Oleh
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Sebelum kami sebutkan perkara-perkara ini, yang hukumnya boleh
(mubah), maka perlu diketahui bahwa sesuatu yang boleh/mubah itu tidak
harus dikerjakan, juga bukan berarti mustahab (disukai/lebih utama)
untuk dikerjakan. Tetapi sekedar boleh untuk dilakukan. Walaupun
demikian, jika menimbulkan kerusakan, atau fitnah, atau kemaksiatan,
maka haruslah ditinggalkan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dan
sebagaimana sebuah kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi :
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَنَافِعِ
“Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan/manfaat”.
Maka inilah perkara-perkara tersebut :
1. Wanita mendatangi seorang alim untuk minta fatwa.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ
الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ
فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ
صَلِّي قَالَ وَقَالَ أَبِي ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى
يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ *
“Dari A’isyah dia berkata: “Fathimah binti Abu Hubais datang kepada
Nabi n lalu berkata: “Saya mengeluarkan darah istihadlah, sehingga saya
tidak suci, haruskah aku meninggalkan sholat?” Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (yang
luka-Red), bukan haid, jika masa haidmu datang maka tinggalkanlah
sholat, jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu
sholatlah” (Seorang perawi berkata) Bapakku berkata (tambahan di dalam
riwayatnya tentang sabda Rasulullah itu): “Berwudlu’lah tiap-tiap sholat
ketika telah masuk waktunya”. [Al-Bukhari]
2. Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.
أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ
الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ
بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ
بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ
مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ
وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ
أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ
فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ
هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى
“Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib
menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib
berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah
menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab:
“Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau
berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau
berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah
selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu
Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin
Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau
lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha”
[HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]
3. Wanita shalat bermakmum kepada laki-laki dengan shaf tersendiri.
Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: “Dan tidaklah larangan ikhthilath itu terbatas antara banyak orang-orang laki-laki dan para wanita saja, namun juga mencakup seorang wanita apabila shalat bersama para laki-laki. (Yaitu jika satu wanita berbaris satu shaf dengan para laki-laki itu termasuk ikhthilath-pen).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ
وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang yatim
berdiri di belakang beliau, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami”.
[HR. Bukhari, no:871, 860]
Sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam
bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan
orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf. [Al-Mar’ah Al-Muslimah
Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya,
dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang
pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan
sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling
buruk adalah shaf yang pertama”. [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan
hadits ini: “Hadits Hasan Shahih].
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyari’atkan bagi para
wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah
(laki-laki)”.
Maka kenyataan adanya para wanita di zaman Rasululah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang shalat bersama beliau di masjid, menunjukkan
bahwa hal itu bukanlah ikhthilath.
4. Penganten wanita yang melayani para tamu laki-laki, dengan dua syarat : aman dari fitnah dan berpakaian secara Islam.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Tidak mengapa penganten wanita melayani sendiri para (tamu) undangan, apabila dia tertutup (dengan baju yang disyari’atkan-pen) dan aman dari fitnah (perkara yang dapat mendatangkan kemaksiatan/kesesatan), berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d, dia berkata :
لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا
وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ بَلَّتْ
(وفي رواية: أنقعت) تَمَرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنَ اللَّيْلِ
فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ
الطَّعَامِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تُتْحِفُهُ بِذَلِكَ (فَكَانَتْ
امْرَأَتُهُ يَوْمَئِذٍ خَادِمُهُمْ وَهِيَ الْعَرُوْسُ)
“Tatkala Abu Usaid As-Sa’idi telah menikah, dia mengundang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, dia tidak membuat
makanan untuk mereka, dan tidak menghidangkan makanan kepada mereka.
Akan tetapi istrinya, Ummu Usaid, semenjak malam merendam kurma di dalam
bejana dari batu. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
selesai makan, Ummu Usaid melarutkannya untuk beliau, lalu memberikan
minum kepada beliau dengannya, dia mengkhususkan beliau dengan (minuman)
itu. (Maka pada hari itu istrinya yang menjadi pelayan mereka, padahal
dia sebagai penganten wanita”. [1].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil
bolehnya seorang istri melayani suaminya dan orang yang dia undang,
tentu saja hal itu adalah jika aman dari fitnah dan dengan menjaga
penutup (tubuh) yang wajib atas wanita. Dan dalil bolehnya seorang suami
melayani istrinya dalam hal seperti itu..” [Fathul Bari:IX/251]
5. Dua laki-laki shalih atau lebih menemui seorang wanita, karena keperluan.
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ نَفَرًا مِنْ
بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ
فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ
فَقَالَ لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ
إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa
orang-orang dari Bani Hasyim menemui Asma’ binti ‘Umais, kemudian Abu
Bakar Ash-Shiddiq masuk –waktu itu Asma’ adalah istri Abu Bakar-, lalu
Abu Bakar melihat mereka, maka dia tidak menyukainya. Kemudian dia
menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sambil berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan”. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setelah hariku ini, janganlah
sama sekali seorang laki-laki menemui seorang wanita yang ditingal pergi
suaminya kecuali bersamanya ada seorang laki-laki lain atau dua
laki-laki”. [HSR. Muslim, no:5641]
An-Nawawi rahimahullah berkata di dalam penjelasan hadits ini:
“Kemudian bahwa zhahir hadits ini membolehkan menyendirinya dua atau
tiga laki-laki dengan seorang wanita asing/bukan mahramnya. Tetapi yang
terkenal di kalangan para sahabat kami (yakni madzhab Syafi’iyah-pen)
adalah haramnya hal tersebut, kemudian hadits itu diberi arti (untuk)
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat berbuat keji, karena
keshalihan atau keperwiraan mereka, atau lainnya. Dan Al-Qadhi telah
mengisyaratkan pemberian arti seperti ini.
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi memasukkan dua hadits di atas di dalam
masalah “Masuknya dua atau tiga laki-laki kepada seorang wanita”. Dan
pada catatan kaki beliau berkata: “Jika seorang laki-laki masuk/menemui
sekelompok wanita, sedangkan mereka memakai hijab (menutupi seluruh
tubuhnya termasuk wajah, karena Syaikh berpendapat wajah wanita harus
ditutup-pen) dan jauh kemungkinan bersepakat untuk berbuat keji, dan
aman dari fitnah, maka hal itu boleh. Wallahu A’lam”. [Jami’ Ahkamun
Nisa’ IV/293]
6. Seorang laki-laki berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati orang, untuk memenuhi keperluan wanita tersebut.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِي عَقْلِهَا شَيْءٌ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَقَالَ يَا أُمَّ فُلَانٍ
انْظُرِي أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِيَ لَكِ حَاجَتَكِ فَخَلَا
مَعَهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا
“Dari Anas, bahwa seorang wanita yang akalnya tidak begitu beres
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan
kepadamu”. Maka beliau menjawab: “Hai Ummu Fulan, lihatlah jalan mana
yang engkau sukai, sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu”. Maka beliau
berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan sehingga wanita
itu menyelesaikan keperluannya”. [HSR. Muslim, Al-Bukhari secara
ringkas, dan Abu Dawud]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Perkataan “Maka beliau
berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan” yaitu berdiri
bersamanya di jalan yang dilewati oleh orang, agar beliau dapat memenuhi
keperluannya dan memberikan fatwa kepadanya dalam keadaan
sendirian/sepi. Dan hal itu tidak termasuk khalwat (menyendiri) dengan
wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat lewatnya
orang-orang dan mereka dapat melihat beliau dan wanita tersebut, tetapi
mereka tidak mendengar perkataan wanita itu, karena pertanyaan wanita
itu, tidak dinampakkan dengan terang oleh beliau, wallahu a’lam”. [Syarh
Muslim V/180]
Imam An-Nawawi juga berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan
tentang tawadhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan
berdirinya beliau dengan seorang wanita yang lemah. Inilah, dan Imam
Al-Bukhari telah memasukkan hadits ini ke dalam bab: Khalwat seorang
laki-laki dan wanita yang dibolehkan di hadapan orang-orang”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan bab ini: “Yaitu, laki-laki
itu tidak menyendiri dengan wanita itu sampi tubuh keduanya tertutup
dari (pandangan) mereka, tetapi sekedar mereka tidak mendengar perkataan
keduanya, jika hal itu termasuk yang disembunyikan oleh wanita itu,
seperti sesuatu yang seorang wanita malu untuk menyebutkannya di antara
orang banyak. Dan penyusun (yaitu Imam Al-Bukhari) mengambil perkataan
“di hadapan orang-orang” di dalam bab itu dari perkataan pada sebagian
jalan-jalan hadits (yaitu) : “Maka beliau berkhalwat (menyendiri)
bersamanya di sebagian jalan”, yaitu di jalan yang dilewati, yang pada
umumnya tidak sepi dari lewatnya orang-orang.” Kemudian Ibnu Hajar juga
berkata: “Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa perundingan seorang
wanita asing (dengan seorang laki-laki-pen) secara pelan-pelan tidaklah
merusakkan agamanya di saat aman dari fitnah. Akan tetapi urusannya
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha :
“Siapakah di antara kamu yang dapat menguasai syahwatnya sebagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguasai syahwatnya”.
7. Wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.
Dalilnya hadits Ummu Hani’ yang telah disebutkan di atas, yaitu pada point ke (2). Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.
أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ
الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ
بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ
بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ
مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ
وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ
أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ
فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ
هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى
“Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib
menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib
berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah
menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab:
“Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau
berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau
berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah
selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu
Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin
Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau
lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha”
[HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]
8.Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita.
عَنْ سَهْلٍ قَالَ:… فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا
Dari Sahl, dia berkata: “…Maka jika kami telah shalat jum’ah, kami
pulang (dan mampir ke rumah seorang wanita tua) dan kami mengucapkan
salam kepadanya, kemudian dia menghidangkan makanan kepada kami.” [HSR.
Al-Bukhari dan lainnya]
TAMBAHAN
Inilah sebagian di antara perkara-perkara yang tidak termasuk ikhthilath yang terlarang hukumnya.
Inilah sebagian di antara perkara-perkara yang tidak termasuk ikhthilath yang terlarang hukumnya.
Dengan keterangan ini, maka definisi ikhthilath di dalam kitab
Mas-uliyah Mar’atil Muslimah (hal:22) karya Syaikh Abdullah bin Jarullah
bin Ibrahim Al-Jarullah rahimahullah, yaitu bahwa ikhthilath adalah:
“Berkumpulnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan
mahramnya, atau: berkumpulnya banyak orang laki-laki dengan banyak orang
wanita yang mereka itu bukan mahram, di satu tempat, yang memungkinkan
padanya untuk berhubungan di antara mereka, dengan cara memandang,
berisyarat, dan berbicara, sehingga menyepinya seorang laki-laki dengan
seorang wanita asing -yang bukan mahramnya- dalam keadaan bagaimanapun
juga dianggap termasuk ikhthilath” belum bisa diterima. Karena kalau
yang dimaksud ikhthilath adalah demikian, tentulah perkara-perkara di
atas tadi termasuk ikhthilath yang terlarang!
Tetapi hal ini, bukan berarti laki-laki boleh memandang wanita yang
bukan mahramnya –atau sebaliknya- tanpa adanya keperluan yang diidzinkan
syari’at. Karena larangan tentang memandang ini jelas dari Al-Kitab dab
As-Sunnah, sebagaimana sebagiannya telah berlalu di atas.
Inilah sedikit yang kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. HSR. Al-Bukhari di dalam Shahihnya, dan di dalam Al-Adabul Mufrad; Muslim; Abu ‘Awanah; Ibnu Majah; dan lainnya –kami ringkaskan takhrijnya-pen] (Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al-Muthahharah, hal:103-106, Maktab Al-Islami, 1409 H- 1989 M
________
Footnote
[1]. HSR. Al-Bukhari di dalam Shahihnya, dan di dalam Al-Adabul Mufrad; Muslim; Abu ‘Awanah; Ibnu Majah; dan lainnya –kami ringkaskan takhrijnya-pen] (Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al-Muthahharah, hal:103-106, Maktab Al-Islami, 1409 H- 1989 M