Adalah dua orang Kiai di
Tanah Jawa yang sangat terkenal kealimannya pada awal abad ke-20, yaitu
Kiai Cholil Bangkalan (wafat 1925) yang merupakan gurunya kiai setanah
Jawa bahkan se Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah
adalah di antara para muridnya. Selain itu ada Kiai Muhammad Dahlan Jampes Kediri, seorang waliyullah yang menjadi guru para Kiai sezamannya
dan yang menurunkan seorang ulama besar yaitu Kiai Ihsan Jampes penulis
beberapa kitab seperti Sirajut Thalibin dan Manahijul Imdad yang
terkenal di seluruh dunia.
Sebagai seorang ulama, maka semakin
tinggi ilmunya semakin tawadlu sikapnya, walaupun usianya sudah lanjut
dan kealimannya diakui semua ulama, maka tidak ada halangan bagi Kiai
Dahlan untuk nyantri pada Kiai Cholil di Bangkalan Madura. Meski telah
belajar ke berbagai kiai terkemuka di seluruh pesantren di tanah Jawa,
tetapi rasanya kurang lengkap bagi Kiai Dahlan kalau tidak berguru
kepada kiai Cholil dan ingin diakui sebagai murid dari waliyullah ini.
Dengan meninggalkan pesantren dan
santrinya berangkatlah Kiai Dahlan ke Bangkalan untuk nyantri kepada
Kiai Cholil. Di sana diterima sebagai santri biasa, sehingga sempat
menghuni pesantren itu beberapa bulan. Setelah beberapa bulan
berlangsung Kiai Cholil berkata kepada Kiai Dahlan agar segera pulang,
sebab semua ilmu yang dimiliki sudah habis sudah diajarkan semua.
Sebagai ketaatan pada guru maka setelah memperoleh ijazah dari Kiai
kharismatik tersebut maka pulanglah Kiai Dahlan ke Pesantrennya, kembali
mengajar para santri.
Betapa kagetnya Kiai Dahlan selang
beberapa bulan kemudian Kiai Cholil datang ke pesantren Jampes Kediri
dengan niat untuk berguru menjadi santri Kiai Dahlan, sebab ada beberapa
ilmu penting yang belum dikaji Kiai Cholil dan ilmu itu hanya dimiliki
Kiai Dahlan.
Setelah terjadi perbincangan lama, maka
diterimalah Kiai Cholil sebagai santri mengkaji beberapa disiplin
keilmuan di bawah bimbingan Kiai Dahlan. Hubungan keduanya menjadi
berbalik yang semula kiai Cholil menjadi guru sekarang diperlakukan
sebagai muridnya. Sementara Kiai Dahlan menjadi gurunya dan bertindak
sebagai guru.
Setelah beberapa bulan belajar di
pesantren itu, maka Kiai Dahlan memangggil Kiai Cholil dan mengatakan
bahwa saat ini jumlah santri baru yang mendaftar semakin banyak,
sehingga kamar pondok tidak lagi mencukupi, karena itu Kiai Cholil
dipersilahkan agar segera pulang biar kamarnya bisa untuk menampung
santri baru. Setelah memproleh ijazah dari Kiai Dahlan, maka pulanglah
Kiai Cholil Bangkalan ke Pesantrennya di Bangkalan.
Dalam tradisi pesantren mencari ilmu
memang tidak ada batasnya, meski telah lanjut usia, meski telah berada
di puncak ketenaran. Bagi para ulama ilmu bukanlah popularitas, tetapi
sarana menuju ketakwaan. Ilmu yang tidak menambah ketakwaan hanyalah
kehampaan, ilmu yang mendekatkan kepada Allah adalah ilmu yang
benar-benar manfaat, migunani, karena itu akan terus dicari sepanjang
hayat.
(NU-Online ; Abdul Mun’im DZ – Diceritakan Gus Irfan Masruhin,
keluarga Kiai Ihsan Dahlan Jampes Kediri)