Senin, 18 Juni 2012

Hb. Luthfi : Perbedaan Itu Sesuatu yang Indah

Ada kebiasan menarik yang bisa dipetik dari Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan. Setiap kali Ramadhan datang menjelang, dirinya segera mengubah total jadwal kegiatannya. Waktu yang sebulan penuh itu, khusus dimanfaatkannya untuk beribadah secara total. Waktu tidurpun juga dibatasi, hanya sekitar dua hingga tiga jam sehari.
 
Selebihnya, hanya dipergunakan untuk mentadarrus al-Qur’an, shalat, berdzikir dan berdoa, serta kegiatan ibadah lainnya. Maka jangan heran, kalau dirinya mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu sehari semalam. Itulah pasalnya, setiap kali ada undangan ceramah ke luar kota, tak pernah diturutinya. Padahal pada bulan-bulan di luar Ramadhan, hal itu kerap sekali dilakukannya. “Dengan meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan, akan mencegah hawa nafsu dan membersihkan diri dari dosa-dosa,” terangnya singkat.
Kalau ditinjau dari sisi kesehatan saja, katanya, puasa itu sebagai proses pembersihan tubuh. Diibaratkannya, perut manusia itu bagai sebuah bejana yang tak pernah dicuci. Padahal selama sebelas bulan dipergunakan untuk memasak aneka makanan. Karena tak pernah dibersihkan, tentu pencernaan kita tak dapat melakukan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik. Padahal darah inilah yang bertugas memasok makanan ke otak. “Jika hanya diberi obat pencuci perut saja, tentu tak akan sampai ke dasar pencernaan tempat berkumpulnya virus dan kotoran,” jelasnya. “Jadi, hanya puasalah yang bisa menjangkaunya,” tandasnya.

Habib Luthfi Pekalongan – demikian dirinya lebih karib dikenal, dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin tanggal 27 Rajab 1367 H., bertepatan dengan tanggal 10 Nopember tahun 1946 M. Setelah mendapatkan bimbingan dari ayahandanya al-Habib al-Hafidz ‘Ali al-Ghalib, dirinya masuk ke sebuah madrasah Salafiyah. Setelah tiga tahun berada di sana, lalu melanjutkan studinya ke pondok pesantren Bendokerep, Cirebon, Jawa Barat. Disamping itu, dia juga pernah nyantri di pondok pesantren Kliwet Indramayu, berguru kepada Kyai Said Tegal, serta belajar kepada Kiai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto.

Selepas dari sana, lalu memperdalam ilmunya ke Mekkah dan Madinah, ke Yaman, serta ke beberapa negara di Timur Tengah. Disamping memperdalam ilmu-ilmu di bidang syari’ah, juga belajar ilmu thariqat dan tasawuf. Dari para gurunya tersebut, dirinya mendapatkan ijazah khusus dan umum. Baik itu berkenaan dengan da’wah dan nasyru syari’ah, thariqat, tasawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, maupun kitab-kitab tauhid, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran dan lain sebagainya.

Melihat ke’alimannya di berbagai bidang keilmuan tersebut, tak salah jika lantas di pundaknya disematkan beragam amanah. Disamping didapuk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia Kota Pekalongan, sekaligus diminta untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia Jawa Tengah. Bahkan anggota Syuriyah PBNU ini juga dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan, serta dua kali menjabat Rais ‘Am Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah.
Dipilihnya kembali sebagai Ketua organisasi yang merupakan salah satu Badan Otonom NU ini, kiranya tak berlebihan. Sebab sejak kepengurusan organisasi thariqat itu berada di bawah kendalinya, banyak sekali perkembangan yang telah ditorehkannya. Sekitar 30-an pengurus Idaroh Wusto telah terbentuk dan 200 lebih pengurus Idaroh Syu’biyah juga telah menyebar di berbagai cabang daerah.

Keberhasilan menata organisasi thariqat tersebut, tercatat menyebar dari Sabang sampai Meraoke. Seperti perkembangan yang ada di Sumatera Utara dan Sulawesi yang sangat menggembirakan. Bahkan dari Papuapun juga mulai memperdalam ilmu-ilmu thariqat. Berkat kepemimpinannya pula, hampir seluruh kelompok thariqat berkembang dengan baik. Seperti thariqat Sadzaliyah, Kholidiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Qodiriyah, Tijaniyah dan seterusnya. Termasuk  keberhasilannya pula dalam menertibkan silsilah sanad thariqat.

Yang paling menggembirakan, Mursyid Thariqah Sadzaliyah ini berhasil menebas fanatisme thariqat yang berdampak pada pengerdilan thariqat-thariqat yang lain. Sebab di pelupuk matanya, perbedaan itu terlihat sebagai sesuatu yang indah. Ibarat musik, meski ada perbedaan alat dan aliran, musiknya masih tetap indah untuk dinikmati. “Kalau kita mengikuti dinamika musik, itu luar biasa indahnya. Masing-masing gesekan bisa berpadu menjadi alunan musik yang indah. Jadi, alat musiknya memang berbeda-beda, tapi ada harmoni,” ujarnya memisalkan. “Dalam sebuah orchestra, masing-masing alat musik tak menonjolkan dirinya merasa yang paling penting. Dan masing-masing aliran tak bisa mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar,” tandasnya.

Kakek lima cucu ini, ternyata memang mahir memainkan berbagai alat musik, terutama alat musik organ. Bahkan dari tangannya sudah lahir beberapa komposisi musik. Di rumahnya memang terdapat seperangkat alat musik gambus, yang siap dimainkan sewaktu-waktu. Untuk mengaktualisasikan hobinya itulah, dibentuklah satu group musik gambus yang biasa disebut Marawis. Bersama lentik jemarinya yang memainkan denting piano, puluhan lagu irama padang pasir mengalun menyirami kalbu gersang pada kehidupan yang makin tak menentu.

Baginya, bermusik adalah merupakan sarana pergaulan yang bisa menyentuh segala lapisan. Terutama kepada anak-anak muda. Dengan daya tarik itulah mereka bisa mengikutinya. Atas berbagai sepak terjang yang dilakukannya inilah, eksistensi thariqat menjadi lebih terbuka. Terbukti, kini banyak generasi muda yang berminat dan mulai aktif mengikutinya. “Padahal sebelumnya mereka tak mengenal apa thariqah itu. Ini sekaligus menepis anggapan, bahwa thariqah hanyalah untuk sekelompok orang yang lanjut usia saja,” ungkapnya bernada gembira.

Fungsi thariqat, menurut suami Syarifah Salmah Binti Hasyim Bin Yahya ini, adalah untuk mendidik kehidupan manusia agar senantiasa berdekatan dengan Allah dan Rasul-Nya. Dengan begitu manusia akan lebih mengerti untuk meningkatkan kesadarannya. Sementara buah thariqah, adalah merasa dilihat dan didengar oleh Allah. “Thariqah itu bukanlah ciptaan para syeikh, melainkan ajaran yang bersumber dari Rasulullah. Itulah sebabnya, thariqah merupakan benteng dari beragam perbuatan syirik,” terangnya. “Makanya dalam thariqah sering dikumandangkan doa; Ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi,” tambahnya menyontohkan.

Ketika manusia sering merasa menjadi bagian yang dilihat Tuhan, sambungnya, maka akan timbul reaksi dari dalam dirinya. Di antaranya adalah rasa malu kepadaNya. Perasaan semacam itu adalah merupakan tanda keimanan. Bermula dari merasa malu kepada Allah, lalu malu kepada Nabi, kepada ulama’, para pahlawan kusuma bangsa, orangtua, guru, hingga terakhir malu kepada sesamanya. “Hendaknya kita membangun jiwa dengan senantiasa berdzikir menyebut asmaNya. Dengan begitu secara tidak langsung, kita selalu diingatkan bahwa diri kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah,” terangnya bernada harap.

Pada taraf awal, ujarnya, mungkin belum bisa merasakan hasilnya. Namun ketika terus-menerus merasa dilihat dan didengar Tuhan, tentu akan timbul perubahan dalam diri. Seperti halnya seorang pesilat. Karena kerap berlatih, maka sensor refleksnya menjadi hidup. “Ketika terpeleset, sembilan puluh persen dia akan selamat tanpa cidera. Sementara yang tak pernah latihan, akan lebih banyak cideranya ketimbang selamatnya,” ucapnya membandingkan.

Latihan-latihan semacam itulah, yang akan melahirkan rasa syukur atas segala karunia yang telah diberikanNya. Dan salah satu aplikasi dari rasa syukur itu, adalah dengan menjaga agar indera kita selalu mengerjakan kebaikan dan kebenaran. Yakni dengan menjaga mata dari pandangan yang buruk, menjaga mulut dari ucapan yang kurang baik, dan seterusnya.  “Mata, mulut, telinga dan seluruh anggota tubuh itu bisa dilatih. Demikian pula dengan hati. Cara menjaganya, adalah dengan selalu berprasangka baik terhadap orang lain,” tuturnya memberikan resep.

Habib Luthfi memang dikenal sebagai sosok yang inklusif dan egaliter. Itulah sebabnya, dirinya menolak tegas sikap tertutup yang kerap melakukan kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Sebab menurutnya, Nabi SAW tak pernah mengislamkan seseorang dengan pedang. Bahkan beliau menjaga hak-hak ekonomi kaum Yahudi. “Sikap keras itulah yang biasanya membuat orang gampang mengkafirkan sesama agamanya,” keluhnya. “Padahal mengislamkan seorang saja, bukan kepalang susahnya. Lha masak mereka malah mengkafirkan orang yang sudah jelas-jelas Islam dengan seenaknya,” sesalnya.

Itulah sebabnya, Habib Luthfi menegaskan, bahwa menjaga harga diri bangsa adalah merupakan sebuah harga mati. Sebab dulu para pejuang dalam mewujudkan kemerdekaan, ditempuhnya dengan darah dan air mata. “Para pahlawan itu pasti merasa sedih, melihat bangsa dan umatnya begitu mudah dipecah-belah. Maka kita harus merapatkan barisan, agar tak gampang bercerai-berai hanya gara-gara warna kelompok dan kepentingan politik yang cuma sesaat,” tegasnya.

*****
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda