Senin, 18 Juni 2012

Kyai Faqih : Indonesia Sudah Kebanyakan Maksiat

Karisma seseorang, ternyata lebih mudah tumbuh dari ruang kebersahajaan. Kesederhanaan itulah yang mengantarkan kebesaran sosok kyai Abdullah Faqih – pengasuh pondok pesantren Langitan, hingga namanya cukup disegani banyak o­rang.

Meskipun tak sedikit tokoh di negeri ini yang sowan kepadanya, namun dirinya merasa cukup dengan rumah kesederhana­an; sebuah tempat tinggal yang tak cukup besar, dengan dinding-dindingnya yang terbikin dari papan, serta lantai rumah dari tegel biasa dan meja kursi yang seadanya.

Kiranya sejak kecil Ketua Majlis Ma­sayikh Pondok Langitan ini terbiasa hidup di tempat sederhana semacam itu. Masa kanaknya dihabiskan di lingkungan Pondok Langitan sendiri. Bersama saudara-saudara dan sepupunya, dia belajar mengaji kepada ayahandanya sendiri Kyai Abdul Hadi.

Namun ketika saudara-saudara dan sepupunya melanjutkan belajar ke bangku sekolah, ayahandanya justru melarangnya untuk bersekolah. Bahkan untuk mengikuti kursus-kursus pun tak diperbolehkannya. Pasalnya, sang ayahanda rupanya lebih menghendaki agar dirinya kelak yang me­mangku pondok pesantren. “Kamu cukup mengaji saja. Sebab kalau sekolah, kamu mesti akan pula meninggalkan pondok. Pa­dahal jika pesantren itu sudah ditumbuhi ilalang, akan sulit sekali merawatnya. Ia akan menjadi sepi santri dan ditumbuhi se­mak belukar,” kisahnya menirukan ucapan Kyai Abdul Hadi. “Wejangan itu akhirnya membuat saya sadar dan dengan rela mene­rimanya secara tulus,” tukasnya menam­bahkan.

Mbahmu dulu, demikian lanjut lelaki kelahiran 1932 ini menirukan tu­turan ayahandanya, sangat khawatir kalau pesantren ini nanti nggak ada yang me­lanjutkannya. Sebab ini meru­pa­kan amanah yang mereka tinggalkan. “Makanya kamu ngaji saja yang sung­guh-sungguh dan nggak usah macam-macam,” ceri­tanya sambil menerawang ke masa silam.

Berkat ketekunannya bela­jar, dalam usia 15 tahun sudah bisa me­nguasai beberapa kitab kuning. Di saat itulah Kyai Faqih mulai bela­jar mengajar para santri. Di­ri­nya sebe­narnya ingin nyantri di pondok lain, te­tapi Kyai Abdul Hadi te­tap me­la­rang lan­­ta­ran ilmu­nya dirasa be­lum cukup. Kelak jika sudah bisa menguasai ba­nyak re­ferensi kitab kuning, baru­lah diper­bo­leh­kan be­lajar di pon­dok lain.

Pada tahun 1950-an, dirinya ter­paksa nekat untuk pergi ke pondok pesantren Lasem Jawa Tengah. Itu pun dilakukan de­ngan tanpa pamitan orang tuanya. Karuan saja keluarganya saling mencari-cari ke­mana dirinya hendak bepergian. Ketika sampai di pondok Lasem, ternyata di sana masih sepi santri. Melihat tempatnya yang masih berantakan, Kyai Faqih merasa tak ke­rasan. “Tetapi mau pulang juga tak mung­­kin. Saya merasa malu karena pergi­nya tanpa pamitan dulu,” tuturnya tersipu.

Selang beberapa waktu, dirinya pun nyatanya betah juga tinggal di tempat ter­sebut. Selain nyantri pada Mbah Kyai Mak­sum (ayahanda Kyai Ali maksum Kra­pyak Yogyakarta), dirinya juga berguru kepada Syeckh Masduqi yang lama tinggal di Mekkah, Kyai baidlowi (ayah dari kyai Hamid Baidlowi) dan juga kepada Kyai Mansur.

Kian waktu Kyai Faqih semakin ber­tambah kerasan saja. Apalagi Mbah Kyai Maksum tampaknya agak mengistimewa­kannya. Ketika bepergian ke mana-mana dirinya seringkali diajaknya. Kasih sayang­nya hampir menyamai dengan kasih sayang yang diberikan kepada putranya sendiri.

Itulah alasannya, kenapa ketika men­dapat surat dari keluarga Langitan, dirinya tak pernah membacanya – bahkan langsung membakar surat tersebut. Selama sembilan bulan dirinya sama sekali tak pernah mem­baca surat dari orang tuanya. Sebab dirinya khawatir, setelah membacanya nanti malah akan mengganggu konsentrasi ngajinya sehingga menjadi tak tenang. “Ketika banjir memporakporandakan kampung halaman saya, sama sekali saya tak mengetahuinya.” kisahnya.

Selama dua tahun setengah Kyai Fa­qih menjalani kehidupan di Pondok Lasem. Setelah pulang ke rumah halaman, dirinya justru merasa tak kerasan. Itulah yang men­dorongnya untuk berangkat nyantri ke Pon­dok Senori Tuban. Di sini dirinya di­asuh langsung oleh Kyai Abu Fadhol yang telah banyak mengarang kitab kuning.

Selepas dari Tuban, Kyai Abdullah Faqih pulang dan mendirikan madrasah formal bersama pamannya Kyai Ahmad Marzuki. Bagi santri yang tamat madrasah enam tahun ini, mereka harus menguasai kitab kuning dan hafal Alfiyah. Melihat lulusannya yang cukup menggembirakan, lalu didirikanlah lanjutannya berupa seko­lah Mu’allimin 3 tahun.

Secara pribadi, sebenarnya dirinya masih ingin nyantri kembali ke pondok lain. Namun lantaran kesibukan di pondok La­ngitan sendiri semakin meluas, terpaksa ha­rus mengurungkan niatan tersebut. Lebih-lebih setelah Kyai Marzuki pergi ke tanah suci di tahun tahun 1953, sehingga Kyai Fa­qih menggantikan sepenuhnya tugas-tugas beliau. Untuk menuruti keinginannya itu, setiap tahunnya dirinya selalu pergi “ngaji bulanan” ke beberapa Kyai Sepuh di tanah Jawa ini.

Dalam mengelola pondok pesantren, Kyai Faqih senantiasa berpegang pada wejangan kyai-kyai sepuh yang telah turut membimbingnya. Seperti wejangan dari Mbah Kyai Maksum sendiri, agar orang itu jangan sampai nggak mengajar. Semen­tara dari kakeknya Kyai Khozin, selalu me­nekankan agar dalam mengajar suatu kitab itu jangan sampai nggak selesai. Jum­lah yang ngaji anak berapa pun harus tetap diajarnya secara sungguh-sungguh. “Ama­nat tersebut saya pegang secara erat-erat.,” ujarnya singkat.

Ayahandanya sendiri pernah men­con­tohkan ba­gaimana memegang amanat tersebut. Pada zaman agresi Belanda, santri pondok La­ngi­tan pernah bubar sama sekali. Tak satupun santri yang be­rani tetap tinggal di sana. Da­lam kondisi sema­cam itu, Kyai Abdul Hadi tetap me­lanjutkan ngajinya. Tak per­nah sama sekali meli­burkan pengajian yang ada. “Pa­dahal waktu itu yang ngaji ya.. cuma saya bersa­ma de­ngan sepupu saya sa­ja. Dan kalau malam ter­pak­sa me­makai lampu oblek, karena situasi pepe­ra­ngan yang mencekam,” katanya.
Ayahandanya juga menfat­wa­kan, bah­wa dalam mem ­­per­juangkan aga­ma itu yang pen­ting mengembangkan ilmu agama. Pe­ngetahuan lainnya juga perlu dica­ri, tetapi cukup ha­nya sedi­kit-sedikit saja. Sebab yang perlu un­tuk menghidupkan agama itu, nggak ada lain kecuali ilmu agama. Tidak bisa agama itu dikem­bang­kan me­la­lui jalan selain ilmu. “Motor itu nggak bisa jalan ka­lau tak diisi bensin terlebih da­hulu. Nah, jika ada motor yang bisa jalan padahal nggak ada ben­sinnya, berarti motor tersebut di­dorong,” katanya memisalkan.

Seperti pada zaman Gesta­pu du­lu. Banyak seka­li orang yang mela­kukan shalat, te­ta­pi me­reka tak ber­ilmu. Sehingga ke­tika ke­adaan su­dah te­nang dan aman, mereka lan­tas ber­henti dan kembali lagi pada perbua­tannya se­mu­la. Be­rangkat da­ri da­sar ilmu itu­lah, se­hingga san­tri-santri yang su­dah mum­puni pe­ngetahuan agama­nya disebar ke ber­ba­gai pelo­sok desa untuk me­ngajarkan ilmu-ilmu aga­ma ke­pada ma­syara­kat secara luas.

Lain lagi yang diwejangkan oleh Kyai Abu Fa­dlol – yang lebih dikenal dengan se­butan Mbah Dlol Senori. Beliau mensya­ratkan agar semua ilmu yang diperolehnya itu, bisa dibuktikan lewat perbuatan nyata. Maka seorang Kyai tidak semata-mata me­ngajar saja, melainkan pula harus bekerja mencarai nafkah. “Jangan sampai mengajar itu di­anggap sebagai lahan pekerjaan. Me­nga­jar ya… mengajar, semata-mata ha­nya­lah untuk memper­juang­kan agama. Se­dang­kan bekerja itu merupakan modal bagi per­juangan ter­sebut,” jelasnya. “Gerakkan ta­ngan­mu, maka akan Aku turunkan rezki ke­padamu,” tambahnya menyitir sebuah Hadits Qudsi.

Itulah yang membuat Kyai Faqih tak segan-segan turun sendiri ngurusi sawah dan kebun. Terkadang pula terlihat dirinya ngurusi toko dan urusan bisnis lainnya. Di samping hal itu sebagai penuaian kewajiban bahwa setiap orang harus bekerja, sekaligus buat contoh santri dan masyarakat sekitar bah­wa seorang Kyai itu memang harus bekerja. “Kalau seluruh waktunya hanya diha­biskan untuk mengajar dan mengajar saja, nanti dikira masyarakat seorang kyai itu sudah tak mengurusi urusan-urusan du­niawiyah lagi,” katanya sambil mengu­lum senyum.

Saat ditanya seputar bencana yang terus menerus menimpa bangsa ini, Kyai Abdullah Faqih mewasiatkan agar setiap orang di negeri ini segera melakukan tobat massal. Tetapi hal itu tak perlu dilakukan secara ramai-ramai. Lakukanlah berzikir sendiri-sendiri dengan memperbanyak baca­an istighfar.

Jika setiap orang mau mengakui dosa-dosanya dengan memper­banyak beristigh­far, insya Allah negeri ini akan aman sen­tosa. Seperti yang tertera dalam al-Qur’an, bahwa Allah tidak akan menimpakan azab bagi suatu kaum, selama kaum tersebut mau melakukan istigfar.

Setiap bencana, menurut Kyai Faqih, mengandung dua maksud; sebagai pe­ringa­tan atau untuk peningkatan derajat. Se­men­tara musibah beruntun yang menimpa bang­sa ini, kita perlu merenungkan apakah untuk meningkatkan kualitas bangsa atau­kah ka­rena banyaknya dosa-dosa yang di­lakukan. “Kalau melihat lahiriahnya, bang­sa Indonesia itu sudah terlalu kebanyakan mak­siat,” ucapnya bernada pedih.
*****

1 komentar:

  1. selamat jalan kyai…… semoga tempatmu bersama orang-orang yang dimuliakan Allah SWT….amin

    BalasHapus

Yang belum punya ID gunakan " Anonymous " untuk memberi komentar.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda