6. Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak
dikerjakan pada waktunya. Mereka
ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan tidak sah
orang yang ketinggalan sholat
fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus
menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’
(kesepakatan) para ulama pakar
diantaranya Imam Hanafi, Malik
dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang
meninggalkan sholat baik dengan
sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha
sholat berikut ini :
- HR.Bukhori
, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksana kan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksana kan)nya, maka kifaratnya a) adalah melakukann ya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangka n makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalk annya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah)untuk melaksanak an sholat, dan dia harus melakukann ya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah
Rasulullah saw. bagi orang yang
ketinggalan sholat karena lupa dan
tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja
ditinggalkan itu malah lebih
utama/wajib untuk
menggadhanya. Maka bagaimana dan
darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja
ditinggalkan itu tidak
wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak
berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa
besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku
baginya.
- Rasulullah
saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-ba gikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/ qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhor i, Muslim dari Ummu Salamah). - Rasulullah saw.
bersabda: ‘Barangsia
pa tertidur atau terlupa dari mengerjaka n shalat witir maka lakukanlah . (HR.Tirmid zi dan Abu Daud).(dik utip dari at-taj 1:539) - Rasulullah
saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantik annya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat
malam yang tidak dikerjakan pada
waktunya itu diganti/diqadha
oleh Rasulullah saw. pada waktu
setelah sholat Ashar dan waktu-waktu
lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja
ketinggalan itu lebih utama
diganti dari- pada sholat-sholat
sunnah ini.
HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah
Rasulullah saw. ketiduran dan
terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut.
Rasulullah saw. bersabda:
Naiklah (ketunggangan
masing-masing) dan kami
menunggangi
(tunggang- an kami) dan kami
berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw.
berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh
kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki
tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan)
terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulullah saw. bersabda : ’Bukankah aku sebagai teladan bagi
kalian’?, dan selanjutnya
beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti
tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang
dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak
melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat
lainnya….’. (Juga Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori
dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan
lalai/meng-
gampangkan sholat ialah bila
meninggalkan sholat dengan
sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau
lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang
ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits
ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang
ketinggalan kecuali selain dari
yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi
orang yang meninggal- kan sholat
karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits
larangan untuk menggadha sholat !
Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang
pada hari (peperangan) Khandaq
setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata;
‘Wahai Rasulullah, aku masih
melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir
terbenam’. Maka
Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi
Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan
pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk
melakukannya. Beliau saw.
(melakukan) sholat Ashar setelah
matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama
orang lain secara berjama’ah
setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631,
meriwayatkannya juga, didalam
Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’
dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab
25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib
menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun
karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan
lainnya), perselisihan antara mereka
ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang
gila, pingsan dan orang mabuk.
Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa
Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab
Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur
termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i
mengatakan orang yang sengaja
meninggalkan sholat itu
berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang
menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah, mereka ini
membatalkan (tidak sah) untuk
menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi
alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk
disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang
mewajibkan qadha atas sholat
yang sengaja ditinggal- kan.
Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan
:
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan
demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang
ketinggalan baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib,
sebagaimana yang
diutarakan oleh
ulama-ulama pakar yang telah
diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu
Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja
dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah
qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa
menjadikan manfaat bagi kita
semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil Sholat
sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut
pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti
cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i
dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti
hadits-hadits yang berkaitan
dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin
Mughaffal al-Muzanni, ia
berkata; Rasulullah saw. bersabda:
‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud
antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih-
annya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh
Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami
bahwa Nabi saw. menganjurkan
supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk
dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan
pengingkar tidak
mengamalkan amalan sunnah ini karena
mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud
bahwasanya beliau melakukan shalat
sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah)
jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua,
dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa
amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32
H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw.
mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi
saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin
Mas’ud tersebut mengatakan:
“Secara dhohir (lahiriyah)
apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah
berdasarkan petunjuk langsung dari
Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan
ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak
beramal sebagaimana yang diamalkan
oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra.
bahwasanya ia
senantiasa
memanjangkan shalat qabliyyah
jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan
bahwasanya
Rasulullah saw.
senantiasa melakukan hal yang
demikian”. (Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam
Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya
shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul
Ar-Risalah berkata:
‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam
Al-Khulashah
mengatakan : ‘Hadits
tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah
dikeluarkan oleh Ibnu Hibban
dalam shohihnya’.
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari
Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya
kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at
sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw.
bersabda; ‘Shalatlah
kamu dua raka’at dan ringkaskan
shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at
dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan
shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat
tahiyyatul masjid. Hal ini
dikarenakan
tahiyyatul masjid
tidak boleh dikerjakan dirumah
atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang
mengatakan bahwa yang
disabdakan oleh Nabi itu mungkin
sholat tahiyyatul masjid, maka dapat
dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan
nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat
sebelum (dirumahnya) datang kesini ?
(Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut
mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’
menunjukkan bahwa
sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah
tahiyyatul
masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ;
‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’ . Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata:
‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang
fardhu kecuali disunnahkan
sebelumnya shalat dua raka’at’
“. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa
disunnahkan juga shalat
qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi
mengatakan : ‘Ini adalah hadits
shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’.
Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat
untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah
jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni
hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya:
‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali
disunnahkan
sebelumnya shalat dua raka’at’
“.
Demikianlah beberapa hadits
yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah
jum’at.
Sedangkan kesimpulan beberapa
ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah
qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang
disunnahkan untuknya. Maka
disunnahkan sebelum jum’at itu
empat raka’at dan sesudahnya juga
empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat
sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at
ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at
qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat
sebelum Jum’at sebagaimana shalat
sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai
sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa
ini semua adalah sunnah Rasulullah
saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah
SWT.
8. Dalil
mengangkat
tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahk
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj
cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini :
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan
ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraannya, kemudian
mengangkat
kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali,
kemudian bangun mengangkat
kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali,
diulanginya perbuatan itu tiga kali.
Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya
di-izinkan
memberikan syafa’at
(bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku,
kemudian saya mengangkat kepala
dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian
saya mengangkat kepala berdo’a minta
untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’.
(HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil
mengangkat tangannya setiap
berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah
Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa
Indonesia) jilid 4 cetakan
pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud
dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan
mengangkat
kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira
setentangnya, dan jika istiqhfar
(mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah
jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya
mengangkat tangan
waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan,
melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan dari Malik
bin Yasar bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak
tanganmu, jangan dengan punggungnya !”
Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia
menadahkan
tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu
berdo’a sambil menadahkan tangan
kepadaNya, dengan demikian do’a
kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra.
menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan
keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan
hadits-hadits diatas ini, cukup buat
kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi
saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi
janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang
mengangkat tangan waktu berdo’a
!. Karena mengangkat tangan waktu
berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada
Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyampingkan hadits lainnya.
Semuanya ini amalan-amalan
sunnah, siapa yang mengamalkan
tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena
membid’ahkan sesat sama saja
mengharamkan amalan tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan
panggilan Sayyidinaa
atau Maulana didepan nama Muhammad
Rasulullah saw., dengan alasan
bahwa Rasulullah saw. sendiri
yang menganjurkan kepada kita
tanpa mengagung-agungkan dimuka
nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang
dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan
hadits-hadits
Rasulullah saw. yang berkaitan dengan
kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu
Dala’ilul-Mahabbah Wa
Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN
Sayyidil-Anam dengan tegas
mengatakan: Menyebut nama
Rasulullah saw. dengan tambahan kata
Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap
muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat
dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah SWT.memerintahkan ummat
Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulullah saw.,
menghormati dan
memuliakan beliau, bahkan
melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaimana kita menyebut nama
orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk
menjaga kehormatan dan kemuliaan
Rasulullah saw. Allah
SWT.berfirman :
“Janganlah kalian
memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang
diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan: Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut
namanya atau memanggilnya dengan
penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi,
tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik
dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali
keharibaan Allah SWT. Yang sudah
jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak
mengindahkan larangan Allah
dalam Al-Qur’an. Sikap demikian
bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah
mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah
memerintahkan ummat Islam supaya
memuliakan dan
mengagungkan
Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi
mengatakan: Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau
hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya
Rasulullah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan
atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah
wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat
penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh
Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat
tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka menyebut atau
memanggil Rasulullah saw. dengan
ucapan-ucapan tadi. Mereka
kemudian menggantinya dengan kata-kata
: Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya
melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan
sebagaimana yang dilakukan orang
sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang
mengisyaratkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath :
8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain
sebagainya. Dalam ayat-ayat ini
Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan
memuliakan
Rasulullah saw., bahkan menyebut
mereka sebagai orang-orang yang
beruntung. Juga firman Allah
SWT. mengajarkan kepada kita
tatakrama yang mana dalam firman-Nya
tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai
Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau
Hai Nabi.
Firman-firman Allah
SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina
atau junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan
pengagungan yang
selayaknya kepada kedudukan dan
martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39
Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan
kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang
sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa
nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak
dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah mentaati para
pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan yang
benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid,
sebagaimana yang terdapat dalam firman
Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang
hingga koyak, kemudian kedua-duanya
memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah
ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa,
penolong dan lain sebagainya.
Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat
Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula
(pelindung) tidak dapat
memberi manfaat apa pun kepada maula (yang
dilindunginya) dan mereka
tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55
disebutkan juga kalimat Maula untuk
Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya
putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan
seseorangalasan apa yang dapat
digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi
Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan
kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang
Nabi yang diimani dan dicintainya
dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi
pemerintahan, kepada para
president, para raja atau menteri,
atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang
mengatakan, bahwa sikap menolak
penggunaan kata sayyid atau
maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martab at beliau saw. Atau
sekurang-kurang hendak
menyamakan kedudukan dan
martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita
ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulullah saw. tanpa diawali
dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.).
Menyebut nama Rasulullah dengan
cara demikian menunjukkan sikap
tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-orang diluar Islam,
seperti kaum orientalis barat
dan lain sebagainya. Sikap kaum
orientalis ini tidak boleh kita
tiru.
Banyak hadits-hadits
shohih yang menggunakan kata
sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi
isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori
dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatny
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits,
bahwasanya
Rasulullah saw.
memberitahu para
sahabatnya, bahwa pada hari
kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah
Ku-muliakan dan
Ku-jadikan sayyid ?” (alam
ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah SWT. telah
memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan
dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan
Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan
martabatnya daripada manusia
lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa
saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula
?
Dalil-dalil orang
yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi:
“Laa tusayyiduunii
fis-shalah” artinya “Jangan
menyebutku (Nabi Muhammad saw.)
sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan
Rasulullah saw. untuk
mempertahankan
pendiriannya itu lupa atau memang
tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata
kerja tusayyidu.
Tidak ada kemungkinan
sama sekali Rasulullah
saw.mengucapkan kata-kata dengan
bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi
bahasanya saja, hadits itu tampak jelas
kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat
membuktikan
kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat
yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam
Jalaluddin
As-Suyuthi menjawab tegas :
“Tidak pernah ada (hadits tersebut),
itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi
dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin
Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli,
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami,
Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan
lain-lainnya, semuanya
mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang
semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan
mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.)
di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz
Al-‘Ajluni dengan tegas mengata-
kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul
Kanzul-‘Ifah
menyatakan tentang
hadits ini: “Kebohongan yang
diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni
jangan mengagungkan aku di
masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan
tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan
tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal
itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini :
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa
Rasulullah
saw.bersabda : “Aku sayyid anak
Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin
ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan,
bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling
mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah
dapat dikalahkan oleh
amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan
At-Turmudzi,
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber
riwayat lain yang diketengahkan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada
hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Aku
sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab
Dala’ilun-Nubuwwah
mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid
kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama
Rasulullah saw. diawali dengan kata
sayyidina diketengahkan
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak . Hadits yang mempunyai isnad shohih ini
berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut:
Rasulullah ! Beliau bertanya lagi:
‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad
bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid
anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para
sahabatnya menyebut nama beliau dengan
kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para
Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari
semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum
muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan
lagi bahwa menggunakan kata
sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. merupakan suatu yang
dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam
Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah
mengetengahkan sebuah hadits,
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya :
“Barangsiapa aku menjadi
maula- nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah
maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun
mengetahui dengan jelas bahwa
Rasulullah saw. adalah
sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga
para ahlu-baitnya
(keluarganya), semua adalah
sayyidina.
Al-Bukhori
meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. pernah berkata kepada
puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au
sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau
tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum
orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa
tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya :
“Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah
mu’mininat (kaum wanitanya
orang-orang yang beriman) atau
sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au
nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya
terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma.
Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada
suatu hari Rasulullah saw.
bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang
sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan
hadits-hadits diatas itu kita
menyebut puteri Rasulullah saw. Siti
Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu
Rasulullah saw. Al-Hasan dan
Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah
(setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa
khoirikum” artinya :
“Berdirilah
menghormati sayyid (pemimpin)
kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh
mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit,
sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad
turun dari keledainya, karena
dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu
Rasulullah saw. tidak menyuruh
mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk
berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya–
Rasulullah saw. melarang para
sahabatnya berdiri
menghormati beliau saw., tetapi
beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri
menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah
artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa
yang dikehendaki oleh
Rasulullah saw. dengan larangan
dan perintahnya
mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru
yang secara terang-terangan minta
dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid
harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian
juga Rasulullah saw. sekalipun
beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak
menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat
Rasulullah saw., harus merasa
wajib menghormati,
memuliakan dan
mengagungkan beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi
orang-orang yang beriman, Nabi
(Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para
isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak
memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa
Rasulullah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai
ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan
tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh
berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan
sebaik-baiknya. Kalian tidak
tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu
ucapkanlah : ‘Ya Allah,
limpahkanlah
shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu
kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulullah) dan
Imamul-Muttaqin
(Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-masing, sebagai tanda
saling hormat-menghormati dan
harga-menghargai. Didalam
Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah
hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam
Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi” . Atas
pertanyaan seorang sahabat ia
menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam
bukunya Miftahul-Falah
mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi
mewanti-wanti
pembacanya sebagai berikut:
“Hendak- nya anda berhati-hati
jangan sampai meninggalkan lafadz
sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang
tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama
pakar cara sebaik-baiknya
membaca sholawat pada Rasulullah saw.
yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai
penggunaan kata sayyidina atau
maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang
menerangkan persoalan itu yakni
menggunakan kata awalan
sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan
apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang
yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.?
Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil
nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil
sayyid dimuka nama mereka !
10.
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari golongan muslimin
diantaranya dari madzhab
Wahabi/Salafi dan
pengikutnya yang melarang orang
menggunakan Tasbih
waktu berdzikir.
Sudah tentu sebagaimana
kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa
Rasulullah saw. para sahabat
tidak ada yang menggunakan tasbih
waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama
‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk
menghitung jumlah banyaknya
dzikir yang diucapkan oleh seseorang,
dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut
dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang
mengatakan bahwa tasbih berasal
dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-orang Hindu. Ada
pula orang yang mengatakan bahwa
pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India.
Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan
Wisnuisme, yaitu 108 butir.
Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga
menggunakan tasbih, meniru
biksu-biksu Budha. Semuanya ini
terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga
kepada Allah SWT. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.. Perintah dzikir bersifat
umum, tanpa pembatasan jumlah
tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT.
dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain
sebagainya.
Sehubungan dengan itu
terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga
kali dengan ucapan Subhanallah , tiga puluh tiga kali
Alhamdulillah dan tiga
puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian
dilengkapi menjadi seratus dengan
ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali
itu terdapat pula hadits-hadits
lain yang menerangkan keutamaan
berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya
hadits-hadits yang
menetapkan jumlah dzikir seperti
itu maka dengan sendirinya orang
yang berdzikir perlu mengetahui
jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara
menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim
berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan :
“Rasulullah saw.
menghitung dzikirnya dengan
jari-jari dan menyarankan para
sahabatnya supaya mengikuti cara
beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah,
seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata :
“Hendaklah kalian
senantiasa bertasbih
( berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan
menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an
Allah SWT.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid.
Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh
Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah : Anjuran
menghitung dengan jari dalam hadits
itu tidak berarti melarang orang
menghitung dzikir dengan cara
lain !!!. Untuk mengharamkan
atau memunkarkan suatu amalan
haruslah mendatangkan nash yang khusus
tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah
yang mengatakan: “Bahwa pada
suatu saat Rasulullah saw.
datang kerumahnya. Beliau melihat
empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan
oleh Shofiyyah untuk menghitung
dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘
Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi;
‘Sesungguhnya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu’ . Shofiyyah menyahut; ‘Ya
Rasulullah, ajarilah aku’.
Rasulullah saw. kemudian berkata;
‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits
hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang
mengatakan :
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat
banyak batu kerikil yang biasa
dipergunakan oleh wanita itu
untuk menghitung dzikir. Beliau
bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih
afdhal/utama ? ’ Sebut
sajalah kalimat-kalimat sebagai
berikut :
‘Subhanallahi ‘adada
maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi,
subhanallahi ‘adada maa baina
dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa
laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu
dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak
makhluk-Nya yang dibumi, Maha
suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji
syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan
tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah saw. melihat Shofiyyah
menggunakan biji kurma
untuk menghitung
dzikirnya, beliau saw. tidak
melarangnya
atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan
jari-jarinya, malah beliau saw.
berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !!
Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang
menggunakan batu
kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak
mengatakan kepada wanita itu,
buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan
jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca.
Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak
ditentukan oleh
Rasulullah saw. jadi terserah
kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum
salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil,
bundelan-bundelan benang
dan lain sebagainya untuk
menghitung dzikir yang dibaca.
Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya
meriwayatkan bahwa seorang sahabat
Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil.
Riwayat ini dikemukakan juga oleh
Imam Al-Baihaqi dalam
Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong
berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari.
Setelah itu ia menyingkirkannya.
Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya
lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan;
‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu
kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh
seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan
menghitungnya dengan batu-batu
kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis
dipergunakan, hamba sahayanya
menyerahkan kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang
mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah
mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur
setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud
mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra.
mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai
sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra
menghitung dzikirnya dengan batu
kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang
mengatakan; ‘bahwa Fathimah
binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110
H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia
menghitung
raka’at-raka’at sholat sunnahnya
dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu
Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam
kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk
menghitung dzikir, antara lain
Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani
dan lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini
baru dipergunakan orang mulai
abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi
yang mengutip keterangan dari gurunya
didalam kitab Tajul-‘Arus
. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang
memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai
hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah
bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah
orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab:
‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT. tidak akan
kutinggalkan’ .(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun
beribadah. Tidak ada berita
riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf
(generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan
penggunaan tasbih , dan
tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah
butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang
disebut-sebut dalam
hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih
ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu
juga untuk menghitung jumlah
dzikir agama Islam tidak
menetapkan cara
tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat
menghitung yang tidak yang
dilarang menurut Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw. itu
mustahab/baik untuk
diamalkan.
Berdasarkan
riwayat-riwayat hadits yang
telah dikemukakan diatas
jelaslah, bahwa menghitung dzikir
bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa
pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap
menggunakan tangan atau jarinya
juga , bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun
kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung
dengan butiran-butiran tasbih
sesungguhnya tidak perlu
dipersoalkan, apalagi kalau ada
orang yang menganggapnya sebagai
‘bid’ah dholalah’. Yang
perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik,
menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunakan tasbih ataukah
dengan menggunakan tasbih
?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil,
biji kurma dll) lebih afdhal/utama.
Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung
dengan menggunakan jari, itulah yang
afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui,
bahwa menghitung dzikir dengan
tasbih disunnahkan
menggunakan tangan
kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut
dalam hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
lain-lain. Dalam soal dzikir
yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutinya. Maksudnya bila
lisan mengucapkan
Subhanallah maka dalam hati juga
memantapkan kata-kata yang sama
yaitu Subhanallah. Allah
SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang
digunakan untuk menghitung
dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah
dholalah/sesat dn lain
sebagainya ??? Semoga Allah SWT.
memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini
insya-Allah bisa membuka hati
kita masing-masing agar tidak
mudah mensesatkan,
mengkafirkan dan
sebagainya pada saudara muslim
kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan
madzhab kita.
11. Bagaimana hukum
menyuguhkan makanan baik kepada
para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah?
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum
menyuguhkan makanan dari pihak
keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh. Hal ini didasarkan pada dua hadits :
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn
Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami
menganggap berkumpul pada
keluarga mayit dan penyuguhan
makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab Hanafi
berpendapat makruh
memberikan makanan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar
juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga
Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama
berpendapat, bahwa yang
disunnatkan
sebenarnya adalah tetangga
keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka,
yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini
diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib
al-arba'ah. Dan ini juga
merupakan praktek warga Nahdliyin, saat ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan membawa beras,
uang serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak bagi yang
bertakziah yang mana makanan itu
berasal dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak mengambil harta dari
keluarga musibah.
b. Ulama yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para
jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama
pra meninggalnya si mayit. Hal
ini didasarkan pada beberapa dalil
antara lain :
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata:
"Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau
menginstruksikan agar Shuhaib
yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan
memerintahkan
menyuguhkan makanan bagi
orang-orang yang datang
bertakziyah." Menurut al-Hafizh
Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Mathalib
al-'Aliyah fi Zawaid
al-Masanid
al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits
no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama
salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam
kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf)
menganjurkan
mengeluarkan sedekah makanan
untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini
kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku
melihat Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam
berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga
luaskanlah pada bagian
kepalanya”, Maka tatkala telah
kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red)
mengundang
(mengajak)
Rasulullah, maka
Rasulullah datang seraya
didatangkan
(disuguhkan) makanan yang
diletakkan dihadapan
Rasulullah, kemudian
diletakkan juga pada sebuah
perkumpulan
(qaum/sahabat), kemudian
dimakanlah oleh mereka. Maka
ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan
bersabda :
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin
pemiliknya”. Kemudian wanita itu
berkata : “wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mengutus
ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada
tetanggaku untuk membeli
kambingnya kemudian agar di
kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk
membelinya) dan ia kirim kambing
itu kepadaku, maka Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda : “berikanlah makanan
ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ;
Misykaatul Mafatih [5942]
At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih
syarh Misykah al-Mashabih [5942]
karangan al-Mulla ‘Alial-Qari,
hadits tersebut dikomentari
shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasululla