1.
Makna “KULLU BID’AH
DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in
hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu
berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk
hidup.Karena Allah juga
berfirman menceritakan tentang
penciptaan jin dan Iblis yang
berbunyi : Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemahkan secara mutlak
dengan arti : SETIAP/SEMUA,
sebagaimana umumnya jika merujuk ke
dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN
dhalalah,. Maka harus
diartikan:
Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu
adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat,
karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi saw., yang lain:
Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha.
Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia
mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh
Nabi saw. dan dijanjikan pahala
bagi pencetusnya, serta tidak
dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah
(menciptakan perbuatan baik)
adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`,
maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU
BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya
:
1. Adanya sebagian masyarakat
yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena
berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan
ma’amalah), padahal sama-sama
mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling
benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di
dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut
SANNA (menciptakan perbuatan baik).
Contohnya:
- Adanya sekelompok
orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-toko h beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagori kan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat
sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan,
adalah masalah ijtihadiyah yang
tidak didapati tuntunannya
secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi
tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dalil dari
Alquran-Hadits yang dijadikan
dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara
ma`nawiyah. Antara lain adanya
ayat Alquran-Hadits yang
memerintahkan shalat sunnah
malam (tahajjud), dan adanya
perintah menghidupkan malam di bulan
Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan
shalat sunnah malam (tahajjud)
di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah
jelas-jelas perbuatan BID`AH
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian
masih dapat dikatagorikan sebagai
perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa
untuk mayyit, melaksanakan
perayaan maulid Nabi saw. mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun
amalan-amalan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara
ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan
masyarakat), bahwa isi kegiatan
tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini
jelas-jelas adalah perintah
Alquran-Hadits. Dalam kegiatan
tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang
jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang
disabdakan oleh Nabi saw. :
Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas,
bahwa menghadiri majelis ta`lim
atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah
syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara
tahlilan di rumah-rumah penduduk
adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada
dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan
tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat
pemancar radio atau menerbitkan
majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang
bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran.
Sebagaiman di dalam sabda beliau
saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu.
Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiapa menulis dariku
selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut
dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi
batasan-batasan yang sangat
ketat dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan
penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah
mencetuskan pemahaman dan
pemikirannya, tanpa ada
syarat-syarat yang mengikat,
selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi
kandungannya jauh dari standar
kebenaran syariat.
Contohnya, dalam
penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat
berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk
diterima-tidaknya Hadits yang
diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang
semacamnya, jika berisi
nilai-nilai kebaikan yang
sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat
majalah atau bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh
ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat
dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan
yg suka membid’ah-bid’ahkan
(sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan
dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih
“Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah
dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di
atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak
mencontohkan ataupun
memerintahkannya.
Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan
dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi
saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan
kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau
amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal
berkata, “Aku tidak mengamalkan
amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di
malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku
itu”.Dalam riwayat at Turmudzi
yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata
kepada Bilal, ‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak
mengumandangkan adzan melainkan
aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku
mewajibkan atas diriku untuk
shalat (sunnah).” Maka Nabi saw.
bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarkan syarat keduanya
(Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal)
melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi
saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat,
bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang
Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca,
sami’allahu liman hamidah (Allah
maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca,
“Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami,
hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang
membaca kalimat-kalimat tadi?”
Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala
bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar,
“Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa
yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak
menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani
meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata :
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و
أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapka
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw.
bersabda, “Aku benar-benar
menyaksikan
pintu-pintu langit terbuka untuk
menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja
redaksi yang ia riwayatkan:
“Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua
belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah
meningglakannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda
demikian.”
Di sini diterangkan
secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan
shalat yang tidak/ belum pernah
dicontohkan atau diperintahkan
oleh Rasulullah saw. Dan reaksi
Rasul saw. pun membenarkannya
dengan pembenaran dan kerelaan yang
luar biasa.
Al hasil, Rasulullah
saw. telah men-taqrîr-kan
(membenarkan) sikap sahabat yang
menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia
berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap
kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad
sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya.
Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan
dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau
pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia
menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan
apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami
kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka
meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka
keberatan dengan apa yang dilakukan.
Demikian pada setiap raka’atnya
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai
fulan, apa yang mencegahmu
melakukan apa yang diperintahkan
teman-temanmu? Apa yang
mendorongmu untuk selalu membaca
surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku
mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan
jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak
diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan
dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu
merestuinya. Jawaban orang
tersebut membuktikan motifasi
yang mendorongnya melakukan apa
yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia
menyimpulkannya dari dalil umum
dianjurkannya
berbanyak-banyak berbuat
kebajikan selama tidak bertentangan
dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah
al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang
kontinyu diklakukan Nabi saw.
adalah yang seharusnya
dipelihara, akan tetapi ia
memberikan kaidah umum dan bukti
nyata bahwa praktik-prakti
seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan
yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan
dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin
sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah
tertentu kemudian ia menutupnya
dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka
melaporkannya kepada nabi saw.,
maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya
kepadanya, ia menjawab “Sebab
surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka
membacanya.” Lalu Nabi saw.
bersabda, “Beritahukan kepadanya
bahwa Allah mencintainya.”
(Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi
saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan
mengatakan bahwa Allah
mencintainya.
3. Pertanyaan
Orang-orang yang tidak
sependapat dengan amalan warga
NU biasanya membidahkan amalan warga
Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut :
- Barangsiap
a menimbulka n sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhn
ya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah , dan sebaik-bai k jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-bu ruk urusan agama ialah yang diada-adak an. Tiap-tiap yang diada-adak an adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-oran
g yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasululla h Saw.) tiada maka tunjukkanl ah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyakl ah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanla h mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-oran g yang dikhawatir kan meniru-nir u bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatk an derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahaw i)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-oran
g sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukiny a. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah ?" Beliau menjawab, "Orang-ora ng Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada:
kesesatan sesudah memperoleh
pengetahua n, fitnah-fit nah yang menyesatka n, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiap
a menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan , "Ya Rasulullah , apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-a dakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-oran g kepadanya. " (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami
terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah,
persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku
menciptakan ibadah baru yang
bertentangan dengan ajaran
Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku
itu bertentangan dengan Alquran,
falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih
(janganlah kalian duduk dengan
mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum
diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku
“Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada
tuntunannya
sedikitpun di dalam Islam.
Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk
mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam,
bahkan ada perintahnya
baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai
dengan
- Mengumpulk
an masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah ? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah,
tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? - Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas,
Al-alaq-An naas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanalla
h, astaghfiru llah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah .
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanak
an ikramud dhaif, menghormat i tamu sesuai dengan kemampuann ya.
Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat
kemampuannya, tak ubahnya saat
Akhi/keluarga Akhi
melaksnakan
pernikahan dengan suguhan untuk
tamu, yang disesuaikan dengan
kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang
dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen
dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah
yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah
Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi
mengajarkan shalat sunnah
Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada
yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat
kekhalifahan Sahabat Umar,
beliau berinisiatif
mengumpulkan semua
masyarakat untuk shalat Tarawih
dengan berjamaah,
dilaksanakan 20 rakaat penuh di
dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi
(sebaik-baik bid’ah adalah ini =
pelaksanaan tarawih 20 rakaat
dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh).
Bid'ahnya sahabat Umar ini
terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini
bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan
mengkhatamkan Qur’an. Hal ini
sama lestarinya dengan bid'ahnya
para Wali songo yang mengajarkan
tahlilan di masyarakat Muslim
Indonesia. Jadi baik Sahabat
Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan
para pengikutnya umat Islam
Indonesia, adalah pelaku BID'AH
HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami
sunnatan hasanatan, fa lahu
ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik
(Barangsiapa yang memberi contoh
sunnatan hasanatan (perbuatan
baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan
kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah
mengumpulkan
pundi-pundi pahala yang sangat
banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah
maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru
tetap dilakukan. Umat islam
mengakuinya berdasar
dalil-dalil yang shahih. Simak
berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal
ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra.
Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran
ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang
dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan,
dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul
saw. pernah melarang menuliskan
hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru
digalakkan sejak era Umar ibn Abdul
Aziz, sekitar abad ke 10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa
Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul
saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel
berbintang penuh fasilitas
kemewahan, tenda juga diberi fasiltas
pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau
kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam
pengajarannya dipakai sistem
klasikal.
dan masih banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini
mengenai faham Salafi/Wahabi dan
pengikutnya, marilah kita teruskan
mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta
wejangan/ pandangan para ulama pakar
tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh
mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-hadapan dalam memahami
ucapan-ucapan
Rasulullah saw. sebagai
Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum
syari’at). Sunnah dan bid’ah
masing-masing tidak dapat
ditentukan
batas-batas
pengertiannya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas
pengertiannya lebih dulu. Tidak
sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya
mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka
menetapkan batas
pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh
kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulullah saw.
menekankan soal sunnah
lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra.
bahwa Rasulullah saw. bila
berkhutbah tampak matanya
kemerah-merahan dan dengan suara keras
bersabda :
‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah
Kitabullah
(Al-Qur’an) dan
petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw.
Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat’ . (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud
ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
‘Barangsiapa yang
didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar
lagi hadits-hadits yang semakna
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok
yang telah disepakati bulat oleh
para ulama menetapkan;
‘Pengertian berdasar
kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’ .
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang
diada-adakan yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk
Rasulullah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat bahwa
jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi
jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang
menyimpang dan
berlawanan dengan sunnah adalah
Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam
kitab Mufradatul-Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata
sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah
Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Sunnatullah dapat
diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan
mentaati-Nya. Contoh firman Allah
SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak
akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah
bahwa cabang-cabang hukum
syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan
tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT.
Demikianlah menurut
penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan:
‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti
adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh
orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai
peribadatan maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia
mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata
sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna
thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah
dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya,
yaitu persoalan-persoalan yang
tidak dilakukan, tidak diucapkan
dan tidak diperintahkan oleh
beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau
sunnah yang ditempuh Rasulullah
saw. dalam membenarkan, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri
persoalan-persoalan itu kita
dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw.
Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau
saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan
Sunnah Rasulullah saw., itulah yang
kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita
dapat membedakan lebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang
benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan
petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga
diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan
Rasulullah saw. tidak menjadi
sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan
oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti.
Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh
beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak
bertentangan dengan tuntunan dan
petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik
yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak
dilakukan dan tidak diperintah-
kan secara khusus oleh Rasulullah
saw. !
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukkan bahwa
Rasulullah saw. sering
membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir,
do’a dan lain sebagainya) yang
diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan
mengerjakan- nya
berdasarkan pemikiran dan
keyakinannya sendiri, bahwa yang
dilakukan- nya itu merupakan
kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka
berpedoman pada firman Allah
SWT. dalam surat Al-Hajj:77 :
‘Hendaklah kalian
berbuat kebajikan, agar kalian
memperoleh
keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa
masing-masing, itu tidak
berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa,
karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang
prakarsanya diambil oleh para
sahabat Nabi saw. berdasarkan
ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah
Rasulullah saw. jika amal
kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan
syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syari’at, tidak bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., dan tidak
mendatangkan
madharat/akibat buruk, tidak dapat
disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Rasulullah
saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya
menurut pengertian
bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja
dengan berdalil sabda Rasulullah saw.
“Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”),
serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan
sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bid’ah,
maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang
haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada
hadits–hadits lain
(keterangan lebih mendetail baca
halaman selanjutnya) yang
membuktikan sikap
Rasulullah saw. yang
membenarkan dan meridhoi
berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang
sebelum dan sesudahnya tidak ada
perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang
dikerjakan setelah wafatnya
Rasulullah saw. umpamanya oleh
isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat
lainnya yang mana amalan-amalan
ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan
bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat
yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah
itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah
selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan
ulama Fiqih memisahkan makna
Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim ;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَةٌ
وَبِدْعَةِ
مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ
يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ
فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-p
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan
ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar
yang sependapat dengan Imam
Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam
Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik
termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah
terjadi di masa Rasulullah saw.
Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap
terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram,
wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari
4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat
bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik
menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu
yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka
dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi
kepada hukum-hukum yang
lima ”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam
risalahnya Husnul Maqooshid fii
‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih;
Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh
hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh
mukaffarah (bidáh kufur), bidáh
muharramah (bidáh haram) dan
bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah,
seolah-olah mubah itu tidak
termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki
Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama
(diantaranya Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah
itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang
menyelewengkan agama, dan belajar
bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan
Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah,
mengumandangkan adzan diatas
menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa
pertumbuhan Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-masjid dengan
hiasan-hiasan yang bukan pada
tempatnya,
mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan
lukisan-lukisan dan
gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunakan saringan (ayakan),
memberi warna-warna pada makanan
(selama tidak mengganggu
kesehatan), memakai kopyah,
memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan
yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak
mengandung
kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian
amalan-amalan para sahabat serta
para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh
sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkinan ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu
beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel
kesarjanaan seperti; doktor, drs
dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman
Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka
memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah
sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan
sebagainya adalah haram. Sebab
dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang
dilaksanakan pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat
Jum’at baik di Indonesia, di
masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada
huruf-hurufnya, memberi nomer
pada ayat-ayatnya. Mengatur juz
dan rubu’nya dan tempat-tempat
dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan
sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang
diperintahkan Allah SWT. kepada
ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin
pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang
penggunaan
pesaw.at-pesaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, raket-raket dan
persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran
waktu memperingati hari
kemerdekaan, halal bihalal,
memperingati hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau
pabrik dan sebagainya (pada
waktu memperingati semua ini
mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini
belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau.
Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadatan tidak sesuai dengan
zamannya Rasulullah saw. atau
para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan
kepanasan, nyenyak tidur,
menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat
yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah
baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para
pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti
haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat),
maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak
sedangkal itu.
Sebagaimana telah
penulis cantumkan sebelumnya
bahwa para ulama diantaranya
Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para
ulama lainnya menerangkan:
“Bid’ah/masalah baru yang
diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal
kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf
sepeninggal
Rasulullah saw. telah diteliti
para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata
baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima.
Sebaliknya, bila setelah diuji
ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah
tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang hidup
pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa
hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat
gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu
sebelum Mekkah , mengusap-usap
mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain
sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan
pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha
(Palestina), tempat
khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan: “Kalau hal-hal
itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini
sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu
banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain
soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri
Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu
ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa
(sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di
Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu.
Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan
tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1
halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri
berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin
Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah
ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan
kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab :
“Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah
mengatakan sendiri bahwa dia
sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar)
mengatakan sholat dhuha adalah
bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang
pelakunya akan dimasukkan ke
neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut
bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau
dikerjakan oleh isteri Nabi atau para
sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa
disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam
pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah
mustanbathah yakni sunnah
yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau
hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul
Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa
apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil
bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang
yang mendalami ilmu ushuluddin
mengetahui bahwa
Asy-Syar’i
(Rasulullah saw.)
menyebutnya bid’ahtul
hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan
Rasul-Nya) sunnah, dan
menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung ’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian
memperoleh
keuntungan” .
(Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ
(ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ
عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukka
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda :
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang
baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
melaksanakannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun, dan
barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang
jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa
orang-orang yang
mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat
sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh
Rasulullah saw. dan para
Khulafa’ur
Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah
saw. dan Khulafa’ur
Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah
hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia
daripada perkara-perkara
keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah
sayyiah/buruk adalah sesuatu
yang diada-adakan oleh manusia
daripada perkara-perkara
keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan
mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan
satu bentuk pembatasan hadits dengan
tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut
membenarkan adanya
gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits
itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa
ada contoh yang mendahului baik
dia itu dari perkara-perkara
dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini :
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah
Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu
Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah
yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah
para penerus kepemimpinan
beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat
Khalifah sepeninggal
Rasulullah saw. saja ,
tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah
ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin
berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan
seterusnya; dari generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 :
“Sekiranya mereka
menyerahkan (urusan
itu) kepada Rasulullah dan
Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin
mengetahui
kebenarannya (akan dapat)
mengetahui dari mereka
(ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan
kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan
beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra.
menegaskan : “Allah telah memilih
Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih
sahabat-sahabatnya. Karena itu apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “
. Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan
(hadits baik).
Dengan pengertian
penakwilan kalimat sunnah
dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa
keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah
sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah
mencampur-aduk kata bid’ah itu
antara penggunaannya yang
syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah
terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits
hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan
dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap
perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud
yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan
dasar-dasar syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang
maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at dan
inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang
memasukkan semua perkara baru
yang tidak pernah dikerjakan
oleh Rasulullah saw., para
sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah
dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus)
untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang
demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul
berdasarkan
penggunaannya yang lughawi. Karena
tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan
tuduhan mengharamkan
amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah
diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf
(kebaikan) yaitu semua perbuatan yang
mendekatkan kita
kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga
orang yang menunjukkan kepada
kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang
kalimatnya: semua bid’ah
dholalah dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang
menganjurkan manusia selalu
berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus
berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual
kalimatnya saja tapi memahami
makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama
lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadatan saja. Termasuk juga
kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim
dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni
kecuali oleh orang yang bersangkutan,
sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep
tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus
berhati-hati untuk tidak melanggar
hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun
tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang
bersangkutan telah memberi maaf.
5. Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT.
atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa
hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang
sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau
diperintah- kan oleh
Rasulullah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam
bidang kebaikan itu malah dianjurkan
oleh agama dan mendapat pahala.
Hadits dari Abu Hurairah : “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh :
‘Hai Bilal, katakanlah
padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat,
sebab aku mendengar suara terompahmu
didalam surga’ . Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling
kuharapkan ialah aku selalu suci
tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
‘Hendaklah kamu
sholat sebagaimana kalian melihat aku
sholat’ . (HR Bukhori).
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung
kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang
diniatkan, siapa yang hijrahnya
(tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat’.
‘Barangsiapa yang
didalam agama kami mengadakan sesuatu
yang tidak dari agama ia tertolak’.
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya
(oleh Rasulullah), maka
berhentilah
(mengerjakannya) ’.
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku
melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai
daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan
nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku
mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang
menjadi pendengarannya dan
dengan itu ia mendengar, Akulah
yang menjadi penglihatannya dan
dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan: Dari hadits tersebut
dapat diperoleh pengertian, bahwa
ijtihad menetapkan
waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada
Rasulullah
saw.adalah hasil istinbath
(ijtihad)-nya sendiri dan
ternyata dibenarkan oleh beliau saw.
(Fathul Bari jilid 111/276).
Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat
menghadapi orang muslim yang mati
terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan
waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya
sendiri-sendiri.
Rasulullah saw. tidak
memerintahkan hal itu dan tidak
pula melakukannya, beliau hanya
secara umum menganjurkan supaya
kaum muslimin banyak beribadah.
Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat
itu.
Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal
dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’
beliau saw. mengucapkan
‘sami’allahu liman hamidah’. Salah
seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana
lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan
kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang
berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah.
Rasulullah saw. berkata : ‘Aku
melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’
“.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk
membolehkan membaca suatu dzikir
dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika
ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau
bertentangan dengan dzikir yang
ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu,
hadits tersebut mengisyaratkan
bolehnya mengeraskan suara bagi
makmum selama tidak mengganggu
orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat
selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan
(diwajibkan). Juga hadits itu
memperbolehkan orang
mengeraskan suara diwaktu shalat
dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah
bin Shiddiq Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra.
“Seorang dengan terengah-engah
(Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia
mengatakan (dalam
sholatnya)
al-hamdulillah hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah
dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah
Rasulullah saw. selesai dari
sholatnya, beliau bersabda :
‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ?
Orang-orang diam. Lalu beliau saw.
bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang
tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas
malaikat memburunya dengan cepat,
siapakah diantara mereka (para malaikat) yang
mengangkatkannya
(amalannya ke Hadhirat
Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang
mengatakan: “Pada suatu
saat Rasulullah saw. menugas-
kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan
kaum musyrikin. Tiap sholat
berjama’ah, selaku imam ia
selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah
Al-Fatihah. Setelah mereka
pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada
Rasulullah saw. Beliau
saw.menjawab :
‘Tanyakanlah kepadanya apa yang
dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang
bersangkutan menjawab :
‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu
disampaikan kepada
Rasulullah saw. beliau berpesan :
‘Sampaikan kepadanya
bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak
pernah diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Itu hanya
merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu
Rasulullah saw. tidak
mempersalahkan dan tidak pula
mencelanya, bahkan memuji dan
meridhoinya dengan ucapan “Allah
menyukainya”.
Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari
Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang
menunaikan shalat dimasjid Quba.
Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah
Al-Fatihah dan satu surah yang
lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum
menegurnya: Kenapa anda setelah
baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah
Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih
surah yang lain dan meninggalkan
surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain !
Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau
mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng-
imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan
utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah
mereka menemui Rasulullah saw.
dan menceriterakan hal tersebut
pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa
sesungguhnya yang membuatmu
tidak mau menuruti permintaan
teman-temanmu dan terus menerus
membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab:
‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai
Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan
memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya
Al-Fath mengatakan
antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah
ditentukan karena terdorong oleh
kecintaannya kepada surah
tersebut. Namun Rasulullah saw.
menggembirakan orang itu dengan
pernyataan bahwa ia akan masuk
surga. Hal ini menunjukkan bahwa
beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul
Munir menjelaskan
makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat
mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.
Selanjutnya ia
menerangkan; ‘Seumpama orang itu
menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin
Rasulullah saw. akan
menyuruhnya supaya belajar
menghafal Surah-surah selain
yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan karena sangat
mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga
menunjukkan, bahwa orang boleh
membaca berulang-ulang Surah
atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkutan
tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik
para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah
sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang
tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. Sedangkan
sunnah-sunnah yang tidak pernah
dijalankan atau
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. bila tidak keluar dari
ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta
oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada
Allah SWT.
Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits tentang
Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id
Al-Khudriy ra. yang
mengatakan, bahwa ia mendengar
seorang mengulang-ulang bacaan Qul
huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id
Al-Khudriy ra)
memberitahukan hal itu kepada
Rasulullah saw., dalam keadaan
orang yang dilaporkan itu masih
terus mengulang-ulang
bacaannya.
Menanggapi laporan Sa’id itu
Rasulullah
saw.berkata : ‘Demi Allah
yang nyawaku berada ditanganNya, itu
sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan
didalam Al-Fathul-Bari ;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin
Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan, bahwa sepanjang
malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar
adalah saudaranya seibu (dari
lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang
sama diriwayatkan juga oleh
Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
Ashabus-Sunan, Imam Ahmad
bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya
meriwayatkan sebuah hadits
berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku
bersama Rasulullah saw. masuk
kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang
menunaikan sholat sambil berdo’a;
Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad,
Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar
do’a itu Rasulullah saw. bersabda;
‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha
Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a
kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng-
gembirakan dari
Rasulullah saw. itu disusun
atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a
yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan
ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw.
menanggapinya dengan baik,
membenarkan dan
meridhoinya.
Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat
bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang
mengucapkan ‘Allahu Akbaru
Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’ . Setelah selesai
sholatnya, maka
Rasulullah saw. bertanya;
‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum;
Wahai Rasulullah, akulah yang
mengucapkan
kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau
saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’ . Kata Ibnu Umar: Sejak aku
mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah
meninggalkan untuk
mengucapkan
kalimat-kalimat tadi.” (HR.
Muslim dan Tirmidzi).
As-Shan’ani
‘Abdurrazzaq juga
mengutipnya dalam
Al-Mushannaf .
Demikianlah bukti yang
berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan
Rasulullah saw.
terhadap prakarsa-prakarsa baru yang
berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar
mengamalkan hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulullah saw.
tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan
lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat
shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits
Rasulullah saw. sendiri yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a
qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah
bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut
menshahih-kannya serta para
ulama lainnya diantaranya Hafiz
Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam
Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni
dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan
bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas
atas prakarsanya para sahabat
sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi
saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem
pengobatan dengan jalan berdo’a kepada
Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada
pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada
orang-orang suku tersebut agar
bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui
itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang
dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala
suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup
menyembuhkannya tapi dengan
syarat suku badui mau memberikan
makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi
kepala suku lalu membacakannya
surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa
berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing
sesuai dengan perjanjian.
Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan
Rasulullah saw., mereka
menceriterakan apa yang telah
mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah
al-Fatihah itu dapat
menyembuhkan’?
Rasulullah saw.
membenarkan mereka dan ikut
memakan sebagian dari daging kambing tersebut “.
(HR.Bukhori)
Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah
Abu Daud, At-Tirmudzi
dan An-Nasa’i mengetengahkan
sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang
mengatakan; “Pada suatu hari ia
melihat banyak orang bergerombol
dan ditengah-tengah mereka
terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman
Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang
itu (yang dimaksud Rasulullah
saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara
lirih membaca surat Al-Fatihah,
dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga
diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam
Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa
dan ijtihadnya sendiri yang
tidak dijalani serta dianjurkan
oleh Rasulullah saw. Semuanya
itu diridhoi oleh Rasulullah
saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak
diperintah atau
dianjurkan oleh
Rasulullah saw. sebelum atau
sesudahnya. Karena semua
itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan
mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan
sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil
ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal
kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi
masyarakat muslim khususnya
malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah
shalat yaitu suatu ibadah pokok dan
terpenting dalam Islam.
Sebagaimana
Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang
berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw.
memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari
batas-batas yang telah
ditentukan oleh syari’at dan
juga bernafaskan tauhid. Bila
ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah
hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh syari’at, pasti
akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang
disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh
masyarakat muslimin pada abad pertama
Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah
dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya, banyak
menetapkan hal-hal yang bersifat
mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupannya
masing-masing dalam menguasai
ilmu pengetahuan, giat melakukan
ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal
ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya
telah dimengerti oleh kaum
muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaban) ayat-ayat suci
Al-Qur’an,
sebagaimana yang telah kita
kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa
sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa
pengkodifikasian ayat-ayat suci
Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam.
‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya
para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan
kekhawatirannya itu kepada
Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar
dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah
saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang
baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT.
membukakan pikiran Khalifah Abu
Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra,
dan akhirnya bersepakatlah dua
orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan
diperintahkan supaya
melaksana- kan
pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang
dikemukakan oleh Imam Bukhori
dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243
mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada
masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu
Rasulullah saw. masih hidup.
Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin
Tsabit sendiri masing-masing
telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah
saw. sehingga dapat menyetujui
dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada
zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah
Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan
tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami
kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Hadits-hadits diatas itu
mengisyaratkan adanya bid’ah
hasanah, karena Rasulullah
saw. membenarkan serta
meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk
kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum
menetapkan atau
memerintahkan
amalan-amalan tersebut. Begitu juga
prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa
Rasulullah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai
tujuan dan niat mendekatkan diri
untuk mendapatkan ridha Allah
SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir)
kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat
diterima.
Sebagaimana hadits
Rasulullah saw. :
اِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالْنـِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى,
فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguh
Sekiranya orang-orang
yang gemar melontarkan tuduhan
bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap
Rasulullah saw. dalam meng-
hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan
dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai
orang lain yang tidak sependapat atau
sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan
mensesatkan para ulama yang
tidak sepaham dengannya. Mereka
ini malah mengatakan; ‘Bahwa
para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka
pintu selebar-lebarnya bagi kaum
Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa
pengertian yang benar
mengatakan, bahwa semua bid’ah
adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya
berlindung pada Allah SWT. atas
pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil
yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang
egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang
mengingkari hal tersebut.
Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan
pengingkar ini selalu
menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah
secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai
dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits
Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adak
Juga hadits Nabi saw. :
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و
مسلم)
‘Barangsia
Hadits-hadits tersebut
oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat
umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia
tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu
(setiap/semua) pada hadits
diatas ini tersebut mereka menetapkan
apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta
sebelumnya tidak pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. adalah bi’dah
dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa
maslahat/kebaikan dan termasuk
yang dikehendaki oleh agama atau
tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat
yang menambahkan
bacaan-bacaan dalam sholat yang
mana sebelum dan sesudahnya
tidak pernah diperintahkan
Rasulullah saw. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama
sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan
pengingkar dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu
amalan, adalah kata-kata sebagai berikut :
“Rasulullah saw.
tidak pernah memerintahkan dan
mencontohkannya. Begitu juga
para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para
tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan
kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak
dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan
para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin
diperintahkan untuk mengikuti
Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau
lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus
menjauhkan diri dari sesuatu
yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi
adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti
itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan
pengingkar ini juga sering mereka
jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan
yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung
menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya
haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih
namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw.
atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan,
peringatan keagamaan dan lain
sebagainya). Sedangkan yang
batil/salah atau fasid adalah
penghukum- an mereka
terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram,
sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak
mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan
penghukuman dengan
berdasarkan kaidah diatas
tersebut adalah penghukuman
tanpa dalil/nash. Dalil untuk
mengharamkan sesuatu perbuatan
haruslah menggunakan nash yang
jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkari perbuatan tersebut.
Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya
karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah
dikerjakan atau
diperintahkan oleh
Rasulullah saw. dan bagaimana
Rasulullah saw.
menanggapinya.
Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah
yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak
ada keterangan
yang valid dari Rasulullah saw., maka
amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak
mengatakan bahwa suatu
amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw.,
mereka hanya mengatakan amalan itu
tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila
tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab
selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca
dikitab-kitab fiqih para ulama pakar
yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini
bisa dilemahkan
atau dipalsukan oleh ulama
pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada
Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw. tetapi berbeda
cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Dari sini saja
kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu
masih berbeda-beda diantara para
ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari
Rasulullah saw. pun berbeda juga
!!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang
berserakan. Umpamanya mereka
berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini
disebutkan didalam suatu hadits
yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya
langsung dari Rasulullah saw., umpama-
nya; Sunnah Qauliyyah,
Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana
Rasulullah saw. sendiri
menganjur-kan atau
mensarankan suatu amalan, tetapi
belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjakannya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohkan, melainkan dengan
diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk
fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji
pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits
Rasulullah saw. yang
menganjurkan orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus
berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh
Rasulullah saw. Misalnya ibadah
shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan
tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw.
melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah
memerintahkannya dengan
lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini
seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah
kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. atau para
sahabatnya, tetapi diamalkan
oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama
belakangan) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi
saw., majlis tahlilan/ yasinan
dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau
dalil-dalil tentang
pahala-pahala bacaan dan amalan
ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab
asalkan tidak tidak bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu,
disitu sering didengungkan
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah SWT. dan
Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا
‘
Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan
apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Apa saja yang didatangka
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak
mengerjakan sesuatu itu adalah
apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ
فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori :
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا
أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah
Dalam hadits ini Rasulullah
saw. tidak mengatakan :
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua
hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang
diada-adakan
(muhdatsah) adalah… dan hadits
Barangsiapa yang didalam
agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa
keterangan dari
Rasulullah saw. didalam
hadits-hadits yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat
ialah yang mensyari’atkan
sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21)
serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun
sunnah Rasulullah saw., contohnya yang
mudah ialah :
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam
dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja;
Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain
sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentangan dengan apa yang
telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah
saw. diatas yang mengatakan,
mengada-adakan sesuatu
itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah.
Saya ambil perumpamaan lagi yang
mudah saja, ada orang mengatakan bahwa
sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa
wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut
tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan
menambah dan mengada-adakan
agama. Jadi bukan masalah-masalah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي
يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي
يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي
يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatka
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan
wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu
yang mana kata ini tidak harus berarti
semua/setiap , tapi bisa
berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba
Allah yang sholeh), sebagai berikut :
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin
yang bermata pencaharian
dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas
semua perahu” .
Ayat ini menunjukkan
tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih
dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja
membocorkan perahu
orang-orang miskin itu agar
terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah
safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah
diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah
hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah
menghancurkan segala
sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini
tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan
segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak
terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia
menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya ”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakannya’ mencakup semua
amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal
yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT.
tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa
dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang
mengatakan bahwa semua orang ( di
Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang
(an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara
harfiahnya, tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang
memerangi Rasulullah saw. dan kaum
Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang
Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah
adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as
dan bundanya yang dipertuhankan
oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh
kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka
bermusyawarah dalam suatu urusan…”.
Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan
termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan
dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak
memerintahkan Rasul-Nya supaya
memusyawarahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawian
dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala
sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak
membukakan pintu rahmat bagi
mereka (orang-orang kafir durhaka).
Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud
khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan
seterusnya “. Firman Allah
ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami
ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi
tidak menggunakannya untuk
mendengarkan
firman-firman Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia,
tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun
didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumannya itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari
terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh
hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh
dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
!
Ibnu Hajar mengatakan;
‘ Hadits-hadits shahih yang
mengenai satu persoalan2 harus
dihubungkan satu sama lain untuk dapat
diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang
muqayyad. Dengan demikian maka semua yang
di-isyaratkan oleh
hadits-hadits itu semuanya dapat
dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam
Al-Muwattha
terdapat penegasan Rasulullah
saw. yang menyatakan bahwa jasad
semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr
rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut
keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi
dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan
syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun
Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain
dikhususkan maksud dan maknanya,
demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada
sekelompok ulama
mengatakan; ‘Hal yang umum
hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua
persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua
bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang
lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh
jumhurul-ulama. Untuk itu tidak
ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran
kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan
membaca buku Pembahasan Tuntas
Perihal Khilafiyah oleh H.M.H
Al-HAMID – AL-HUSAINI.