Untuk mengetahui perbedaan yang prinsipil antara empat Imam Madzhab, kita mulai dengan sejarah kehidupan mereka.
1. Pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, yang dituliskan hanyalah
Al-Qur’an. Hadits tidak dituliskan. Pada masa Khalifah yang ke III,
Saidina Ustman bin Affan Rda (23 -35H) ayat Al-Qur’an yang ditulis cerai
berai itu dikumpulkan menjadi satu mushaf yang sekarang dinamakan
Mushaf ustman bin Affan Rda.
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, yakni ucapan-ucapan, perbuatan
Beliau yang dinamakan Sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para
Sahabat yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits”. Para Sahabat, Pemangku
Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad wafat maupun sesudahna, telah
mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan
daerah-daerah Islam. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah, di
Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, Iraq, Yaman, Persia,
Hadharal-maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan kabarnya ada yang sampai ke
Timur jauh, ke Tiongkok dan lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang
ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi
tersimpan dalam ribuan dada dan hati Sahabat-Sahabat Nabi yang telah
mengembara ke sana-sini.
3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H sampai
70 H (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hokum-hukum dalam pengadilan
dipegang oleh para Sahabat Nabi.
Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum
sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab suci Al-Qur’an dan
banyak pula diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di luar kepala.
Sesuatu persoalan yang datang / timbul ditetapkan hukumnya sesuai
dengan Al-Qur’an dan sesuai pula dengan Hadits yang dihafalnya. Apabila
ia tidak banyak menghafal Hadits, maka ditanyaklan kepada kawannya
sesame Sahabat, kiranya diantara mereka ada yang menghafal Hadits yang
dapat dipakai dalam menghadapi persoalan yang baru timbul.
Masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak
banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi
seakan-akan sudah menjadi dua golongan:
- Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah Pemangku Hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan Hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya tanpa komentar tentang isinya. Golongan ini dinamakan “Ahli Riwayah”, yakni golongan yang menyampaikan/ merawikan Hadits- hadits.
- Golongan kedua yang jumlahnya lebih sedikit, selain Pemangku Hadits, juga berfatwa dan menghadapi hokum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan golongan “Mufti”, “Fuqaha” atau “Pemberi Fatwa”. Tidak banyak Sahabat yang masuk golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.
4. Kemudian tibalah masa Tabi’in yaitu masa orang-orang
berjumpa/berguru dengan/kepada Sahabat Nabi. Orang-orang ini tidak
berjumpa dengan nabi. Para Tabi’in aktif sekali , selain mempelajari
bermacam-macam ilmu juga menerima Hadits-hadits Nabi dari para
Sahabat-sahabat.
Para Tabi’in ini sudah besar jumlahnya dari jumlah Sahabt karena setiap Sahabt mengajar 10 sampai 50 orang Tabi’in.
Para Tabi’in itu setelah belajar dari Sahabat, lantas bertebaran
keseluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim
dalam pelbagai pengadilan.
Masa Tabi’in ini dapat kita katakana dari tahun 70 H s/d 130 H (yaitu kira-kira 60 tahun).
Para Tabi’in ini sama juga dengan para Sahabat, terbagi dalam dua golongan tadi, yaitu
- Golongan pertama, yaitu pemangku Hadits saja (perawi)
- Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa, menjadi Qadli, menjadi Mufti dan menjadi Muballigh.
Diantara para Tabi’in terdapat seorang Ulama Besar di Kufah (Iraq)
namanya, Nu’man bin Tsabit. Asalnya dari Persia dan kemudian menetap di
Kufah dekat Bagdad. (Lahir 80 H, Wafat 150H)
Beliau ini Ulama Besar sehingga sampai derajat ilmunya kepada bisa menjabat Imam Mujtahid.
Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Al Qur’an dan
Hadits) dan beliau menjadi Imam Mujtahid dalam Ilmu Fiqih yang kemudian
dinamai Madzhab Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit atau Madzhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu :
Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan
bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.
Guru-gurnya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari
Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang
belum ditanyakan.
5. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang
Ulama Besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pembangun Madzhab
Maliki. (Lahir 93H – Wafat 179H)
Beliau hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in (orang yang berjumpa
dengan Sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang telah berjumpa
dengan Sahabat Nabi)
Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93H dan Imam Hanafi tahun 80H.
Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda
Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal
di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai,
hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli
tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama
fungsinya.
Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’
Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki
dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.
Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal
hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari
gurunya.
Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya,
diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau
kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai
untuk dasar hukum.
Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah waktu itu,
boleh dikatakan hanya didiami semula oleh nabi dan Sahabat-sahabat
Beliau, kemudian oleh Tabi’in dan sesudah itu Tabi’ Tabi’in. Orang yang
tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dari luar daerah
tetapi bukan Sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun
berjumpa tetapi tidak iman dengan Nabi dan orang yang bukan Tabi’in
(orang yang berada di Madinah tetapi tidak berjumpa dengan Sahabat,
karena berada tinggal di pinggir kota, sehingga tidak berjumpa dengan
Sahabat Nabi). Orang yang demikian tidak ada di Madinah pada zaman Imam
Maliki.
Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Maliki memakai pula dasar “amalan orang Madinah” sebagai dasar hukum
6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi’
Tabi’in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian ternyata pembangun
Madzhab Syafi’I Rhl.
Imam Syafi’I sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.
Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian
pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi
ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul
dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari
sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga,
bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits,
untuk pengetahuan agama.
Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’I Rhl, lebih banyak mendapatkan
hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam
Hanafi dan Imam Maliki.
Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau
banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa
lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).
Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah
berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu
beliau banyak sekali mendapat Hadits.
7. Pada tahun 164H , lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama
Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’I 14 tahun. Beliau
wafat tahun 214H, yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam Syafi’I Rhl.
Barang siapa yang mempelajari riwayat Imam hanbali ini, ia akan kagum
dengan ke’alimannya, ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan,
kezuhudannya dengan harta dunia dan kepintarannya yang luar biasa.
Beliau Imam Hanbali belajar Agama di Baghdad dengan Ulama-ulama Tabi’ Tabi’in.
Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu
kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam
Syafi’I Rhl, ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang
bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurnya. Sebagai bukti
atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau
sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah
menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian
terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh
ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang
10.000.000 itu.
Di antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan
perbedaan dalam cara-cara mengagali hukum (istinbath) dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa / permasalahan yang terjadi.
Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al-Qur’an untuk menjadi
dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni
mula-mula sekali melihat dan mencari hukum dalam Al-Qur’an.
Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada hukumnya dalam Al-Qur’an,
syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang
kedua yaitu Hadits / Sunnah Rasul.
Berikut daftar ringkas mengambil hukum dikalangan Imam Mujtahid yang empat.
a. Sumber Madzhab Hanafi
- Al-Qur’an
- Hadits Nabi yang kuat , sahih-sahih dan masyur saja
- Ijma’ sahabat Nabi
- Qiyas (pendapat)
- Ihtisan (pendapat, kebaikan umum atau yang “lebih baik”).
b. Sumber Madzhab Maliki
- Al-Quran
- Hadits Nabi yang sahih menurut pandangan beliau.
- Amalan para Ulama Ahli Madinah ketika itu.
- Qiyas (pendapa)
- Masalihul-mursalah (kepentingan umum)
c. Sumber Madzhab Syafi’i
- Al-Qur’an
- Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (hadits shahih mutawatir, hadits shahih aahaad, hadits shahih masyur)
- Ijma’ para Mujtahid
- Qiyas
d. Sumber Madzhab Hanbali
- Al-Qur’an
- Ijma Sahabat nabi
- Hadits, termasuk hadits mursal dan hadits dha’if.
- Qiyas (pendapat)
Nah, dengan pendapat yang berbeda-beda ini dapatlah kita ketahui
dalam 4 Madzhab itu muncul hukum-hukum yang berlainan karena asalnya
perbedaan prinsip dalam sumber hukum dan cara memakai hadits-hadits itu.
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Dunia Islam dari dulu sampai
sekarang telah menerima dan mengikuti madzhab-madzhab itu. Tidak seorang
pun dari mereka yang membantah. Jadi seolah-olah ijma’ (sepakat), yang
tidak bisa diganggu gugat lagi.
Dari Mekkah, sampai Madinah, sampai Kufah dab Baghdad terus ke Mesir,
Maroko, Spanyol sampai ke pelosok-pelosok Afrika dan dari Timur sampai
ke Persi, ke India, ke Thailand, ke Indonesia, ke Philipina dan bahkan
sampai ke Amrika, kesemuanya adalah penganut Madzhab
Jadi, melarang orang mengikut madzhab adalah bertentangan dengan ijma’ dan berlawanan dengan dunia Islam.
Di mesjid Mekkah berabad-abad lamanya didirikan tempat-tempat khusus
bagi Imam-imam yang berempat, ada maqam Hanafi, ada maqam Maliki, ada
maqam Syafi’I, dan ada maqam Hanbali. Setiap maqam itu mempunyai sepihak
Ka’bah.
Rupanya sudah satu isyarat dari Tuhan yang menjadikan Ka’bah bersegi
empat, sehingga setiap Imam yang berempat mempunyaiu satu segi.
Walaupun sekarang pada zaman pemerintahan Wahabi maqam-maqam itu
sudah ditiadakan dengan alasan untuk memperluas tempat Thawaf, akan
tetapi madzhab-madzhab itu berjalasn terus dan penguasa-penguasa Wahabi
menganut madzhab Hanbali dalam furu’ syariat.
Sumber: Sejarah & Keagungan MADZHAB SYAFI’I, K.H Siradjuddin Abbas
http://mutiarazuhud.wordpress.com/