (* yang dimaksud disini hukum masalah furu’ (cabang) yang dzanni dan masalah-masalah muamalah-keduniaan bukan masalah ushul  dan atau yang qoth’i)
  • Hak keuntungan ada bersama resiko menanggung kerugian.
  • Menolak (preventif) lebih utama dari mengangkat (kuratif).
  • Yang lebih kuat meliputi yang lemah, bukan sebaliknya.
E. SUMBER HUKUM SEKUNDER
  1. ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.
  2. Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi)
  3. Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits.  Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).

F. SUMBER HUKUM TERSIER (digunakan untuk masalah juz’iyah (parsial), furu’iyah (cabang) yang jauh).
  1. Istihsan  yaitu : keluar dari nash karena sebab yang lebih kuat, contoh : menurut qiyas sumur yang kena najis harus disiram air, tapi hal itu tidak memungkinkan maka pen suciannya dengan menimba air sumur
  2. Mashlahah mursalah Yaitu keluar dari Qiyas kulli karena pertimbangan memelihara hukum syara’ dengan jalan mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh : dibolehkan memenjara atau meng intimidasi terdakwa untuk memperoleh pengakuannya.
  3. Istihshab Yaitu mengekalkan hukum yang telah ada, tidak bisa berubah karena sesuatu yang masih ragu., contoh : seseorang yang pada mulanya punya wudhu kemudian ragu ragu apakah dia telah batal apa belum, maka hukumnya dia dianggap masih punya wudhu.
  4. Istidlal Yaitu pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (persamaan penyebabnya), contoh : seseorang sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tapi kemudian diketahui dia tidak punya wudhu, maka karena dia tidak punya wudhu sholatnya juga tidak syah.
  5. Sadudz Dzariah Yaitu mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kemudhorotan atau menyumbat jalan yang menuju kemudhorotan. Contoh : Zina itu haram, maka melihat aurat wanita, berduaan dengan lawan jenis bukan mahram ditempat sepi, bacaan porno itu juga haram karena semua itu jalan menuju zina
  6. Urf yaitu kebiasaan yang tetap pada jiwa manusia diterima oleh akal dan tidak menyalahi syara’, contoh = sudah menjadi urf (kebiasaan) bahwa harga bahan bangunan adalah sudah termasuk ongkos kirim, bila ada penjual ketika mengirimkan bahan bangunan ke tempat pembeli masih menagih ongkos kirim, maka hakim dapat menolak gugatan penjual berdasarkan Urf.
  7. Adah yaitu sesuatu yang dikehendaki manusia pada umumnya dan berlaku terus menerus
  8. Ta’amul yaitu adat-istiadat kebiasaan dalam pergaulan mumalah manusia
  9. Bara’ah Ashliyah yaitu : bebas dari hukum yang memberatkan
  10. Istiqra’ yaitu memeriksa seteliti mungkin berbagai juziyah supaya dapat dihukumkan dengannya, contoh = seluruh sholat fardhu nabi tidak pernah dilakukan diatas kendaraan, suatu ketika rosul pernah sholat duha diatas kendaraan, maka dipahami bahwa sholat duha itu hukumnya sunnah.
  11. At-Taharri yaitu mempergunakan segala kemampuan akal untuk mencapai ketaatan
  12. Ar Ruju’u ilal manfa’ati wal madharrah yaitu menetapkan hukum berdasarkan manfaat dan mudhorot
  13. Al Qaulu bin nushush wal ijmaa’I fil ‘ibadati wal muqaddarati wal qaulu bi ‘itibaaril     mashalih fil mu’aamalati wabaqil ahkami yaitu menetapkan hukum dengan nash dan ijma thd soal yg pokok dan berdasarkan kemaslahatan pada urusan cabang, contoh = para sahabat tidak menentang sitem Monarki Muawiyah krn takut terjadi perpecahan kaum muslimin
  14. Taghyirul Ahkam bi taghaiyuril ahwali wal azman Yaitu berubahnya hukum (masalah furu’, muamalah, duniawiyah) karena berubahnya keadaan dan jaman.
  15. Al akhdzu bil akhaffi (al akhdzu biaqalli) maa qila yaitu berubahnya hukum karena berubahnya masa dan keadaan, contoh = Umar tidak memberikan zakat kepada para Muallaf karena Islam sudah kuat, bila mereka murtad maka dibunuh
  16. Al Ishmah yaitu menjadikan hujjah perkataan orang yang mendapat hak menetapkan hukum syara, contoh = Rosul memberikan hak kepada Saad Bin Muaz untuk menentukan hukuman bagi pengkhianatan Bani Quraizah.
  17. Syar’u man qablana yaitu : hukum syariat orang sebelum kita, apabila disebutkan dalam nash maka juga menjadi syariat kita.
  18. Al ‘amalu bidhadhahir awil adhar yaitu beramal dengan prioritas memegangi nash yang lahir
  19. Al akhdzu bil ihtiyath yaitu memegangi mana yang lebih kuat dari dua dalil
  20. Al Qur’ah yaitu menetapkan hukum berdasarkan undian, untuk mencegah saling berbantah-bantahan
  21. Al ‘amalu bil ashli yaitu mengamalkan dalil yang lebih rajih (kuat).
  22. Ma’qulun nash yaitu mengamalkan dari apa yang dipahami dari nash, bila tidak dapat ditafsirkan secara tekstual maka dibawa ke makna majasi.
  23. Syahadatul qalbi yaitu dengan memperhatikan suara hati nurani, dasarnya hadis nabi : “mintalah fatwa kepada hatimu”
  24. Tahkimul hal yaitu menyerahkan keputusan kepada keadaan sekarang yang sedang berlaku
  25. ‘Umumul balwa yaitu membolehkan sesuatu yang sulit melepaskan diri atau selalu terjadi
  26. Al ‘amalu bi aqawasy syabahaini yaitu memegangi mana yang lebih kuat kemiripannya, contoh menentukan orang tua anak dengan melihat kemiripannya
  27. Dalalatul iqtiran yaitu menyamakan hukum karena bergandengan dengan yang lain, contoh = imam malik tidak mewajibkan zakat pada kuda karena ada ayat “dan kuda dan bighal dan keledai”
  28. Dalalatul ilhami yaitu sesuatu yang diperoleh dari ilham, disyaratkan pada orang yang taqwa dan soleh
  29. Ru’yan nabi yaitu berpegang kepada apa yang dikatakan nabi dalam mimpi, dasarnya hadis nabi :  “mimpi seorang muslim itu 1/46 kenabian”
  30. Al akhdzu bi aisari maa qilaa yaitu mengambil mana yang paling mudah dari dua pendapat
  31. Al akhdzu bi aktsari maa qilaa yaitu mengambil jumlah yang lebih banyak dari jumlah yang berbeda beda
  32. Faqdud dalil ba’dal fihshi yaitu menetapkan tidak ada hukum atas sesuatu lantaran tidak diperoleh dalil yang mewujudkansesuatu hukum sesudah dilaksanakan pembahasan yang luas.

Perkembangan Ilmu Fiqih

Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan, taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh umatnya.

Dalam masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.

Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi meninggalkan pendapatnya sendiri.

Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh Nabi.

Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah. Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.

Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk. Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata : “Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat berdiri dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya ?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.

Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama, keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan kemaslahatan.

Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :

Dalam perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.”  (QS An-Nisa : 29)

Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.

Dalam suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk menunda shalat.

Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.

Bani Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua pemahaman tersebut.

Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada ditengah-tengah para sahabat.

Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.

Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.

Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :

“Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku, (yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)

“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).


Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.

Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi oleh Nabi dalam beberapa hadits.

Firman Allah dalam QS At-Taubah:100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”

Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”

Para Sahabat itu para murid yang ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.

Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
  1. Abdullah Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
  2. Abdullah Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
  3. Abdullah Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  4. Abdullah bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
  5. Muadz bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
  6. Zaid bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
  7. Aisyah, Ummul Mukminin
  8. Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
  9. Abu Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
  10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan perguruannya di Basrah.
  11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim Khalifah Umar di Basrah.

Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari  Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.

4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.
5. Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.

Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
  1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
  2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.

Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.

Mufti dan Fuqaha di Madinah
1. Said bin Al Musayyab
2. Urwah bin Zubair
3. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
4. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
5. Abu Bakar bin Abdurrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Ubaidillah bin Abdullah

Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
1. Atha’ bin Abi Rabah
2. Thawus bin Kisan
3. Mujahid bin Jabar
4. Ubaid bin Umar
5. Amru bin Dinar
6. Ikrimah maula Ibnu Abbas

Mufti dan Fuqaha di Basrah :
1. Amru bin Salamah
2. Abu Maryam al-Hanafy
3. Ka’ab bin Sud
4. Hasan Al Basri
5. Muhammad bin Sirin
6. Muslim bin Yasar

Mufti dan Fuqaha di Kufah :
1. Alqamah bin Qais An-Nakhaiy
2. Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany
3. Syuraih al Qadhy
4. Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
5. Rabi’ bin Khutsam.

Mufti dan Fuqaha di Mesir :
1. Yazid bin Abi Habib
2. Bakir bin Abdillah
3. Amru bin Al-Harits

Mufti dan Fuqaha di Yaman :
1. Mutharrif bin Mazin al-Qadly.
2. Abdul Raziq bin Hamman
3. Hisyam bin Yusuf
4. Muhammad bin Tsur
5. Samak bin Al-Fadhl

Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
1. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
2. Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby

Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
1. Yahya bin Yahya
2. Abdul Malik bin Habib
3. Baqi bin Makhlad
4. Qasim bin Muhammad
5. Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly

Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
  1. Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
  2. ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
  3. Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
  4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
  5. ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
  6. Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
  7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan).

Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
  1. Mufti dan Fuqaha di Mekkah : Di mekkah terdapat Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al Humaidy,  Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
  2. Mufti dan Fuqaha di Madinah : Ibnu Sihab Az Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
  3. Mufti dan Fuqaha di Basrah : Abdul Wahab bin Majid Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
  4. Mufti dan Fuqaha di Kufah : Ibnu Abi Layla, Abdullah bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany, Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
  5. Mufti dan Fuqaha di Baghdad : Abu Tsur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi.
  6. Mufti dan Fuqaha di Syam : Yahya bin Hamzah Al Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
  7. Mufti dan Fuqaha di Mesir : Abdullah bin Wahbin, Al Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
 
*****

Sumber : http://ahmadfaruq.blogdetik.com
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda