Mengembara untuk mencari
ilmu merupakan tradisi pesantren yang disebut dengan santri kelana,
yang menyusuri dari pesantren ke pesantren untuk mendalami pengetahuan.
Ternyata tradisi itu tidak hanya berlaku di lingkungan santri. Para kiai
sepuh juga melakukan hal demikian, seperti Kiai Cholil Bangkalan, Kiai
Dahlan Jampes, termasuk Kiai Chozin dari Sidoarjo Jawa Timur.
Kiai Chozin pemimpin pesantren Siwalan
Panji Sidoarjo, tempat bergurunya para ulama, termasuk kaia hasyim
Asy’ari pernah nyantri di sana di bawah bimbingan Kiai Chozin. Setelah
itu Kiai Hasyim belajar ke Mekah selama beberapa tahun, belajar pada
ulama terkemuka di Haramain. Selama di Mekah Kiai Hasyim menjalin
hubungan dengan para ulama dan santri seluruh dunia dan ulama Nusantara
khususnya. Karena itu sepulang dari Mekah Kiai Hasyim tetap menjadi
pimpinan dan selalu menjadi rujukan para ulama Nusantara karena
kealiman dan kharismanya.
Apalagi setelah mendirikan Jam’iyah
Nahdlatul Ulama tahun 1926 popularitas Kiai ini semakin membesar, tidak
hanya luasnya pengaruh, tetapi kedalaman keilmuannya. Mendengar
kemasyhuran Kiai Hasyim itu tampaknya gurunya yaitu Kiai Chozin
penasaran ingin memperoleh pengetahuan dari bekas santrinya itu,
sehingga pada suatu bulan Romadlon tahun 1933. Kiai sepuh itu berangkat
ke Pesantren Tebuireng untuk mengaji di sana.
Tentu saja Kiai Hasyim Asy’ari merasa
tidak enak, kiai sepuh dan guru yang sangat dihormati itu mengikuti
pengajiannya, sehingga memintanya sang kiai tidak ikut penajian karena
beliau adalah gurunya yang lebih alim. Sementara pengajian hanya untuk
para santri. Tetapi dengan tenang Kia Chozin menjawab, “Memang dulu saya
guru sampeyan, tetapi sekarang sampeyan yang menjadi guru saya.”
Mendengar jawaban itu kiai Hasyim tidak berkutik karena ini menyangkut
sabda sang guru yang harus ditaati.
Kiai Chozin kemudian ditempatkan di kamar
tersendiri, tidak bersama dengan santri lainnya. Tetapi hal itu
menjadikan Kiai Chozin kurang senang dan minta ditempatkan dalam kamar
bersama santri lainnya. Rupanaya kiai Hasyim tidak kehabisan akal untuk
menghormati gurunya. “Begini kiai, sampeyan telah menjadi santri saya
maka sampeyan harus taat pada sang guru.”
Kemudian kiai Hasyim membuat beberapa
peraturan khusus untuk santri sepuh ini, pertama, Kiai Chozin wajib
menempati kamar yang telah disediakan, kedua, tidak diperkenankan
mencuci pakain sendiri, ketiga, apabila memerlukan sesuatu harus meminta
bantuan langsung kepada Kiai Hasyim, tidak perlu lewat santri. Sebagai
santri dan sekaligus tamu, maka Kiai Chozin akhirnya mengikuti aturan
yang dibuat oleh Kiai Hasyim. Karena Kiai ini melihat ini sebagai bentuk
penghormatan Kiai Hasyim kepada Sang Kiai.
Selama menjadi santri itu Kiai Chozin
memperoleh bukti tentang keluasan dan kedalaman kiai bekas santrinya
itu, maka ia memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gerakan yang
dilakukan, baik dalam keagamaan maupun gerakan politik melawan
penjajahan. Karena itu selain para alumni Siwalan Panji diserukan masuk
NU. Demikian juga ketika seruan jihad dikumandangkan pada 22 Oktober
1945, santri di sekitar Surabaya dan Sidoarjo sangat aktif dalam
perjuangan itu.
Disadur dari Buku Biografi Muhammad Ilyas, 2009
http://iqbal1.wordpress.com