Minggu, 20 Mei 2012

Lahirnya Golongan "Asy'ariyah" dan "Maturidiyah"

santriploso.org : Kronologi singkat lahirnya Golongan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Pada masa imam empat banyak bermunculan bid’ah dan ideologi yang didasari hawa nafsu ‎‎(tidak berdasarkan dalil syar’ie maupun dalil aqli). Hanya saja belum begitu meluas dan ‎pengaruhnya pun tidak terlalu besar. Baru, setelah mereka wafat, bid’ah-bid’ah yang ‎disebarkan semakin bertambah kuat dan tersebar luas. Fenomena ini memotifasi para ‎tokoh agama dari golongan madzahibul arba’ah untuk mencegah tersebarnya bid’ah dan ‎berusaha mempertahankan aqidah para Ulama Salaf. Hingga akhirnya pada abad ke-3 ‎Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul ‎dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan aL-Asy’arie (260 H – + 330 H) ‎di Bashrah dan Abu Mansur aL-Maturidi di Samarkand dalam memperjuangkan dan ‎mempertahankan keabadian aqidah-aqidah yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan ‎Thoriqoh para Sahabat aL-Mahdiyyin.‎ 

Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, ‎namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni ‎paham Mu’tazilah ‎ yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya. Dari kedua ‎pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran ‎umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-‎keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang ‎pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang ‎kemudian populer disebut Aswaja.‎ 

Dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan ‎‎(counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada ‎masa Abbasiyah.‎ Abu Hasan aL-Asy’arie adalah tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’I, ‎Sedangkan Abu Mansur aL-Maturidi adalah pengikut madzhab Imam Hanafi. Meskipun ‎keduanya menganut madzhab yang berbeda, namun keduanya sama-sama mempunyai ‎charisma yang tinggi serta mendapat simpati dari berbagai kalangan umat, sehingga mereka ‎memposisikan kedua imam ini sebagai tokoh madzhab pilihan dalam permasalahan ‎ushuluddin, yang kemudian madzhab ini lebih dikenal dengan Asy’ariyyah (setiap pengikut ‎Abu Hasan aL–Asy’arie) dan Maturidiyyah (setiap pengikut Abu Mansur aL-Maturidi) dan ‎untuk membedakan kedua golongan ini dengan golongan Mu’tazilah.‎  

Abu Hasan aL-Asy’arie dikenal berhasil mengambil jalan tengah (tawasuth, moderat) dari ‎pertikaian teologis pada zamannya Jalan tengah yang ditawarkan adalah pengakuan ‎terhadap rasionalis, tapi pada tingkat tertentu harus tunduk kepada wahyu. Fungsi ‎rasionalitas digunakan untuk menterjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan wahyu. ‎Bukan mempertanyakan wahyu itu sendiri. Karena itu bila akal tidak mampu menjelaskan ‎wahyu, dengan kata lain akal mempunyai keterbatasan, sedangkan wahyu tidak, karena ‎termasuk bagian dari sifat Allah yang qadim.Asy’ari juga mengakui “otoritas salaf”. Dalam ‎pandangannya, gagasan-gagasan dan kesepakatan dalam masyarakat salaf (sahabat, tabi’in ‎dan tabi’ut tabi’in) dapat dijadikan pijakan hukum melalui metode ijma’ dan qiyas. Suatu ‎metode yang menyerupai gagasan yang pernah ditelorkan Imam Syafi’I dalam ilmu ushul ‎fiqih. Gagasan Asy’ari itu kemudian diperhalus oleh Imam Manshur al-Maturidi. Menurut ‎Maturidi, wahyu harus diterima secara penuh. Akal harus berperan mentakwilkan wahyu. ‎Ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau Tasybih (Allah serupa dengan makhluk) harus di ‎tafsirkan secara majazi (kiasan) bukan literal.‎  

Konklusi Asy’ariyah inilah yang kemudian berkembang baik dan mendiaspora menjadi ‎panutan. Tidak hanya kalangan awam, melainkan pula para ahli hadits, fiqih dan tauhid. ‎Pengikutnya kemudian diberi label Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah oleh az-Zabidi (w.1205M), ‎seratus tahun kemudian. Suatu label yang pernah juga digunakan oleh Hasan al-Bashri ‎untuk merujuk komunitas “ahli ilmu dan ibadah” yang tidak memihak Mu’awiyyah, Syi’ah ‎dan khawarij. Dan memang gagasan Asa’ari dalam bidang tauhid dapat ditarik lebih jauh ‎akar pemikiran-pemikirannya pada gagasan yang dikembangkan Hasan al-Bashri.‎  

Kendati pada awal mulanya hanya diminati ahli fiqih, hadits dan kalangan awam, namun ‎gagasan Asy’ari dengan cepat diadopsi oleh para penguasa Muslim. Mereka tertarik dengan ‎tekanan Asy’ari terhadap tertib sosial untuk mewujudkan dan melaksanakan syari’at Islam. ‎

Wallahu a'lam bishowab.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda