KH. Muhammad Wafi MZ. Lc. MSi.
Bila mendengar kata tasawuf seketika
yang terbayangkan dibenak penulis adalah sederet nama para Auliya'
Allah, mulai dari Ibnu Athoillah As-Sakandari, Syekh Abul Hasan
As-Syadzili, Syekh Ahmad Ar-Rifa'I, Al-Imam Al-Ghozali dan masih banyak
lagi nama-nama lain yang merupakan tokoh-tokoh tasawuf yang kita miliki.
Disamping itu, penulis juga teringat akan beberapa judul buku yang
mengupas tentang tasawuf, mulai dari yang Turots seperti Ihya'nya
Al-Imam Al-Ghozali, Hikamnya Ibnu Athoillah dan risalahnya Al-Qusyairi,
ataupun yang terbaru, seperti Syarh (kupasan) Hikam yang ditulis Dr.
Said Romadlon Al-Buthi dan beberapa buku kecil karya beliau yang
membahas tentang tasawuf. Jika menelaah beberapa literatur yang membahas
tentang tasawuf, yang sebagian telah penulis sebut diatas, maka akan
banyak kita temukan definisi tentang tasawuf yang biasanya adalah
merupakan ungkapan dari para pelaku taSAWuf itu sendiri.
Hal ini terjadi karena memang tasawuf
adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang
berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal
(orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin
dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada
dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional
(Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq)[1].
Sedang antara Dzauq satu orang dan yang
lain tentunya berbeda-beda, inilah salah satu penyebab terjadinya
perbedaan dalam pendefinisian tasawuf diatas[2].
Kesulitan dalam memahami tasawuf seperti
diatas tidak hanya terjadi pada pemaknaan tasawuf secara definitif,
akan tetapi hal itu juga terjadi pada asal muasal kata tasawuf sendiri.
Karena para Ulama yang mengkaji tentang tasawuf sendiri ada yang
berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab, ada pula yang
berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa ‘Ajam (bahasa selain
bahasa arab).
Sedang ulama yang berpendapat bahwa kata
Tasawuf berasal dari bahasa arab pun juga berbeda pendapat, apakah
Tasawuf adalah kata yang Musytaq (ada kata dasarnya) atau tidak? Dan
yang mengatakan bahwa kata Tasawuf adalah kata yang Musytaq pun berbeda
pendapat tentang kata dasar dari kata Tasawuf itu sendiri yang jika kita
perhatikan, ternyata kita akan menemukan betapa banyak akar kata
Tasawuf yang ditawarkan oleh para ulama[3].
Ya sudahlah, kita tidak usah terlalu
pusing tentang hal-hal diatas. Karena pada dasarnya, tasawuf merupakan
implementasi dari Al-Ihsan, yang disebutkan dalam sebuah hadis riwayat
Sayyidina Umar RA, dan Tazkiyyah An-Nafs yang telah disebutkan dalam
Al-Qur'an Al-Karim[4]. Dalam hadis diatas Rosulullah SAW menempatkan
Al-Ihsan pada posisi terakhir, yakni setelah Al-Iman dan Al-Islam. Hal
ini memberi pengetian bagi kita, bahwa derajat Al-Ihsan, yang bisa juga
disebut dengan tasawuf, dapat dicapai oleh seseorang jika ia telah
beriman dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan islam secara sempurna.
Karena Al-Ihsan merupakan perwujudan dari kuatnya Tauhid dalam hati
seseorang.
Sedang hakekat dari Tauhid, sebagaimana
dikatakan oleh Al-Ghozali, adalah jika seorang hamba melihat dan
meyakini bahwa segala sesuatu yang di alam semesta ini dari Allah
SWT[5]. Buah dari tauhid tersebut adalah Al-Ihsan yang berarti
penyembahan seseorang terhadap Allah sekan-akan ia melihat Allah SAW
atau ia dilihat oleh Allah SWT. Jadi, kesungguhan iman dan kesempurnaan
islam seseorang merupakan syarat mutlak bagi seseorang yang ingin
mencapai derajat Al-Ihsan atau tasawuf.
Termasuk hal yang wajib diimani oleh
umat islam, lebih-lebih mereka yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau
paling tidak ingin menjadi seorang sufi, adalah Qadla dan Qadar,
sebagaimana hal itu bisa kita lihat pada hadis riwayat sayyidina umar
diatas. Akan tetapi banyak dari kalangan umat islam sendiri yang tidak
beriman pada Qadla dan Qadar, bahkan sekarang ini hal itu muncul dari
sebagian orang yang memposisikan dirinya sebagai seorang sufi.
Mereka pun beranggapan bahwa percaya
pada Qadla dan Qadar adalah biang dari kemunduran umat Islam saat ini,
jika umat islam ingin maju maka mereka harus menanggalkan keimanan
mereka terhadap Qadla dan Qadar.
Benarkah statement tersebut? Atau malah
sebaliknya yang benar? Dalam tulisan singkat ini penulis akan berusaha
untuk mengurai benang kusut seputar Qadla dan Qadar. Seputar Qadla Dan
Qadar. Sebelum kita membahas lebih jauh, maka kita jawab dulu
pertanyaan, Apa itu Qadla dan Qadar? Qadla adalah ilmu atau ketetapan
Allah SWT berkenaan dengan seluruh makhluk-Nya, yang telah
ditetapkan-Nya pada azal (sesuatu yang tak bermula), yang diantaranya
adalah ketetapan Allah SWT berkenaan dengan semua perbuatan yang
dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang Ikhtiyari (dari kehendak
manusia sendiri) ataupun tidak. Adapun Qadar adalah terjadinya
penciptaan sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya
(Qadla). Dengan demikian, berarti Qadar merupakan implementasi dari
Qadla.
Setelah mengetahui definisi Qadla dan
Qadar sebagaimana diatas, maka yang muncul dibenak penulis selanjutnya
adalah sebuah pertanyaan baru, apa korelasi antara iman terhadap qadla
dan qadar dan kemunduran yang dialami umat saat ini? Jika kita cermati
dengan sungguh-sungguh, sebenarnya tidak ada korelasi sama sekali antara
iman kepada qadla dan qadar dengan kemunduran umat islam saat ini,
Bahkan keduanya pada ujung yang berbeda.
Karena iman terhadap qadla dan qadar
adalah bagian dari keyakinan kita terhadap Dzat dan sifat-sifat Allah
SWT, sedang segala perbuatan dan tingkah laku manusia merupakan bentuk
ketundukannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT. Untuk
membuktikan hal diatas coba saja kita perhatikan beberapa hal dibawah
ini :
a. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan manusia untuk Imarah Al-Ardl (membangun, memberdayakan,
mengolah dan mengembangkan potensi yang ada di bumi), baik secara materi
ataupun peradaban.
Hal tersebut bisa kita baca pada Q.S. Al-Hud: 6: " dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya ".
Allah juga menyuruh agar kita
memperhatikan bumi yang telah Dia jadikan "pelayan" bagi kita, untuk
kemudian kita bisa menggali dan mengeluarkan semua potensi yang
terkandung didalamnya.
Coba kita perhatikan Q.S. Al-Mulk: 15: "
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan ".
Dan masih banyak lagi ayat-ayat
Al-Qur'an yang mengisyaratkan perintah Allah SWT yang senada dengan
perintah-perintah diatas. Yang sekarang perlu kita renungkan, apakah
mungkin setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk mengolah dan
mengembangkan potensi bumi yang kita huni ini, lalu setelah itu Dia pun
juga memerintahkan kita agar bermalas-malasan, dengan dalih bahwa
konsekuensi dari iman terhadap qadla dan qadar adalah bermalas-malasan?
Bukankah arti Taskhir Al-Ard (menjadikan bumi sebagai "pelayan" manusia) yang terdapat pada firman Allah Q.S. luqman: 20: "
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk
(kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan ",
adalah dengan mengerahkan semua daya dan
upaya yang kita miliki? Atau malah sebaliknya, yakni dengan
santai-santai, tidur-tiduran dan bermalas-malas? Tentu kita sudah tahu
jawaban dari pertanyaan diatas.
b. Kalau kita membaca Sirah atau
perjalanan hidup dan perjuangan para As-Salaf As-Sholih, seperti para
sahabat Nabi Muhammad SAW, Tabi'in dan Tabi' At-Tabi'in, maka kita akan
melihat bahwa mereka hidup dalam kesejahteraan baik secara lahiriah
maupun bathiniah, dan hal itu tidak bisa dipungkiri oleh siapapun
kecuali orang-orang yang memang tidak bisa melihat terangnya sinar
matahari di siang bolong.
Para sahabat adalah orang-orang yang
paling sah untuk kita jadikan tauladan dalam berbagai aspek kehidupan,
mereka telah berhasil merajut kebangkitan ilmiah, budaya, ekonomi,
militer dan banyak yag lainnya, padahal sebelumnya mereka hanya bangsa
arab yang Ummi, hidup di padang pasir yang gersang dan tidak punya nilai
dihadapan bangsa-bangsa lain.
Yang mengganjal dibenak penulis sekarang
adalah sebuah pertanyaan besar, apakah kesejahteraan yang diperoleh
oleh para para sahabat itu adalah merupakan hasil dari tidak iman mereka
terhadap qadla dan qadar? Tentunya, bagi orang-orang yang menganggap
iman terhadap qadla dan qadar sebagai biang dari kemunduran dan
kekalahan umat islam saat ini harus menjawab "iya" pertanyaan penulis
diatas.
Karena hal itu adalah konsekuensi secara
logis dari keyakinan mereka. Akan tetapi hal itu terbantahkan oleh
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam buku shohihnya.
Alkisah, ketika Ma'bad Al-Juhani, orang pertama yang menafikan adanya
qadar Allah, muncul di kota Bashrah ada dua orang yang sedang
melaksanakan ibadah haji sowan kepada sahabat Nabi Adullah bin Umar RA
untuk menanyakan perihal Ma'bad Al-Juhani tersebut. Lalu jawaban Ibnu
umar adalah: " jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah bahwa
aku lepas dari apa yang mereka yakini dan mereka juga terlepas dari apa
yang aku yakini, andaikan salah satu dari mereka memiliki emas sebesar
gunung uhud dan kemudian mereka infaqkan niscaya allah tidak akan
menerima amal mereka tersebut selagi mereka tidak beriman terhadap qadar
[6]".
Kemudian beliau menyitir hadis riwayat
sayyidina umar tentang iman, islam, dan ihsan diatas. Ungkapan sahabat
Ibnu Umar diatas memberi ketegasan kepada kita bahwa para sahabat pun
beriman terhadap qadla dan qadar, dan serta merta juga membantah logika
bahwa kemajuan yang mereka peroleh didorong oleh sebuah pengingkaran
terhadap qadla dan qadar.
Dari dua poin yang sudah penulis
sebutkan diatas, tentu sekarang kita bisa yakin bahwa kemunduran umat
Islam saat ini bukan disebabkan keimanan mereka terhadap qadla dan
qadar. Bahkan malah sebaliknya, keimanan mereka terhadap qadla dan
qadarlah yang mendorong mereka untuk menjadi bangsa yang berperadaban
tinggi.
Bagaimana logikanya? Jika sebuah bangsa
telah mempunyai iman yang kuat terhadap Allah SWT, dan bahkan iman
tersebut tidak hanya sebatas Taqlid tapi sudah mencapai taraf cinta,
mengagungkan, memuliakan, hanya bergantung pada Allah SWT saja dan
meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah lah sumber dari segala
kekuatan yang ada, maka ia akan bertambah tunduk setunduk-tunduknya
terhadap semua perintah-perintah Allah SWT.
Dan termasuk dari perintah Allah SWT
adalah agar manusia membangun dan memberdayakan bumi dan segala isinya
sesuai dengan amanat yang telah Allah bebankan kepada kita sebagai
Kholifah. Coba saja perhatikan sebegitu banyak makam para sahabat yang
tersebar dimana-mana, kira-kira apa yang mendorong mereka untuk
melakukan perjalanan begitu jauh bahkan sampai bermil-mil dalam rangka
Jihad Fi Sabilillah dan menyebarkan agama Islam? padahal waktu itu belum
ada pesawat terbang, kereta api, mobil dan alat tranportasi yang lain.
Tidak lain semua itu adalah karena
kuatnya iman dalam hati mereka yang membuahkan ketundukan total seorang
hamba dihadapan Rabb-nya. Andai yang mereka jadikan pijakan adalah
kekuatan mereka sendiri, tentu islam tidak akan tersebar sebegitu
luasnya, karena logika manusia tidak akan bisa mencerna dan menerima.
Bayangkan saja, tiga ribu pasukan perang
umat islam melawan seratus lima puluh ribu pasukan romawi, tapi apa
yang dikatakan oleh Abdullah bin Rowahah selaku panglima perang " wahai
kaumku, sebenarnya sesuatu yang kalian benci adalah sesuatu yang kalian
keluar perang karenanya pula. Kalian keluar karena mencari syahadah,
jadi kita tidak berperang dengan kekuatan penuh ataupun dengan peralatan
yang banyak dan lengkap, akan tetapi kita dengan agama yang Allah telah
memuliakan kita dengan agama tersebut, yakni Islam.
Sungguh yang kita cari adalah salah satu
dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid ". Iman sebuah bangsa
terhadap qadla dan qadar akan mengangkat mereka dari jurang kehinaan,
keimanan tersebut mendidik mereka menjadi orang yang mulia, kuat dan
percaya diri karena selalu menyandarkan semua langkahnya hanya pada
Allah SWT semata, tidak yang lain.
Disinilah akan benar-benar terealisasi
sabda baginda Nabi Muhammad SAW:" orang mu'min yang kuat itu lebih baik
dan dicintai allah dari pada yang lemah, akan tetapi keduanya baik
semuanya[7]". Walhasil, Jika kita ingin maju dan menjadi pemimpin dunia,
maka marilah kita berkaca dan meneladani As-Salaf As-Sholih, bagaimana
mereka bisa mencapai kemuliaan tersebut, bukankah begitu?
catatan kaki
[1] Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Al-Munqidz Min Al-Dholal, h.h.69-71. Tuban: Mathba'ah Al-Balagh.
[2] Abu Muhammad Rohimuddin Nawawi Al-Bantani (2003), Madkhol Ila Al-Tashowwuf Al-Shohih Al-Islami, h.73. Kairo: Dar El-Fikr.
[3] Ibid.
[4] Penggalan Hadis diatas adalah sebagai berikut: أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك . Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (2000), Shohih Muslim, h.31, No Hadis:1. Beirut: Dar El-Fikr.
[5] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Ihya' Ulumiddin, . h. 33. Semarang: Toha Putra
[6] Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. Op.Cit.
[7] Ibid h. 1311, No Hadis: 6669.
[2] Abu Muhammad Rohimuddin Nawawi Al-Bantani (2003), Madkhol Ila Al-Tashowwuf Al-Shohih Al-Islami, h.73. Kairo: Dar El-Fikr.
[3] Ibid.
[4] Penggalan Hadis diatas adalah sebagai berikut: أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك . Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (2000), Shohih Muslim, h.31, No Hadis:1. Beirut: Dar El-Fikr.
[5] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Ihya' Ulumiddin, . h. 33. Semarang: Toha Putra
[6] Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. Op.Cit.
[7] Ibid h. 1311, No Hadis: 6669.